Di laci ke enam, buku itu kau simpan. Buku yang lebih tipis dari senyum yang miris.
Matamu masih saja sibuk mencari musim yang hilang di jarak jauh tatapan lengang.
"Kau percaya ramalan, Num?"
"Aku percaya pada hati yang terus berjuang sebelum mati"
Siang itu. Dua mendung menggantung, di atap langit pun wajahmu yang murung. Perpustakaan sepi. Tapi dada kita begitu ramai, ribuan pengunjung berpesta, di tengah jantung kita yang sedang sekarat.
"Pergilah"
Kau menggumam. Lirih, jua perih seperti maut yang demam. Lalu gerimis jatuh, halaman di keningmu basah, dan kolam di mataku pecah. Di beranda perpustakaan, setelah berbagi katalog, ciuman terakhir dan sisa pelukan. Bersama hujan yang tanpa dialog, kemudian sebelum luka, kita memilih sepakat menjadi kenangan.
Matamu masih saja sibuk mencari musim yang hilang di jarak jauh tatapan lengang.
"Kau percaya ramalan, Num?"
"Aku percaya pada hati yang terus berjuang sebelum mati"
Siang itu. Dua mendung menggantung, di atap langit pun wajahmu yang murung. Perpustakaan sepi. Tapi dada kita begitu ramai, ribuan pengunjung berpesta, di tengah jantung kita yang sedang sekarat.
"Pergilah"
Kau menggumam. Lirih, jua perih seperti maut yang demam. Lalu gerimis jatuh, halaman di keningmu basah, dan kolam di mataku pecah. Di beranda perpustakaan, setelah berbagi katalog, ciuman terakhir dan sisa pelukan. Bersama hujan yang tanpa dialog, kemudian sebelum luka, kita memilih sepakat menjadi kenangan.