TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat, Wiranto, mengkritik sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang terlalu larut dalam mengurus Partai Demokrat . Menurut dia, sebagai presiden, SBY seharusnya tak hanya memperhatikan satu partai saja. "Saya sudah sampaikan berulang-ulang dan pada beberapa presiden saya katakan, presiden itu presiden seluruh rakyat. Yang dibina adalah seluruh partai politik, bukan hanya satu partai," kata Wiranto usai meluncurkan program Hanura digital di Gedung Perfilman Umar Ismail, Jakarta Selatan, Senin, 25 Februari 2013.
Menurut Wiranto, sebagai seorang pejabat negara, presiden seharusnya tak lagi mengurus hal teknis tentang partai. Presiden seharusnya meletakkan kepentingan bangsa dari kepentingan kelompok. Hal ini kata Wiranto, sesuai dengan prinsip politik loyalitas pada partai berakhir ketika loyalitas pada negara dimulai.
Meski jabatan presiden adalah jabatan politik, Wiranto mengatakan, tugas seorang presiden tak boleh terganggu dengan tugas partai. Wiranto mencontohkan masa kepemimpinan Soeharto saat menjabat presiden. Menurut Wiranto, selama 3 tahun menjadi ajudan Soeharto, dia tak pernah melihat mantan Ketua Umum Golkar itu terlalu sibuk mengurus Golkar. "Selama 3 tahun tak pernah Pak Harto pakai baju kuning."
Soeharto, kata Wiranto, selalu menghindari kecemburuan partai politik lain. "Presiden itu mengayomi, namanya Presiden Republik Indonesia." Hal sama juga harusnya dilakukan oleh para menteri di kabinet. Menteri, menurut Wiranto, tak boleh lagi terikat hanya dengan satu partai saja, tetapi harus menjadi pemimpin untuk semua partai.
Wiranto meminta, di akhir masa jabatannya, SBY tak hanya sibuk mengurus Demokrat. SBY tak boleh membedakan perlakuan pada satu partai dengan partai lainnya. Jika seorang Presiden sampai lebih memilih mengurus partai, ujar Wiranto , akan ada banyak masalah dan mengganggu stabilitas politik negara.
Akhir-akhir ini, Presiden SBY yang merupakan Ketua Majelis Tinggi Demokrat memang sibuk mengurus partai. Apalagi Ketua Umum partai, Anas Urbaningrum, baru ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi proyek pusat olahraga terpadu Hambalang, Bogor. SBY bersama anggota majelis tinggi lainnya juga tengah berjuang menaikkan elektabilitas partai yang anjlok hingga di bawah 10 persen. Padahal pada 2009 lalu, Demokrat keluar sebagai pemenang pemilu dengan suara 20,8 persen.
IRA GUSLINA SUFA
Menurut Wiranto, sebagai seorang pejabat negara, presiden seharusnya tak lagi mengurus hal teknis tentang partai. Presiden seharusnya meletakkan kepentingan bangsa dari kepentingan kelompok. Hal ini kata Wiranto, sesuai dengan prinsip politik loyalitas pada partai berakhir ketika loyalitas pada negara dimulai.
Meski jabatan presiden adalah jabatan politik, Wiranto mengatakan, tugas seorang presiden tak boleh terganggu dengan tugas partai. Wiranto mencontohkan masa kepemimpinan Soeharto saat menjabat presiden. Menurut Wiranto, selama 3 tahun menjadi ajudan Soeharto, dia tak pernah melihat mantan Ketua Umum Golkar itu terlalu sibuk mengurus Golkar. "Selama 3 tahun tak pernah Pak Harto pakai baju kuning."
Soeharto, kata Wiranto, selalu menghindari kecemburuan partai politik lain. "Presiden itu mengayomi, namanya Presiden Republik Indonesia." Hal sama juga harusnya dilakukan oleh para menteri di kabinet. Menteri, menurut Wiranto, tak boleh lagi terikat hanya dengan satu partai saja, tetapi harus menjadi pemimpin untuk semua partai.
Wiranto meminta, di akhir masa jabatannya, SBY tak hanya sibuk mengurus Demokrat. SBY tak boleh membedakan perlakuan pada satu partai dengan partai lainnya. Jika seorang Presiden sampai lebih memilih mengurus partai, ujar Wiranto , akan ada banyak masalah dan mengganggu stabilitas politik negara.
Akhir-akhir ini, Presiden SBY yang merupakan Ketua Majelis Tinggi Demokrat memang sibuk mengurus partai. Apalagi Ketua Umum partai, Anas Urbaningrum, baru ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi proyek pusat olahraga terpadu Hambalang, Bogor. SBY bersama anggota majelis tinggi lainnya juga tengah berjuang menaikkan elektabilitas partai yang anjlok hingga di bawah 10 persen. Padahal pada 2009 lalu, Demokrat keluar sebagai pemenang pemilu dengan suara 20,8 persen.
IRA GUSLINA SUFA