Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

LOUNGE Pecinta Kopi Masuk Di SINI !!

tanya om blended kopi yg pas antara arabika n robusta dong
Kalo kopi, untuk soal urusan takaran yg pas sih, tergantung selera masing-masing individu. Tapi, umumnya takaran yg pas untuk blend arabica & robusta, 10% robusta sisanya arabica. Silahkan dicoba, silahkan bereksperimen untuk menemukan selera yang cocok buat anda pribadi.

Cheers,,,
:kopi::pandapeace:
 
Kalo kopi, untuk soal urusan takaran yg pas sih, tergantung selera masing-masing individu. Tapi, umumnya takaran yg pas untuk blend arabica & robusta, 10% robusta sisanya arabica. Silahkan dicoba, silahkan bereksperimen untuk menemukan selera yang cocok buat anda pribadi.

Cheers,,,
:kopi::pandapeace:
Mantap...besok balik dari siantar gw coba deh...tengkyu inpo nya ya om
 
Kaka2 Usuh semua,

ini saya share aja beberapa artikel dari majalah Tempo edisi khusus kopi kemarin, sapa tau berguna dan bermanfaat. kebetulan ane langganan versi digital, jadi bisa copas isinya disini,
semangat sekedar ingin sharing :ampun:

Majalah Tempo 25 Maret 2018 edisi khusus Kopi, Aroma, Rasa dan Cerita:

Dari Kebun Sampai Ke Cangkir


LIMA belas tahun setelah benih kopi arabika pertama ditanam di Jawa oleh Belanda pada 1696, Bupati Cianjur Aria Wira Tanu mengirimkan sekitar empat kuintal kopi ke Amsterdam. Ekspor kopi itu untuk pertama kalinya memecahkan rekor harga dalam lelang di sana. Pada 1726, sebanyak 2.145 ton kopi asal Jawa membanjiri Eropa, menggeser kopi Mocha dari Yaman yang menjadi penguasa pasar. Sejak itu, kopi asal Jawa populer dengan sebutan Java Coffee.

Dua belas tahun sebelumnya, Raja Louis XIV meminta Wali Kota Amsterdam Nicholas Witsen mengirimkan benih Coffea arabica var. arabica yang disebut juga Coffea arabica L. var. typica-selanjutnya disebut tipika. Raja Prancis itu mendengar berita bahwa kopi asal Jawa dihargai tinggi dalam lelang di Amsterdam. Ia menginginkan varietas kopi tersebut menjadi bagian dari koleksi kebun raya Jardin des Plantes yang berlokasi di Paris.

Benih kopi pemberian Nicholas Witsen sesungguhnya berasal dari bantaran Ciliwung, seperti Kampung Melayu dan Meester Cornelis, nama lama Jatinegara, wilayah awal perkebunan kopi di Jawa, yang bibitnya dibawa orang Belanda dari Sri Lanka. Pada 1706, setelah melihat kopi tumbuh berlambak di Jawa, kompeni mengirimkan benih kopi dari Ciliwung ke kebun botani di Amsterdam untuk ditelaah. Kesimpulannya, kopi tersebut berkualitas bagus.

Perwira angkatan laut Prancis kemudian membawa benih kopi dari Jardin des Plantes yang berasal dari Jawa itu ke Martinique, koloni Prancis di Karibia. Pada awal 1720-an itu, Belanda juga mengapalkan benih kopi Jawa ke Suriname. Tergiur oleh harga kopi Jawa yang tinggi, Belanda ingin mengembangkan perkebunannya di sana. Dari kedua tempat itu, benih kopi Jawa kemudian menyebar ke Amerika Tengah dan Amerika Selatan.

Menurut Prawoto Indarto, yang menekuni sejarah kopi, jejak kopi Jawa di Amerika Latin masih terlihat sampai sekarang. "Di kebun mereka ada tipika," katanya dalam diskusi di kantor kami pada akhir tahun lalu. Ia mencontohkan kopi Blue Mountain yang ditanam di Jamaika dan Geisha-ada juga yang menyebutnya Gesha, mengacu pada nama dusun penghasil kopi di Ethiopia-yang tumbuh di Panama.

Di pasar dunia, keduanya menjadi primadona. Harga satu kilogram Geisha bisa di atas US$ 1.000 atau Rp 13 juta dalam kurs saat ini. Sebuah kafe di Los Angeles, Amerika Serikat, menjual secangkir Geisha hingga US$ 55 atau sekitar Rp 750 ribu. Geisha, yang merupakan hasil persilangan tipika dan varietas lain, juga kerap menjadi andalan para baracik dalam kompetisi peracik kopi internasional.

