Kemudian berdoalah aku, untuk yang terakhir kali, di dekat takdir yang menelan seluruh ketakutan, setelah berpamitan pada gedung dan gunung, juga gerimis dan mendung.
Lilin itu telah meleleh, membakar sumbu dan hitam kulitku, ketika langit mulai meremang, kereta datang menjemput pulang.
Lalu menangislah aku, sama seperti ketika pertama kali lahir dari rahim ibu, menghirup udara dan menyaksikan dunia lewat kedua puting dadanya.
Hingga lupa, hingga langkah tak mengenal jauh. Hingga kembali luruh, seperti pohon tua yang ditinggalkan daun, meranggas, dan hujan gagal menumbuhkan tunas.
Kusangga perih ini dengan tatih, dengan jiwa luka dan gemetar dosa, setelah tenggelam di badai silam, tersungkur oleh bimbang dan gelombang,
KINI AKU PULANG.
Meski menangislah aku, sama seperti ketika pertama kali lahir dari rahim ibu.
Yang berangkat dari sebuah pagi bersama matahari, lalu terbenam di ufuk barat sebagai jasad.
Lilin itu telah meleleh, membakar sumbu dan hitam kulitku, ketika langit mulai meremang, kereta datang menjemput pulang.
Lalu menangislah aku, sama seperti ketika pertama kali lahir dari rahim ibu, menghirup udara dan menyaksikan dunia lewat kedua puting dadanya.
Hingga lupa, hingga langkah tak mengenal jauh. Hingga kembali luruh, seperti pohon tua yang ditinggalkan daun, meranggas, dan hujan gagal menumbuhkan tunas.
Kusangga perih ini dengan tatih, dengan jiwa luka dan gemetar dosa, setelah tenggelam di badai silam, tersungkur oleh bimbang dan gelombang,
KINI AKU PULANG.
Meski menangislah aku, sama seperti ketika pertama kali lahir dari rahim ibu.
Yang berangkat dari sebuah pagi bersama matahari, lalu terbenam di ufuk barat sebagai jasad.