mekstik
Guru Semprot
Kisanak oh kisanak!
Di hari pertama seorang siswa
SMP di kelas Fisika, maka bab
pertama dari buku tersebut
membahas soal ukuran.
Bicara
soal pengukuran secara ilmiah,
maka sekelompok manusia harus menyepakati sesuatu sebagai
pembandingnya dan meyakini
bahwa si pembanding ini memang
benar adanya.
Misalnya seperti sinetron Indosia*
di sepakati banyak orang sebagai pembanding untuk hal-hal terburuk
yang bisa di buat seseorang dalam film.
Percaya atau tidak, di
tiap forum film yang gue
sambangi, kebanyakan
anggotanya menjadikan 'sinetron Indosia*' sebagai rujukan untuk
spesial efek terburuk atau
kostum terburuk.
Yup, they are
THAT bad. Belom lagi kesalahan
anak ronisme atau pun konsistensi,
dan jangan coba-coba mengulik sisi orisinalitasnya.
Percuma, yang
ada lo ntar sakit hati.
Pada dasarnya, melihat sinetron
Indosia* di tipi adalah sejenis
siksaan mata plus di tambah lagi
combo penderitaan lahir batin yang menyusul sesudahnya.
Mungkin sinetron Indosia* adalah
epitome dari masyarakat
Indonesia secara keseluruhan
ngawur, penuh masalah tanpa
solusi, nggak tahu mau di bawa kemana masa depan negara, dan
bikin sakit kepala melihat tingkah
polah pejabat-pejabatnya. Dari jaman gue masih nonton
Wiro Sableng, Si Buta Dari Goa
Hantu, sampe Mak Lampir dengan
efek suaranya yang ketawa
ketiwi bloon itu di tiga season
pertama Misteri Gunung Merapi, sampe Nyai Blorong dan bahkan
Tutur Tinular,
Gue berkesimpulan
sebenernya kita sedang
melangkah mundur sebagaimana
dalam segi-segi lainnya. Sebelum
masuk tipi dan jadi pilem serial, Tutur Tinular adalah film bioskop
yang kala itu lumayan ngetop dan
dari segi massal maupun
pertempuran, Tutur Tinular
tergolong lumayan berada buat
ukuran jaman baheula. Pernah denger film yang judulnya
Pendekar Mata Satu Lawan Sabuk
Badak ? Lame title huh ? Tapi gue
nonton itu lho, dan nggak jelek-jelek
amat.
Efek-efeknya sama kayak film
silat Hong Kong taon jebot tapi ya lumayan! Make up department-
nya niat dan aktingnya masih bisa
dinikmati. Sekarang? Well...
yeah... laughable.
Begitu buruknya spesial efek film
Indonesia di masa kini, bahkan film-film Suzanna yang dodol-dodol () seram
itu pun masih punya kualitas efek
yang jauh lebih baik.
Oleh karena itu jangan heran
kenapa sinetron laga Indosia*
dapat predikat ter- dalam segala hal yang negatif. Jika sebuah film
di samakan dengan sinetron
Indosia*, maka selamat! Artinya
pilem ente sampah sejagad dan
layak menempati skala kosong
alias sutradaranya mendingan kuliah perfilman lagi dulu aja biar
ga malu-maluin. Kalo film jelek adalah
cowok, maka film jelek yang
di samakan dengan sinetron laga
Indosia* itu ibarat cowok yang
udah jelek, gendut, bego, idup pula, masih pake acara impoten.
Mantep kan? () Nggak ada guna.
Apa sih hal-hal yang membuat
sebuah pilem jelek sampe
tega teganya di samaken dengan
sinetron laga Indosia* ? Hmm... bisa jadi;
1. Hasil CGI yang di gunakan
lebih parah dari hasil
karya mahasiswa DKV
jurusan animasi yang
bermodalkan PC dan
software bajakan
2. Aktingnya mirip orang lagi
kebelet.
3. Kostumnya ngasal,
di desain nggak pake mikir.