Kedigdayaan Java Coffee surut menjelang 1880. Serangan jamur Hemileia vastatrix menyebabkan pohon-pohon kopi mati. Jamur tersebut memakan daun seperti karat. Itu sebabnya para petani menyebutnya penyakit karat daun. Pada 1880, menurut Prawoto, Jawa kehilangan potensi ekspor sekitar 120 ribu ton kopi dan menyebabkan pasar kopi dunia panik.

Belanda sempat menanam Coffea canephora var. liberica atau liberika untuk menggantikan tipika Jawa, tapi gagal. Pada 1900, perusahaan perkebunan Soember Agoeng di Jawa Timur membeli 150 benih kopi Coffea canephora var. robusta atau robusta dari Pembibitan Hortikultura Kolonial di Brussels, Belgia, yang mengembangkan benih asal Kongo ini.

Robusta terbukti lebih tahan karat daun. Karena itu, konon, nama robusta berasal dari kata "robust" yang artinya kuat. Sejak itu, robusta mendominasi produksi kopi Nusantara. Pada 2016, produksi robusta mencapai 465.600 ton. Sedangkan perkebunan arabika menghasilkan 173.900 ton atau sekitar 27 persen dari total produksi kopi Indonesia. Di dunia, Indonesia adalah negara penghasil kopi terbesar keempat setelah Brasil, Vietnam, dan Kolombia.

Setelah menghilang selama puluhan tahun, kopi arabika Indonesia kembali dinikmati dunia. Data Kementerian Pertanian menunjukkan produksi kopi arabika selama satu dasawarsa terakhir terus meningkat, meski masih jauh di bawah robusta. Selain permintaan dunia, ini agaknya disebabkan oleh makin antusiasnya orang Indonesia minum kopi.

Kedai kopi menjamur hingga ke pelosok. Minum kopi tak hanya menjadi kebutuhan, tapi juga gaya hidup. Para penikmat kopi bahkan sudah tergolong bagian "kopi gelombang ketiga". Mereka tak hanya menyesap kopi, tapi juga mengulik sejarahnya, pengolahan, penyajian, hingga eksplorasi rasa.

Tingginya minat minum kopi Nusantara membuat Slamet Prayogo, pemilik kebun Malabar Mountain Coffee di Pangalengan, Bandung, berhenti menjual kopinya ke luar negeri. "Memenuhi kebutuhan dalam negeri saja kewalahan," ujar pemilik Malabar Mountain, kafe dan tempat sangrai kopi di Bogor, ini.

Kementerian Pertanian mencatat produksi kopi dalam negeri selama beberapa tahun terakhir rata-rata tumbuh 0,93 persen dan pertumbuhan konsumsinya rata-rata 2,43 persen. Angka konsumsi, menurut Gabungan Eksportir Kopi Indonesia, malah lebih tinggi: sekitar 8 persen per tahun, di atas pertumbuhan konsumsi dunia.

Untuk memotret gairah orang terhadap kopi Nusantara, kami menerbitkan edisi khusus ini yang berbarengan dengan musim panen selama Maret-Mei tahun ini. Agar berwarna, kami mengirim Praga Utama, wartawan di desk ekonomi, berziarah ke dataran Gayo di Aceh serta Sidikalang, Lintong, dan Karo di Sumatera Utara. Ditemani Slamet Prayogo, Praga merekam penanaman, pengolahan, tata niaga, hingga kultur masyarakat yang lahir dari kopi.

Praga juga mengunjungi Ciwidey, Malabar, dan Pangalengan, sentra kopi Jawa Barat. Kopi Priangan melejit kembali di luar negeri, mengingatkan pada Java Coffee, 300 tahun lalu.

Untuk memperkaya, kami juga berdiskusi dengan sejumlah praktisi kopi. Selain Prawoto Indarto, yang menulis buku The Road to Java Coffee; ada Mira Yudhawati dari kedai Caswell’s, yang ikut memelopori perkembangan kopi spesialti di Indonesia; dan Yoshua Tanu, pemilik kedai Common Grounds sekaligus juara tiga kali kompetisi barista Indonesia dan semifinalis kejuaraan baracik dunia.

Jadi, mari merayakan kopi Nusantara sembari menyesap sejarah dan pernak-pernik pengolahannya di edisi ini. Selamat membaca!


Cara Lawas Rasa Global


TAK butuh waktu lama bagi Joseng, barista di Omerta Koffie Medan, menyiapkan kopi tubruk. Setelah menggiling kasar biji kopi Mandailing, dia memindahkannya ke dalam gelas, lalu mengguyurnya dengan air panas. Bubuk kopi terangkat sesaat begitu terkena air panas, kemudian tenggelam perlahan. Selesai, minuman kopi kental nan pahit itu siap disajikan.

Joseng menyarankan untuk menunggu beberapa menit agar bisa lebih menikmati rasa kopi. Dalam masa itu, terjadi blooming, serbuk kopi "mekar" di dalam air. Hal ini terjadi karena gas karbon dioksida yang diserap biji kopi ketika disangrai terdorong keluar oleh gempuran air panas. Kemunculan blooming juga menjadi penanda kesegaran kopi. "Khusus kopi tubruk, blooming terus terjadi walau kopi sudah dingin," kata Joseng, dua pekan lalu.

Kopi tubruk sebagai metode seduh tradisional mudah dijumpai di berbagai daerah di Indonesia dan kerap menjadi pilihan utama masyarakat. Padahal beragam trik meracik kopi dengan bermacam alat sudah merebak. Warga Aceh, misalnya, tetap menggemari kopi tubruk dan sanger-kombinasi seduhan kopi saring dan susu kental manis yang menjadi ciri khas minum kopi Aceh.

Menurut Alfi Syahrie, pemilik kafe Tootor Coffee di Takengon, Aceh, perangkat seduh kopi manual, seperti V60, kalita, chemex, dan syphon, jarang keluar dari lemari kaca kedainya. "Pengunjung jarang memesan kopi manual brew," ujarnya saat ditemui Tempo pada pertengahan Februari lalu. "Konsumen masih lebih suka kopi sanger atau tubruk."

Kopi tubruk adalah budaya menyeduh kopi khas Indonesia. Minuman disajikan tanpa menyingkirkan sedimen atau ampas kopi. Membuatnya pun sangat sederhana, tanpa ada komposisi atau aturan pembuatan khusus yang menjadi patokan utama. "Metode ini sudah ada di seluruh wilayah Indonesia sejak dulu. Tidak ada yang tahu pasti dari mana asal-usul istilah kopi tubruk," kata Kasmito, ahli cita rasa kopi alias Q grader, pertengahan Maret lalu.

Dalam daftar metode seduh manual, membuat kopi tubruk adalah cara paling sederhana dan mudah. Tidak perlu alat khusus seperti V60 saat membuat minuman kopi Vietnam. Dalam ilmu meracik kopi, teknik kopi tubruk dikenal sebagai cupping. "Metode ini justru menjadi cara mendeteksi rasa kopi paling detail," ucap Kasmito, yang juga memiliki toko Maharaja Coffee. "Istilah mungkin beda, tapi tekniknya sama."

Dalam buku Kopi dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, penyajian kopi bersama sedimen ala Indonesia ini mirip dengan tradisi para peminum kopi di Timur Tengah. Lebih dikenal sebagai kopi Turki, teknik mereka berakar dari Kairo, Mesir, yang menyebar ke Turki dan seluruh Timur Tengah.

Kopi Turki diproses dari biji yang disangrai sedang hingga berwarna gelap, lalu digiling. Bubuk kopi berukuran halus kemudian direbus bersama gula. Ciri minuman kopi Turki yang benar ditandai oleh munculnya kaimaki atau lapisan busa berwarna cokelat di permukaan seduhan. Minuman kopi Turki juga ditambah rempah, antara lain kapulaga.

Menurut Prawoto Indarto, peneliti sejarah kopi Indonesia, mencampur gula dan rempah juga sudah ada dalam tradisi kopi Indonesia. Masyarakat, terutama di Pulau Jawa, biasa memasukkan gula merah atau gula batu. Belanda, di era kolonial, membawa pengaruh dalam minum kopi dengan menambah rempah seperti jahe dan kayu manis. "Semua dasarnya kopi tubruk," ujarnya.

Meski sederhana, metode kopi tubruk ternyata menjadi standar dalam penilaian kopi di setiap kompetisi atau lelang dunia. Cuma teknik ini yang dipakai untuk mengeksplorasi profil kopi. "Ini seperti penghargaan khusus terhadap gaya seduh kopi tubruk," kata Prawoto.

Namun metode seduh kopi tubruk dinilai tidak menarik untuk promosi komersial. Triknya terlalu sederhana dan kalah bersaing dibanding metode lain. "Enggak ada coffee shop bikin demo kopi tubruk, apalagi mereka punya alat macam-macam," ujar Kasmito. "Namun gaya seduh kopi tubruk tidak akan hilang."

Prawoto mengatakan model seduh tradisional Indonesia tidak akan tergerus ingar-bingar gaya menikmati kopi modern. Meski demikian, kopi tubruk sebagai gaya minum khas Indonesia perlu ditampilkan berdampingan dengan model lain yang populer dalam menu di coffee shop. "Tidak perlu malu menulis dan menyajikannya. Saya sudah melihat beberapa kafe memasang menu kopi tubruk." *


Cita Rasa Sebutir Kopi


ADA lebih dari dua puluh varietas kopi arabika yang ditanam di perkebunan-perkebunan kopi di Indonesia. Setiap varietas punya karakter rasa yang berbeda-beda. Cita rasa itu muncul karena pengaruh tempat tumbuh, jenis, dan ketinggian permukaan tanah lokasi kebun. Faktor lain yang paling mempengaruhi rasa adalah metode pengolahan setelah biji kopi dipetik, disangrai, dan metode penyimpanannya.

Arabika

Aceh
Lokasi: Danau Laut Tawar serta Pegunungan Peutsago, Bateekeubelie, Geureudong, Leuser, dan Abongabong
Ketinggian: 1.100-1.300 meter
Varietas: Bergendal, Gayo 1, Gayo 2, BP 542A, C50, Catimor Jaluk, P88, S759, S288
Karakter: Keasaman tinggi, ketebalan rasa tinggi, daun teh hitam, manis

Sumatera Utara
Lokasi: Lintong, Sidikalang, Mandheling, Siborong-borong
Ketinggian: 1.200-1.500 meter
Varietas: S795, Sigarar Utang, P88
Karakter: Keasaman tinggi, ketebalan rasa tinggi, floral (aroma bunga), rempah, aroma tanah, cokelat

Sumatera Barat
Lokasi: Solok
Ketinggian: 1.200-1.800 meter
Varietas: Sigarar Utang, Kartika
Karakter: Keasaman tinggi, ketebalan rasa sedang, nangka, gula kelapa

Jambi
Lokasi: Kerinci
Ketinggian: 1.300-1.700 meter
Varietas: Sigarar Utang, Andung Sari, Borbor, P88, S795
Karakter: Keasaman tinggi, rempah, buah

Jawa Barat
Lokasi: Pangalengan, Malabar, Ciwidey, Garut
Ketinggian: 1.200-1.800 meter
Varietas: Catimor Jaluk, Tipika, Andungsari, Sigarar Utang
Karakter: Keasaman tinggi, ketebalan rasa medium, asam jawa, manis gula merah, floral (bebungaan)

Jawa Tengah
Lokasi: Gunung Sindoro dan Sumbing
Ketinggian: 1.200-1.800 meter
Varietas: Kartika 1, Kartika 2, S795, USDA
Karakter: Keasaman sedang, ketebalan rasa medium, floral, tembakau, jeruk keprok,

Jawa Timur
Lokasi: Gunung Ijen, Raung, dan Argopuro serta Bondowoso, Situbondo, Banyuwangi
Ketinggian: 1.300-1.500 meter
Varietas: Java Coffee, USDA, S795, Catimor, Tipika
Karakter: Ketebalan rasa tinggi (kecuali Java Coffee), pisang matang, cokelat, rempah

Bali
Lokasi: Kintamani, Munduk
Ketinggian: 1.000-1.500 meter
Varietas: Kopyol, S795, Kartika, USDA 762
Karakter: Ketebalan rasa medium, keasaman tinggi, cokelat, jeruk, kacang-kacangan

Nusa Tenggara Timur
Lokasi: Ngada (Flores)
Ketinggian: 1.200-1.700 meter
Varietas: Tipika, Timor Timur, S795, Angdongsari 1, Kartika, Yellow Cattura
Karakter: Keasaman tinggi, floral, cokelat, tembakau, rempah

Sulawesi
Lokasi: Tana Toraja, Enrekang
Ketinggian: 1.000-1.500 meter
Varietas: S795
Karakter: Ketebalan rasa seimbang, floral, cokelat, manis, rempah (Toraja); keasaman tinggi, ketebalan rasa tinggi, floral, herbal (Enrekang)

Papua
Lokasi: Baliem, Jaya Wijaya
Ketinggian: 1.400-2.000 meter
Varietas: S795, S288
Karakter: Ketebalan rasa tinggi, cokelat, herbal

Robusta

Bali
Lokasi: Buleleng, Tabanan
Karakter: Sepat, aroma tanah ringan, agak pedas

Jawa Timur
Lokasi: Banyuwangi, Blitar, Bondowoso, Jember, Jombang, Lumajang, Malang, Pasuruan, Probolinggo, Situbondo
Karakter: Cokelat, kacang-kacangan, aroma kuat, sepat

