Lorong itu masih seperti dulu, masih penuh dengan coretan dan doa-doa yg tak terkabulkan .. Di pinggir rel ini, di tepian kalbu yg selalu berdebu karna tiap kali kereta melintas, mesin itu pasti berteriak menghina, mengolok jiwa yg tak pernah sampai ke stasiun ..
Tak ada cinta dalam asap Marlboro-ku yg kian menghilang di langit, yg ada hanyalah segurat kenangan dalam dada yg kian sesak.
Dinda ! Bagaimana kabar mu ? Semoga Tuhan tak pernah berpaling darimu ..
Dinda .. Ku harap kau masih ingat akan waktu itu, tentang senja yg ku bentangkan di langit mendung .. Atau tentang sebuah lagu perjuangan yg ku nyanyikan dengan ke-putus asa-an di bawah gemuruh kereta pembawa mayat .. di samping pohon mahoni yg kini tinggal akar-nya saja.
Dinda .. Ku harap kau juga masih merasakan manisnya sepotong roti yg ku curi saat kita nyaris mati kelaparan malam itu .. atau tentang hangatnya sehelai spanduk rombeng yg membungkus tubuh kita saat dingin semakin gila .. Di pinggir rel ini, di tepian kalbu yg selalu berdebu karna jiwa kita tak pernah sampai di stasiun ..
Saat itu kita memang maling, mencuri hak kita yg di rampas mereka, tapi itu semua hanya untuk menemukan sedikit cahaya sang matahari, karna malam tak mungkin menunggu. Tidur kita pun tak pernah punya mimpi, karna kita tak pernah punya uang untuk membelinya atau sekedar menyewa-nya, tak pernah .. tak akan pernah ..
Namun, kita punya sebatang lilin yg bercahaya ! meski tak seterang matahari-matahari di balik gedung pencakar langit itu, namun, cahayanya mampu menyinari sudut2 kumuh yg tak mungkin terjangkau matahari.
Dinda .. Ku harap kau masih sudi untuk mengingatnya, sebab luka itu tlah meninggalkan borok di telapak kaki-mu .. Sebuah borok yg bercerita tntang bagaimana kita terkubur dalam kubangan mata2 yg menghina.
Dinda .. Masih ingatkah kamu ?! Ku harap kau masih mengingat-nya ..
Beberapa menit telah berlalu, mengantar ku pada kenangan 10 tahun silam hingga setetes gerimis terjatuh tepat di pelipis-ku, seakan melepaskan diri ini pada kenangan itu, tiba-tiba saja ..
"Dindaa !! Ayoo !! Udah mau hujan sayang !!"
Suara suamiku dari dalam mobil, memintaku untuk segera beranjak, karna mungkin hujan akan segera turun. Tanpa menjawab, ku putar tubuhku dan segera ku langkahkan kaki ini di susul sesimpul senyum untuknya, untuk pria tampan yg tengah menungguku dalam honda civic, sebuah sedan hasil kerja keras kami selama ini. Pria itu pun segera bergeser ke arah kemudi lalu menyalakan mesinnya dan kami mulai beranjak pergi dari sini. Pergi meninggalkan kenangan yg tak terkenang, tentang segurat wajah di langit senja yg mulai gerimis ..
Tak ada cinta dalam asap Marlboro-ku yg kian menghilang di langit, yg ada hanyalah segurat kenangan dalam dada yg kian sesak.
Dinda ! Bagaimana kabar mu ? Semoga Tuhan tak pernah berpaling darimu ..
Dinda .. Ku harap kau masih ingat akan waktu itu, tentang senja yg ku bentangkan di langit mendung .. Atau tentang sebuah lagu perjuangan yg ku nyanyikan dengan ke-putus asa-an di bawah gemuruh kereta pembawa mayat .. di samping pohon mahoni yg kini tinggal akar-nya saja.
Dinda .. Ku harap kau juga masih merasakan manisnya sepotong roti yg ku curi saat kita nyaris mati kelaparan malam itu .. atau tentang hangatnya sehelai spanduk rombeng yg membungkus tubuh kita saat dingin semakin gila .. Di pinggir rel ini, di tepian kalbu yg selalu berdebu karna jiwa kita tak pernah sampai di stasiun ..
Saat itu kita memang maling, mencuri hak kita yg di rampas mereka, tapi itu semua hanya untuk menemukan sedikit cahaya sang matahari, karna malam tak mungkin menunggu. Tidur kita pun tak pernah punya mimpi, karna kita tak pernah punya uang untuk membelinya atau sekedar menyewa-nya, tak pernah .. tak akan pernah ..
Namun, kita punya sebatang lilin yg bercahaya ! meski tak seterang matahari-matahari di balik gedung pencakar langit itu, namun, cahayanya mampu menyinari sudut2 kumuh yg tak mungkin terjangkau matahari.
Dinda .. Ku harap kau masih sudi untuk mengingatnya, sebab luka itu tlah meninggalkan borok di telapak kaki-mu .. Sebuah borok yg bercerita tntang bagaimana kita terkubur dalam kubangan mata2 yg menghina.
Dinda .. Masih ingatkah kamu ?! Ku harap kau masih mengingat-nya ..
Beberapa menit telah berlalu, mengantar ku pada kenangan 10 tahun silam hingga setetes gerimis terjatuh tepat di pelipis-ku, seakan melepaskan diri ini pada kenangan itu, tiba-tiba saja ..
"Dindaa !! Ayoo !! Udah mau hujan sayang !!"
Suara suamiku dari dalam mobil, memintaku untuk segera beranjak, karna mungkin hujan akan segera turun. Tanpa menjawab, ku putar tubuhku dan segera ku langkahkan kaki ini di susul sesimpul senyum untuknya, untuk pria tampan yg tengah menungguku dalam honda civic, sebuah sedan hasil kerja keras kami selama ini. Pria itu pun segera bergeser ke arah kemudi lalu menyalakan mesinnya dan kami mulai beranjak pergi dari sini. Pergi meninggalkan kenangan yg tak terkenang, tentang segurat wajah di langit senja yg mulai gerimis ..
Dinda