4. Dandanannya udah kayak
orang di sirem bedak
5. Jalan ceritanya bikin
Stephanie Meyer
tersenyum bangga Toh meskipun gue menghina-hina kayak gini , sebenernya gue
cuman niat koar-koar sendiri. Toh
memprotes keburukan kualitas
sinetron laga Indosia* itu bener-bener nggak ada gunanya, ntuh sinetron tetep di bikin dengan kualitas
asal-asalan dan pastinya ada yang
nonton (kalo nggak gimana
sponsor mau pasang iklan coba? )
Sama kayak protes kenapa
kuntilanak bisa jadi perawan sekaligus jadi mesum di film-film bioskop.
Or how they love to fuck.
Atau kenapa cap perawan begitu
penting dalam judul-judul pilem
sampah Indon. Kecurigaan gue sih
jangan-jangan kita ini bangsa yang menderita fetisme terhadap
keperawanan dan para pembuat
film ini menyadarinya sehingga
mengempelkan stempel
PERAWAN segede-gede gaban di tiap
judul film semi bokepnya. Jika ada hal yang patut
disyukuri... bisa jadi kita boleh
menghela nafas lega karena
wabah pencitraan perawan-isme
belom merambahi judul-judul sinetron
kita. Nggak kebayang kan ada judul sinetron... Aisyah Hantu
Perawan Mesum , lhooo! Atau
Marwam Digoda Pocong Perawan .
Bisa gila dengernya nggak tuh?
Semenjak ocehan gue nggak ada
gunanya bagi perkembangan apapun di Indonesia, yah... gue
hanya mengajak pembaca
sekalian ikut serta untuk
mengolok-olok sinetron laga Indosia*
kapanpun, dimanapun, dengan
cara apapun, semau-maunya saja. Toh nggak ada yang peduli juga,
ya kan?
Mungkin para produser sinetron
ini ingin menunjukkan bahwa...
bagaimanapun di butuhkan film
yang buruk untuk menentukan film yang baik, dan tidak semua
orang ingin nonton film yang
baik--liat aja ratingnya tinggi gitu.
Mereka membidik pasar orang-orang yang ingin menikmati contoh
kualitas skala nol dalam perfilman televisi.
Dan untuk itulah sinetron laga
Indosia* di buat.
Baiklah, Kisanak! Hamba
mengerti!
Di hari pertama seorang siswa
SMP di kelas Fisika, maka bab
pertama dari buku tersebut
membahas soal ukuran.
Bicara
soal pengukuran secara ilmiah,
maka sekelompok manusia harus menyepakati sesuatu sebagai
pembandingnya dan meyakini
bahwa si pembanding ini memang
benar adanya.
Misalnya seperti sinetron Indosia*
di sepakati banyak orang sebagai pembanding untuk hal-hal terburuk
yang bisa di buat seseorang dalam film.
Percaya atau tidak, di
tiap forum film yang gue
sambangi, kebanyakan
anggotanya menjadikan 'sinetron Indosia*' sebagai rujukan untuk
spesial efek terburuk atau
kostum terburuk.
Yup, they are
THAT bad. Belom lagi kesalahan
anak ronisme atau pun konsistensi,
dan jangan coba-coba mengulik sisi orisinalitasnya.
Percuma, yang
ada lo ntar sakit hati.
Pada dasarnya, melihat sinetron
Indosia* di tipi adalah sejenis
siksaan mata plus di tambah lagi
combo penderitaan lahir batin yang menyusul sesudahnya.
Mungkin sinetron Indosia* adalah
epitome dari masyarakat
Indonesia secara keseluruhan
ngawur, penuh masalah tanpa
solusi, nggak tahu mau di bawa kemana masa depan negara, dan
bikin sakit kepala melihat tingkah
polah pejabat-pejabatnya. Dari jaman gue masih nonton
Wiro Sableng, Si Buta Dari Goa
Hantu, sampe Mak Lampir dengan
efek suaranya yang ketawa
ketiwi bloon itu di tiga season
pertama Misteri Gunung Merapi, sampe Nyai Blorong dan bahkan
Tutur Tinular,
Gue berkesimpulan
sebenernya kita sedang
melangkah mundur sebagaimana
dalam segi-segi lainnya. Sebelum
masuk tipi dan jadi pilem serial, Tutur Tinular adalah film bioskop
yang kala itu lumayan ngetop dan
dari segi massal maupun
pertempuran, Tutur Tinular
tergolong lumayan berada buat
ukuran jaman baheula. Pernah denger film yang judulnya
Pendekar Mata Satu Lawan Sabuk
Badak ? Lame title huh ? Tapi gue
nonton itu lho, dan nggak jelek-jelek
amat.