Lampung
Lokasi: Lampung Barat, Bandar Lampung, Tanggamus, Way Kanan
Karakter: Cokelat, kacang-kacangan, herbal, aroma tanah ringan, agak sepat

Sumatera Selatan
Lokasi: Ogan Komering Ulu Selatan, Muara Enim, Lahat, Pagar Alam
Karakter: Cokelat, pedas, karamel, buah

Liberika

Jambi
Karakter: Herbal, ketebalan rasa tinggi, aroma karet

Kalimantan Tengah
Karakter: Cokelat, herbal, buah, aroma rumput

Seduh Manual

TEKNIK seduh manual atawa manual brew dianggap sebagai cara terbaik untuk mendapatkan cita rasa asli kopi. Kopi tubruk, yang sangat populer di Indonesia, salah satunya. Dalam perkembangannya, seduh manual terbagi dalam tiga kelompok.

1. Teknik Saring

>> Bubuk diletakkan di alat penyaring dan kertas filter, lalu disirami air panas. Dibutuhkan teko leher angsa untuk mengontrol tuangan. Biasanya cairan kopi yang dihasilkan terasa ringan.

- V60 - Alat penyaring berbentuk kerucut, bermotif spiral, dan memiliki sebuah lubang di bagian bawah. Dari samping, bentuknya mirip dengan huruf "V" dengan sudut 60 derajat.
Teknik: Letakkan kertas filter yang dibentuk kerucut dalam alat penyaring, siram kertas filter dengan air panas, taruh bubuk kopi di filter, tuangkan air panas dengan gerakan melingkar, diamkan 30-40 detik, tuangkan kembali air panas sesuai dengan takaran yang diinginkan.
Waktu seduh: 3-4 menit
Gilingan: halus-agak halus
Karakter: tergantung variabel, umumnya lembut, kaya rasa, tidak ada rasa pahit

- Kalita - Alat penyaring berbentuk kerucut dengan dasar rata dan memiliki tiga lubang.
Teknik: sama dengan V60
Waktu seduh: 3-4 menit
Gilingan: agak halus
Karakter: tergantung variabel, umumnya terang, kaya rasa

- Chemex - Alat penyaring berbentuk seperti vas bunga dengan bagian tengah yang mengecil untuk meletakkan kertas filter.
Teknik: sama dengan V60
Waktu seduh: 3-4 menit
Gilingan: agak halus-kasar
Karakter: tergantung variabel, umumnya body sedikit tebal, kaya rasa

- Vietnam drip - Alat penyaring berbentuk datar yang memiliki banyak lubang kecil dan menyatu dengan wadah kopi. Alat ini tidak memerlukan kertas filter seperti alat lain.
Teknik: Letakkan alat penyaring di atas cangkir, taruh bubuk kopi ke dalam wadah kopi, masukkan alat penekan, tuangkan air panas, dan diamkan hingga seluruh cairan kopi menetes dalam cangkir.
Waktu seduh: 4-5 menit
Gilingan: kasar
Karakter: body tebal, sedikit asam

2. Teknik Tekan

>> Bubuk kopi dan air panas dimasukkan dalam alat seduh dan ditekan. Biasanya cairan kopi yang dihasilkan dengan teknik ini terasa lebih kuat dibandingkan dengan teknik seduh lain.

- French press - Terdiri atas dua bagian, yakni wadah kopi dan alat penekan yang menyatu dengan penyaring berbahan logam.
Teknik: Masukkan bubuk kopi ke dalam wadah kopi, tuangkan air panas, diamkan 30-40 detik, aduk cairan kopi, diamkan kembali hingga cairan kopi termasak sempurna, tekan alat penekan, tuangkan kopi ke dalam cangkir.
Waktu seduh: 2-3 menit
Gilingan: kasar
Karakter: body tebal, keasaman rendah

- Aero press - Terdiri atas tiga bagian, yakni wadah cairan kopi, wadah kertas filter, dan alat penekan.
Teknik: Masukkan bubuk kopi ke dalam wadah kopi, tuangkan air panas, diamkan 20-30 detik, tuangkan kembali air panas, pasang filter, balik wadah kopi, tekan cairan kopi ke dalam cangkir.
Waktu seduh: 2-3 menit
Gilingan: agak halus-kasar
Karakter: body tebal, keasaman tinggi

- Rok presso - Terdiri atas tiga bagian, yakni portafilter, chamber, dan tuas penekan.
Teknik: Taruh bubuk kopi pada portafilter, padatkan dengan sendok atau tamper, pasang portafilter, tuangkan air panas ke dalam chamber, angkat tuas penekan agar air panas pindah ke portafilter, turunkan tuas penekan dan tahan hingga seluruh cairan kopi menetes ke dalam cangkir.
Waktu seduh: 1-2 menit
Gilingan: halus
Karakter: body tebal, mirip espresso

3. Teknik Rebus

>> Bubuk kopi direbus bersama air.

