kris_
Guru Semprot
- Daftar
- 24 May 2014
- Post
- 622
- Like diterima
- 406
Rahayu,
Sekian lama vakum, saya kembali menulis keluh-kesah disini. Bingung juga mau nulis uneg-uneg saya dimana.
Sebelumnya saya mau meminta maaf apabila trit saya ini menyinggung banyak pihak.
Pagi tadi ketika sedang menyeruput kopi sambil menghisap rokok, saya berbincang dengan teman-teman mengenai keresahannya. Terutama dengan adanya orang yang menendang sesajen di Gunung Semeru.
Tentu kita sudah tau akan hal itu dan tersangkanya juga sudah tertangkap. Setelah ditangkap dia kemudian meminta maaf pada masyarakat Indonesia. Kalau ditanya apa motifnya, jawabannya cuma karena aksi spontan saja.
Kasusnya sudah ditangani, tapi tetap saja ada yang tidak terima kalau "penedang sesajen itu ditangkap. Malah mengatakan kalau "kemusyrikan bahaya aqidah", harus diharamkan.
Apa sedangkal itu pemahaman nya tentang toleransi ber-agama?
Apa kalau sudah menendang sesajen terus bisa selesai masalahnya?
Saya sampai berpikir kalau saja sesaji itu berbentuk uang pecahan seratus ribuan mungkin tidak akan ditendang begitu.
Menurut saya, boleh lah kalau mau jadi fanatis sama agama, boleh kalau mau kecanduan agama. Tapi mbok yo toleransi pada sesama juga ditegakkan. Sama-sama Manusia Indonesia lho!
Ada seorang teman yang bergerak di bidang spiritual ngomong : "santet aja itu orang nya!!".
Lalu saya jawab : "nek sampeyan bisa, monggo di santet !".
Indonesia itu Negara Pancasila, bukan negara santet. Negara Indonesia itu Negara Hukum, bukan negara rimba.
Sebenarnya saya malu melihat ada saudara yang berbuat seperti itu, namun saya juga tidak terima kalau sesajen diperlakukan dengan tidak baik.
Kita sendiri (yang mengaku ngerti masalah sesaji/budaya leleuhur) tidak menjelaskan secara jelas makna dari sesajen itu. Atau bahkan tidak tau makna sesaji dibuat. Sehingga sesajen dipandang sebagai klenik semata.
Maaf jika terlalu panjang keluh kesah saya, dan mungkin juga agak ribet bahasanya. Terima kasih kepada warga Forum Semprot dan kepada Moderator suhu @rockmantic sudah memperbolehkan saya menulis disini.
Terima kasih
Rahayu, Rahayu, Rahayu
Merdeka!
Sekian lama vakum, saya kembali menulis keluh-kesah disini. Bingung juga mau nulis uneg-uneg saya dimana.
Sebelumnya saya mau meminta maaf apabila trit saya ini menyinggung banyak pihak.
Pagi tadi ketika sedang menyeruput kopi sambil menghisap rokok, saya berbincang dengan teman-teman mengenai keresahannya. Terutama dengan adanya orang yang menendang sesajen di Gunung Semeru.
Tentu kita sudah tau akan hal itu dan tersangkanya juga sudah tertangkap. Setelah ditangkap dia kemudian meminta maaf pada masyarakat Indonesia. Kalau ditanya apa motifnya, jawabannya cuma karena aksi spontan saja.
Kasusnya sudah ditangani, tapi tetap saja ada yang tidak terima kalau "penedang sesajen itu ditangkap. Malah mengatakan kalau "kemusyrikan bahaya aqidah", harus diharamkan.
Apa sedangkal itu pemahaman nya tentang toleransi ber-agama?
Apa kalau sudah menendang sesajen terus bisa selesai masalahnya?
Saya sampai berpikir kalau saja sesaji itu berbentuk uang pecahan seratus ribuan mungkin tidak akan ditendang begitu.
Menurut saya, boleh lah kalau mau jadi fanatis sama agama, boleh kalau mau kecanduan agama. Tapi mbok yo toleransi pada sesama juga ditegakkan. Sama-sama Manusia Indonesia lho!
Ada seorang teman yang bergerak di bidang spiritual ngomong : "santet aja itu orang nya!!".
Lalu saya jawab : "nek sampeyan bisa, monggo di santet !".
Indonesia itu Negara Pancasila, bukan negara santet. Negara Indonesia itu Negara Hukum, bukan negara rimba.
Sebenarnya saya malu melihat ada saudara yang berbuat seperti itu, namun saya juga tidak terima kalau sesajen diperlakukan dengan tidak baik.
Kita sendiri (yang mengaku ngerti masalah sesaji/budaya leleuhur) tidak menjelaskan secara jelas makna dari sesajen itu. Atau bahkan tidak tau makna sesaji dibuat. Sehingga sesajen dipandang sebagai klenik semata.
Maaf jika terlalu panjang keluh kesah saya, dan mungkin juga agak ribet bahasanya. Terima kasih kepada warga Forum Semprot dan kepada Moderator suhu @rockmantic sudah memperbolehkan saya menulis disini.
Terima kasih
Rahayu, Rahayu, Rahayu
Merdeka!