Efek-efeknya sama kayak film
silat Hong Kong taon jebot tapi ya lumayan! Make up department-
nya niat dan aktingnya masih bisa
dinikmati. Sekarang? Well...
yeah... laughable.
Begitu buruknya spesial efek film
Indonesia di masa kini, bahkan film-film Suzanna yang dodol-dodol () seram
itu pun masih punya kualitas efek
yang jauh lebih baik.
Oleh karena itu jangan heran
kenapa sinetron laga Indosia*
dapat predikat ter- dalam segala hal yang negatif. Jika sebuah film
di samakan dengan sinetron
Indosia*, maka selamat! Artinya
pilem ente sampah sejagad dan
layak menempati skala kosong
alias sutradaranya mendingan kuliah perfilman lagi dulu aja biar
ga malu-maluin. Kalo film jelek adalah
cowok, maka film jelek yang
di samakan dengan sinetron laga
Indosia* itu ibarat cowok yang
udah jelek, gendut, bego, idup pula, masih pake acara impoten.
Mantep kan? () Nggak ada guna.
Apa sih hal-hal yang membuat
sebuah pilem jelek sampe
tega teganya di samaken dengan
sinetron laga Indosia* ? Hmm... bisa jadi;
1. Hasil CGI yang di gunakan
lebih parah dari hasil
karya mahasiswa DKV
jurusan animasi yang
bermodalkan PC dan
software bajakan
2. Aktingnya mirip orang lagi
kebelet.
3. Kostumnya ngasal,
di desain nggak pake mikir.
4. Dandanannya udah kayak
orang di sirem bedak
5. Jalan ceritanya bikin
Stephanie Meyer
tersenyum bangga Toh meskipun gue menghina-hina kayak gini , sebenernya gue
cuman niat koar-koar sendiri. Toh
memprotes keburukan kualitas
sinetron laga Indosia* itu bener-bener nggak ada gunanya, ntuh sinetron tetep di bikin dengan kualitas
asal-asalan dan pastinya ada yang
nonton (kalo nggak gimana
sponsor mau pasang iklan coba? )
Sama kayak protes kenapa
kuntilanak bisa jadi perawan sekaligus jadi mesum di film-film bioskop.
Or how they love to fuck.
Atau kenapa cap perawan begitu
penting dalam judul-judul pilem
sampah Indon. Kecurigaan gue sih
jangan-jangan kita ini bangsa yang menderita fetisme terhadap
keperawanan dan para pembuat
film ini menyadarinya sehingga
mengempelkan stempel
PERAWAN segede-gede gaban di tiap
judul film semi bokepnya. Jika ada hal yang patut
disyukuri... bisa jadi kita boleh
menghela nafas lega karena
wabah pencitraan perawan-isme
belom merambahi judul-judul sinetron
kita. Nggak kebayang kan ada judul sinetron... Aisyah Hantu
Perawan Mesum , lhooo! Atau
Marwam Digoda Pocong Perawan .
Bisa gila dengernya nggak tuh?
Semenjak ocehan gue nggak ada
gunanya bagi perkembangan apapun di Indonesia, yah... gue
hanya mengajak pembaca
sekalian ikut serta untuk
mengolok-olok sinetron laga Indosia*
kapanpun, dimanapun, dengan
cara apapun, semau-maunya saja. Toh nggak ada yang peduli juga,
ya kan?
Mungkin para produser sinetron
ini ingin menunjukkan bahwa...
bagaimanapun di butuhkan film
yang buruk untuk menentukan film yang baik, dan tidak semua
orang ingin nonton film yang
baik--liat aja ratingnya tinggi gitu.
Mereka membidik pasar orang-orang yang ingin menikmati contoh
kualitas skala nol dalam perfilman televisi.
Dan untuk itulah sinetron laga
Indosia* di buat.
Baiklah, Kisanak! Hamba
mengerti!
Terakhir diubah: