Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Inilah alasan kenapa orang tua tidak setuju anaknya menjadi Atlit.

Penulis: Kusuma

Ada senang, juga ada susah. Hidup memang ditakdirkan untuk berpasangan, seperti halnya ada wanita ada pula pria. Begitu pun kisah hidup para mantan atlet nasional yang pernah mengharumkan nama bangsa Indonesia di kancah Internasional.

Beberapa mantan atlet menjalani kehidupan yang membahagiakan pasca mereka memutuskan untuk pensiun. Ada yang mendapatkan perhatian dari pemerintah, ada pula yang sudah punya perencanaan matang setelah pensiun.

Ivana Lie merupakan salah satunya. Juara SEA Games 1979 dan 1983 itu kini menjadi pegawai di Kementerian Pemuda dan Olahraga. Masih banyak atlet yang punya prestasi diberi apresiasi berupa pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil atau pegawai BUMN. Sebut saja, Ilham Jaya Kusuma dari cabang sepak bola.

Sementara Rudi Hartono (bulutangkis), Ade Rai (binaraga), Susi Susanti (bulutangkis), Anjas Asmara (sepak bola), Haryanto Arbi (bulu tangkis), Puspita Mustika Adya (balap sepeda), Richard Sam Bera (renang) kini bisa hidup mapan karena mengelola bisnis. Mereka tampaknya sudah punya rencana matang saat masih menjadi atlet.

Tapi ada juga yang mendapat hadiah lain. Marina Segedi, eks atlet pencak silat, mendapat tunjangan rumah dari Kementerian Pemuda dan Olahraga. Namun tunjangan itu didapat setelah Marina menjalani kehidupan yang kurang layak.

Peraih medali emas SEA Games di Filipina pada 1981 tersebut harus banting tulang menghidupi keluarganya sebagai pengemudi taksi. Setelah dia berpisah dengan suaminya, Rainer Nurdin pada 1990, wanita yang juga menjadi juara tingkat Asia di Singapura itu, terpaksa harus menghidupi sendiri kedua anak perempuannya yang masih kecil: Ayu Yulinasari dan Rima Afriani Caroline.

Sejak saat itu ia pun mulai kerja apa saja untuk mencari nafkah. Awalnya Marina bekerja sebagai sopir taksi, pada 1991. Namun 3 tahun kemudian ia berhenti. “Setelah berhenti, saya bekerja apa saja. Pernah dagang kue, nasi, sampai jadi peran pembantu di film. Dan Januari 2011 saya masuk lagi ke Blue Bird,” ujar Marina.

Setali tiga uang dengan Marina, mantan atlet atletik Indonesia, Samuel Elia Huwae juga hidup serba kekurangan. Peraih medali perak dan perunggu di Sea Games 1991 ini hidupnya menjadi seorang juru parkir di Senayan.

“Kalau saya punya uang banyak saya tak akan bekerja seperti ini,” cetus Samuel.

Hidup pas-pasan juga dialami Hapsani, peraih medali perak dan perunggu di SEA Games 1981 dan 1983. Bahkan mantan atlet lari estafet 4 x 100 meter ini terpaksa menjual medali yang diperolehnya ke pasar loak di Jatinegara Jakarta Timur, pada 1999.

“Suami saya terpaksa menjual medali-medali itu untuk beli makanan. Sebab saat itu suami saya menganggur,” jelas Hapsani yang kini telah berusia 50 tahun.

Kisah Marina, Elia Huwae dan Hapsani merupakan kenyataan betapa tragisnya nasib sejumlah mantan atlet yang dulu pernah berjasa mengharumkan nama Indonesia. Mereka hidup pas-pasan, membanting tulang untuk menyambung hidup usai pensiun sebagai atlet nasional.

Perhatian dari pemerintah memang sangat kurang. Untuk itu diharapkan agar para atlet agar lebih bijak dalam menentukan masa depan. Misal mengelola uang bonus saat juara menjadi investasi emas, properti atau pendidikan.

“Kita harus memberikan dukungan moril juga materiil. Selain itu juga ada pemberdayaan agar kualitas hidup mereka menjadi layak,” harap Rudi Hartono.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd