Roy Suryo bercerita soal jabatan Menpora yang ia emban kepada Yahoo! Indonesia ketika berkunjung ke kantor kami pada Selasa (5/3) lalu. Roy bercerita soal penolakannya kepada Presiden SBY, kunci rekonsiliasi PSSI-KPSI dan rencana mengadopsi teknologi canggih kepada para atlet.
Berikut petikan wawancaranya:
Yahoo! Indonesia (YI): Anda tidak punya latar belakang dan pengetahuan olahraga, lalu hal apa yang pertama kali Anda lakukan saat diangkat sebagai Menpora?
Roy Suryo (RS): Langkah saya tidak ada yang baru. Saya tidak akan membuat yang baru, karena saya sadar waktu saya sebagai Menpora tidak lama. Makanya saya tanya sama yang dulu, apa saja yang harus dikerjakan.
Saya juga tidak lagi membiarkan atlet repot-repot datang ke Kemenpora. Saya datangi langsung mereka, jadi saya sangat tahu kebutuhan para atlet kita. Seperti atlet renang yang trampolinenya buatan tahun 70-80-an, malah saat saya ke sana pernya sempat putus. Juga atlet panahan yang kalau hujan nggak bisa latihan dan ketika latihan takut panahnya kena orang yang sedang main bola. Karena mereka nggak punya lapangan untuk latihan. Juga atlet dayung kita yang mengeluh minta tempat latihan yang anginnya tidak terlalu kuat di tengah danau.
Anggaran untuk kami juga kecil. Untuk 2013 ini sebesar Rp1,9 triliun. Tapi Rp1,1 triliun untuk pendidikan, karena dulu Kemenpora kan di bawah Kemendikbud, yaitu Dirjen Olahraga. Lalu masih ada sisa Rp550 miliar, yang Rp250 miliar habis untuk habis ngirim atletke SEA Games Myanmar dan Rp200 miliar untuk Islamic Solidarity Games. Jadi untuk pembinaan hanya Rp100 miliar.
YI: Anda sempat mengatakan tidak akan mau ditunjuk sebagai Menpora, lalu mengapa jabatan itu tetap diambil?
RS: Saya memang menolak dengan halus. Saat itu saya mengatakan jangan berandai-berandai, jauh panggang dari api. Saya juga sudah tiga kali menolaknya secara halus lewat telepon, saya juga menolak kepada Presiden, tapi ditolak. Bapak Presiden mengatakan sudah menimbang dan mendengarkan dari banyak pihak.
YI: Untuk memperbaiki kesehjateraan atlet, apa yang akan Anda lakukan
RS: Banyak atlet yang kehidupannya menyedihkan setelah pensiun. Penyebabnya karena tingkat pendidikan mereka tidak tinggi. Kalau latihan dibarengi dengan sekolah, tentu prestasinya tidak akan bagus. Tapi kalau fokus latihan, pasti sekolahnya terbengkalai. Kami juga punya kerjasama dengan kemendagri agar dinas-dinas di daerah mempriotaskan penerimaan PNS dari mantan atlet. Tapi yah itu, terbentur dengan tingkat pendidikan mereka.
Makanya saya mencoba mengadopsi teknologi kepada para atlet. Jadi para atlet bisa belajar dengan cara e-learning dan mengikuti ujian usai latihan tapi tak perlu meninggalkan tempat latihan mereka. Ini sedang kita sertifikasi metode e-learning dan mengatur cara bagaimana para atlet tidak menggunakan joki saat ujian.
Saya juga baru saja meresmikan laboratorium anti doping pertama di Indonesia, ada di ITB. Kami Kemenpora baru menyumbang gedungnya, isinya memang belum. Tapi lab-lab sepeti ini kalau ditempel di dekat kampus maka akan hidup.
YI: PSSI dan KPSI akhirnya sepakat melakukan rekonsiliasi setelah Anda menengahi. Apakah karena pertemuan Anda dengan dua pengusaha, Arifin Panigoro dan Nirwan Bakrie, menjadi kuncinya?
RS: Kuncinya justru ada di situ, saya merasa orang yang tidak dikenal di olahraga, makanya saya harus ketemua dua pengusaha itu. Saya tidak mengundang mereka, saya temui satu persatu. Kuncinya hanya satu, saya nggak menawarkan apa-apa karena saya nggak punya apa-apa. Saya hanya mengetuk ke-Indonesiaan mereka. Dan mereka tidak ada masalah.
Yang jelas kita ingin punya satu federasi, Saya perhatikan liga di sini, IPL itu yang sah tapi penontonnya tidak ramai, Tapi ISL penontonnya luar biasa semarak. Jadi De Jure itu Pak Djohar dan De Facto ada di Pak La Nyalla.
YI: Program-program Kemenpora setelah itu apa lagi?
RS: Kami sadar anggaran untuk kami terbatas. Makanya kita harus kerjasama dengan swasta. Kami mendukung langkah-langkah untuk memajukan olahraga nasional. Seperti ada yang mau membangun sirkut F1 di Nusa Dua Bali, kami dukung. Nanti saya juga rencananya mau ikut Reli Dakar, yang dulu namanya Reli Paris-Dakar, kalau Pak Presiden mengizinkan.
YI: Reli Dakar kan berat Pak?
RS: Iyah memang betul. Tapi pasti nanti ada persiapannya. Saya memang beberapa kali pernah reli, meski bukan pereli nasional. Saya memang tidak asing dengan reli.
Berikut petikan wawancaranya:
Yahoo! Indonesia (YI): Anda tidak punya latar belakang dan pengetahuan olahraga, lalu hal apa yang pertama kali Anda lakukan saat diangkat sebagai Menpora?
Roy Suryo (RS): Langkah saya tidak ada yang baru. Saya tidak akan membuat yang baru, karena saya sadar waktu saya sebagai Menpora tidak lama. Makanya saya tanya sama yang dulu, apa saja yang harus dikerjakan.
Saya juga tidak lagi membiarkan atlet repot-repot datang ke Kemenpora. Saya datangi langsung mereka, jadi saya sangat tahu kebutuhan para atlet kita. Seperti atlet renang yang trampolinenya buatan tahun 70-80-an, malah saat saya ke sana pernya sempat putus. Juga atlet panahan yang kalau hujan nggak bisa latihan dan ketika latihan takut panahnya kena orang yang sedang main bola. Karena mereka nggak punya lapangan untuk latihan. Juga atlet dayung kita yang mengeluh minta tempat latihan yang anginnya tidak terlalu kuat di tengah danau.
Anggaran untuk kami juga kecil. Untuk 2013 ini sebesar Rp1,9 triliun. Tapi Rp1,1 triliun untuk pendidikan, karena dulu Kemenpora kan di bawah Kemendikbud, yaitu Dirjen Olahraga. Lalu masih ada sisa Rp550 miliar, yang Rp250 miliar habis untuk habis ngirim atletke SEA Games Myanmar dan Rp200 miliar untuk Islamic Solidarity Games. Jadi untuk pembinaan hanya Rp100 miliar.
YI: Anda sempat mengatakan tidak akan mau ditunjuk sebagai Menpora, lalu mengapa jabatan itu tetap diambil?
RS: Saya memang menolak dengan halus. Saat itu saya mengatakan jangan berandai-berandai, jauh panggang dari api. Saya juga sudah tiga kali menolaknya secara halus lewat telepon, saya juga menolak kepada Presiden, tapi ditolak. Bapak Presiden mengatakan sudah menimbang dan mendengarkan dari banyak pihak.
YI: Untuk memperbaiki kesehjateraan atlet, apa yang akan Anda lakukan
RS: Banyak atlet yang kehidupannya menyedihkan setelah pensiun. Penyebabnya karena tingkat pendidikan mereka tidak tinggi. Kalau latihan dibarengi dengan sekolah, tentu prestasinya tidak akan bagus. Tapi kalau fokus latihan, pasti sekolahnya terbengkalai. Kami juga punya kerjasama dengan kemendagri agar dinas-dinas di daerah mempriotaskan penerimaan PNS dari mantan atlet. Tapi yah itu, terbentur dengan tingkat pendidikan mereka.
Makanya saya mencoba mengadopsi teknologi kepada para atlet. Jadi para atlet bisa belajar dengan cara e-learning dan mengikuti ujian usai latihan tapi tak perlu meninggalkan tempat latihan mereka. Ini sedang kita sertifikasi metode e-learning dan mengatur cara bagaimana para atlet tidak menggunakan joki saat ujian.
Saya juga baru saja meresmikan laboratorium anti doping pertama di Indonesia, ada di ITB. Kami Kemenpora baru menyumbang gedungnya, isinya memang belum. Tapi lab-lab sepeti ini kalau ditempel di dekat kampus maka akan hidup.
YI: PSSI dan KPSI akhirnya sepakat melakukan rekonsiliasi setelah Anda menengahi. Apakah karena pertemuan Anda dengan dua pengusaha, Arifin Panigoro dan Nirwan Bakrie, menjadi kuncinya?
RS: Kuncinya justru ada di situ, saya merasa orang yang tidak dikenal di olahraga, makanya saya harus ketemua dua pengusaha itu. Saya tidak mengundang mereka, saya temui satu persatu. Kuncinya hanya satu, saya nggak menawarkan apa-apa karena saya nggak punya apa-apa. Saya hanya mengetuk ke-Indonesiaan mereka. Dan mereka tidak ada masalah.
Yang jelas kita ingin punya satu federasi, Saya perhatikan liga di sini, IPL itu yang sah tapi penontonnya tidak ramai, Tapi ISL penontonnya luar biasa semarak. Jadi De Jure itu Pak Djohar dan De Facto ada di Pak La Nyalla.
YI: Program-program Kemenpora setelah itu apa lagi?
RS: Kami sadar anggaran untuk kami terbatas. Makanya kita harus kerjasama dengan swasta. Kami mendukung langkah-langkah untuk memajukan olahraga nasional. Seperti ada yang mau membangun sirkut F1 di Nusa Dua Bali, kami dukung. Nanti saya juga rencananya mau ikut Reli Dakar, yang dulu namanya Reli Paris-Dakar, kalau Pak Presiden mengizinkan.
YI: Reli Dakar kan berat Pak?
RS: Iyah memang betul. Tapi pasti nanti ada persiapannya. Saya memang beberapa kali pernah reli, meski bukan pereli nasional. Saya memang tidak asing dengan reli.