Ku dengar detak jantungku membabi buta
Meresapi indahnya kalbu yang menjadi terbakar akibat bara
Menjadi asap dan menghilang saat Engkau tersenyum pada nya
Ku langkahkan kaki kecilku pada bebatuan dan pasir-pasir hitam
Ku rasakan belaian kabut tipis pada lembah kala itu
Menapaki rerumputan hijau basah, yang menyongsong asa akan pijakanmu
Sementara mentari bersinar pada keelokan hari, sedangkan aku tidak begitu
Udara segar menghiasi kecantikan Tuhan yang terhampar, tidak bagiku sekarang
Aku akan bersinar pada dewa kesedihan dalam kedalaman gundahmu
Aku akan menyegarkan hari saat hatimu di selimuti awan kegelapan
Akar-akar pohon bersedu ketika ku injak dengan langkah-langkah gontai
Menuruni dan mendaki bukit egomu
Menjadi burung aku berfikir sejenak sambil tersenyum kecut pada akar itu
Takkan pernah ku sadari cahaya terang didepan sana itu siapa
Mengulurkan tangan lembut sambil memegang selendang putih bersih
Yang jauh tesirat adalah keteduhan matamu, bukan perempuan itu
Banyak kicauan menghampiri gubuk mesra kita
Saat engkau berkelana mencari Ksatria Semesta lainnya
Sedangkan aku duduk di depan tungku kehidupan menunggumu datang sambil membawa berita pahit untukku
Oh Purnama, tidaklah aku yang bertahta akan kerajaan Cinta
Menjadi kering begitu cepat
Wahai Malaikat Tuhan, engkau puncak gunung yang kumiliki duduk manis bersama anakku.
Meresapi indahnya kalbu yang menjadi terbakar akibat bara
Menjadi asap dan menghilang saat Engkau tersenyum pada nya
Ku langkahkan kaki kecilku pada bebatuan dan pasir-pasir hitam
Ku rasakan belaian kabut tipis pada lembah kala itu
Menapaki rerumputan hijau basah, yang menyongsong asa akan pijakanmu
Sementara mentari bersinar pada keelokan hari, sedangkan aku tidak begitu
Udara segar menghiasi kecantikan Tuhan yang terhampar, tidak bagiku sekarang
Aku akan bersinar pada dewa kesedihan dalam kedalaman gundahmu
Aku akan menyegarkan hari saat hatimu di selimuti awan kegelapan
Akar-akar pohon bersedu ketika ku injak dengan langkah-langkah gontai
Menuruni dan mendaki bukit egomu
Menjadi burung aku berfikir sejenak sambil tersenyum kecut pada akar itu
Takkan pernah ku sadari cahaya terang didepan sana itu siapa
Mengulurkan tangan lembut sambil memegang selendang putih bersih
Yang jauh tesirat adalah keteduhan matamu, bukan perempuan itu
Banyak kicauan menghampiri gubuk mesra kita
Saat engkau berkelana mencari Ksatria Semesta lainnya
Sedangkan aku duduk di depan tungku kehidupan menunggumu datang sambil membawa berita pahit untukku
Oh Purnama, tidaklah aku yang bertahta akan kerajaan Cinta
Menjadi kering begitu cepat
Wahai Malaikat Tuhan, engkau puncak gunung yang kumiliki duduk manis bersama anakku.