- Syphon - Terdiri atas tiga bagian, yakni wadah air, wadah kopi, dan alat pemanas.
Teknik: Tuang air panas ke wadah air, pasang wadah kopi yang sudah diberi filter, masukkan bubuk kopi ke wadah kopi, taruh alat pemanas berbahan bakar spiritus di bawah wadah air, dan tunggu proses pemanasan terjadi. Ketika air sudah mendidih dan seluruhnya terangkat ke wadah kopi, aduk cairan kopi, diamkan selama 30 detik, dan matikan alat pemanas. Setelah itu, cairan kopi akan mengalir ke wadah air di bawahnya melalui filter.
Waktu seduh: sekitar 15 menit
Gilingan: halus-agak halus
Karakter: lembut, terang, aroma kuat

- Moka pot - Terdiri atas tiga bagian, yakni wadah air, wadah kopi, dan portafilter.
Teknik: Tuangkan air kopi ke dalam wadah air, pasang portafilter berisi bubuk kopi dengan wadah air, pasang wadah cairan kopi di atasnya, masak di atas api, diamkan hingga air panas dalam wadah air berpindah seluruhnya ke wadah cairan kopi, tuangkan ke dalam cangkir.
Waktu seduh: 3-4 menit
Gilingan: sangat halus
Karakter: body tebal, aroma kuat

- Turkish coffee - Alat seduh berbentuk panci kecil atau oleh orang Turki disebut dengan cezve.
Teknik: Masukkan bubuk kopi ke dalam panci, tuangkan air panas hingga setengah panci, aduk cairan kopi, tuangkan kembali air panas hingga panci penuh, dan masak di atas api hingga permukaan cairan kopi terbentuk gelembung yang cukup tebal. Yang perlu diingat, Turkish coffee tidak boleh dimasak hingga mendidih. Jika gelembung yang cukup tebal sudah muncul di permukaan cairan kopi, angkat panci dan tuangkan ke dalam cangkir.
Waktu seduh: 3-4 menit
Gilingan: sangat halus
Karakter: body tebal, aroma kuat

Sumber: Homegrounds, Prima Coffee

Kedai

BISNIS kedai kopi naik daun di kota-kota besar di Tanah Air dalam beberapa tahun terakhir. Di Jakarta saja, misalnya, sudah ada seribu lebih coffee shop yang menyajikan aneka menu kopi. Paralel dengan itu, rumah sangrai dan usaha minuman kopi siap saji berkembang. Tak melulu bisnis, kedai juga menggelar pelatihan kopi, dari yang paling dasar seperti "kopi 101" hingga baracik. Dampak "kopi gelombang ketiga".

Gerai Gelombang Ketiga
Konsep kopi spesialti dan kompetisi baracik memacu tumbuhnya gerai kopi. Bila tak diimbangi daya beli masyarakat, demam kopi bisa terjun ke titik jenuh.

BELUM genap setahun merintis kedai kopi di Jakarta lewat bendera First Crack Coffee, Evani Jesslyn melebarkan bisnisnya dengan membuka cabang pertama di Pacific Century Place, Kawasan Bisnis Sudirman (SCBD), pada awal Maret lalu. Ia tak banyak berpikir ketika mendapat tawaran membuka kafe di kawasan mentereng itu. "Saya langsung mengiyakan," kata Evani.

Finalis Barista and Farmer 2016, kompetisi Asosiasi Kopi Spesialti Eropa, ini melihat kopi sudah menjadi bagian gaya hidup kelas menengah. Karena itu, ia tidak mau menyediakan kopi asal-asalan. Evani hanya menggunakan arabika dengan grade specialty dan fine robusta dalam racikan kopinya.

Perempuan 27 tahun itu mendirikan First Crack pada Agustus 2017. Bertempat di Altira Business Park, Sunter, Jakarta Utara, kedai ini menawarkan konsep akademi kopi sekaligus kafe. Dalam sebulan, First Crack menyangrai 100 kilogram kopi. Meski orang baru di Jakarta, sebenarnya Evani sudah memiliki kedai bernama Strada Coffee di Semarang, kota kelahirannya, pada 2012. "Waktu itu bisnis kedai kopi mulai merangkak naik," ujarnya.

Bisnis kedai kopi saat itu memang sedang tumbuh bak cendawan. Pengurus Barista Guild Indonesia-wadah yang menampung peracik kopi-Mira Yudhawati mengatakan salah satu penyebab kedai kopi semarak adalah adanya fenomena ledakan "kopi gelombang ketiga" pada 2010-2011. "Kebanyakan dari mereka pernah bekerja atau sekolah di luar negeri, seperti Australia," kata Mira, yang juga Q grader dari Caswell’s Coffee. "Mereka membawa tren ngopi di kafe."

Para ahli kopi membagi perkembangan kopi dalam tiga gelombang. Penikmat "kopi gelombang ketiga" tidak sekadar menyesap kopi di kafe. Mereka yang hanya nongkrong di kedai dan menikmati kopi spesialti masuk "kopi gelombang kedua". Sedangkan "kopi gelombang pertama" adalah kelompok penikmat kopi kemasan, yang tak terlalu mengacuhkan grade kopi yang diminumnya.

Kelompok "kopi gelombang ketiga" dicirikan sebagai orang-orang yang mulai mencari tahu asal-usul biji kopi yang mereka minum, bagaimana proses pengolahan setelah panen, dan sesekali memelototi cara penyajiannya. "Bahkan ada yang lebih cerewet daripada barista kafe," kata Mira.

Mira menyatakan para penikmat kopi jenis ini memang menyumbang tumbuhnya kedai kopi di Indonesia. Laporan Financial Times pada Mei 2016 menyebutkan, berdasarkan data lembaga riset pasar, Euromonitor, dalam kurun lima tahun terakhir, ada 1.083 gerai kedai kopi di Indonesia. Sebagian besar kedai, baik yang artisan maupun jejaring, terkonsentrasi di Jakarta. Euromonitor memprediksi angka tersebut akan tumbuh 7 persen per tahun hingga 2020.

Tren pertumbuhan kedai-kedai ini juga bisa dibaca dari angka konsumsi kopi dalam negeri. International Coffee Organization mencatat kenaikan konsumsi kopi-baik robusta maupun arabika-di Indonesia mulai terasa pada 2011. Berdasarkan data dari badan yang kerap menjadi acuan harga kopi dunia ini, pada 2006-2010 konsumsi kopi dalam negeri ada di kisaran 2,8-3,3 juta ton per tahun.

Pada 2011, International Coffee Organization mencatat titik balik kenaikan konsumsi kopi dalam negeri. Ketika itu, angka konsumsi mulai naik menjadi 3,8 juta ton pada 2011. Setelah itu, melejit di atas 4 juta ton per tahun. Termutakhir, International Coffee Organization mencatat orang Indonesia menghabiskan 4,6 juta ton pada tahun panen 2017.

***
Jauh sebelum "kopi gelombang ketiga" menyerbu dalam negeri, beberapa kedai nonjaringan internasional yang menawarkan kopi kualitas unggul sebenarnya sudah muncul. Salah satunya ketika Henry Caswell Harmon mendirikan Caswell’s Coffee pada 1999.

Ketika itu, Caswell’s tidak sekadar membuka kafe. Mereka juga memasok biji kopi kualitas premium ke hotel-hotel atau rumah makan. "Waktu itu belum ada istilah spesialti," ujar Mira Yudhawati. "Pelanggan hanya tahu ini kopi enak, belum cerewet seperti sekarang."

Istilah kopi spesialti baru muncul pada sekitar 2008 ketika lembaga donor asal Amerika, United States Agency for International Development (USAID), menggagas "Agribusiness Market and Support Activity (Amarta) Project". Program ini bertujuan meningkatkan mutu hasil pertanian Indonesia. Salah satunya kopi. Dari sinilah petani mulai mengenal kopi spesialti. Program ini juga yang menjadi cikal-bakal lahirnya Asosiasi Kopi Spesialti Indonesia (SCAI).

Sebagai kedai kopi, Caswell’s sebenarnya tidak terlalu populer di masyarakat Jakarta. Sebab, kebanyakan pelanggan mereka adalah ekspatriat. "Apalagi kami buka di Kemang, yang identik dengan bule-bule," kata Mira. Pada awal usahanya, Caswell’s tidak hanya menyediakan kopi, mereka juga menyuplai bumbu dapur untuk masakan Barat yang tak tersedia di toko swalayan lokal.

Selain Caswell’s, kedai kopi yang buka pada era 2000-an adalah La Tazza di Mall Ambassador, Jakarta Selatan. "Waktu itu ngopi di kafe masih barang mewah," ujar Heri Setiadi, pemilik La Tazza, pertengahan Maret lalu. Dua belas tahun kemudian, ketika demam "kopi gelombang ketiga" melanda, lulusan Akademi Perhotelan Les Roches Bluche di Swiss ini membuka cabang "Si Cangkir"-terjemahan La Tazza-di Electronic Center, SCBD.

Heri mengatakan, di tengah serbuan "kopi gelombang ketiga", La Tazza termasuk kafe kecil. Dalam sehari, paling banter ia menyangrai 5 kilogram biji kopi untuk konsumsi di kedai. "Masih banyak yang lebih besar," katanya.

Salah satu kedai kopi lokal yang menonjol adalah Anomali Coffee. Kedai ini didirikan oleh Irvan Helmi dan Muhammad Abgari pada 2007. "Orang boleh bilang Anomali itu kafe," ucap Irvan. "Tapi, sejak awal berdiri, kami mendeklarasikan diri sebagai kurator kopi lokal."

Anomali, kata Irvan, muncul ketika orang-orang masih mendewakan kopi dari luar negeri. Sejak awal, Anomali berikrar hanya akan mengambil kopi dari petani lokal. Alasannya sederhana. Irvan ingin menaikkan daya saing petani dari Indonesia. "Toh, kopi Indonesia juga enak," ujarnya.

Bisnis Anomali berkembang pesat. Sebelas tahun setelah berdiri, Anomali melahirkan tiga anak usaha. Pertama, Anomali sebagai kedai kopi. Saat ini Anomali memiliki sepuluh cabang di Jakarta dan Bali. Berikutnya, kafe ini juga memiliki lini khusus untuk pendidikan kopi, yakni Indonesia Coffee Academy. Baik kafe maupun akademi menyerap 1 ton kopi per bulan.

Anak usaha yang terakhir adalah PT Kopi Asli Indonesia. Perusahaan ini memasok kopi ke 150-an pelanggan, seperti rumah makan, hotel, bioskop, bahkan sesama kedai kopi. Selain itu, perusahaan ini mengimpor alat-alat seduh, termasuk mesin espresso.

Irvan mengatakan keberhasilan Anomali tidak lepas dari gaya hidup generasi milenial. "Mereka sudah menganggap kedai kopi sebagai kantor," katanya. "Anak-anak ini merasa kantor itu bisa di mana saja dan kedai kopi selalu menjadi tujuan." Bahkan pola ngantor di kedai kopi, menurut Irvan, sudah terlihat sejak Anomali berdiri.

Intan Andini, karyawan Unilever Indonesia, menyebutkan kedai kopi sudah menjadi kantor keduanya. Perempuan 30 tahun ini memilih kafe jika ada pekerjaan yang harus diselesaikan dari luar kantor. "Bahkan, kalau ada tugas ke luar kota, saya lebih dulu mencari kafe," ucap Intan.

Tentu yang dicari bukan sembarang kedai. Intan, yang jatuh hati pada kopi spesialti sejak 2013, punya standar sendiri. Selain tempat yang nyaman dan kopinya harus spesialti, ia menambah syarat lain. Barista alias baracik mesti ramah dan paham pada apa yang disajikan. "Sering sebal kalau ada barista yang ditanya jenis kopi bilang enggak tahu," ujarnya.

Baracik memang menjadi kunci utama dari keberlangsungan kafe. Karena itu, Yoshua Tanu, pemilik kedai Common Grounds, mewajibkan barista di kedainya memahami setiap jenis kopi yang mereka seduh. Yoshua adalah juara tiga kali Indonesia Barista Championship dan semifinalis World Barista Championship 2017 di Seoul, Korea Selatan.

Common Grounds termasuk kafe yang didirikan ketika "kopi gelombang ketiga" meledak. Mulanya Yoshua, yang baru pulang dari Amerika Serikat, mendirikan Pandava Cafe di Epicentrum Walk pada 2012 bersama tiga sahabatnya. Tapi usaha ini gagal. Dua tahun kemudian, Yoshua mendirikan Common Grounds.

Yoshua belajar dari kegagalan Pandava. "Waktu itu hanya jualan kopi. Tidak ada makanan," katanya. Maka Common Grounds tidak hanya menonjolkan kopi, tapi juga santapan. Menurut Yoshua, 65 persen pendapatan kedai berasal dari makanan.

Bisnis Common Grounds melesat. Hanya dalam tiga tahun, kedai ini memiliki sepuluh gerai, satu rumah sangrai, plus akademi kopi. Selain itu, Yoshua mengantongi lisensi kedai St. Ali, yang berlokasi di Setiabudi Building One, Jakarta Selatan. St. Ali adalah gerai kopi kenamaan asal Australia.

Dalam satu bulan, Common Grounds menghabiskan 600 kilogram kopi di semua gerai. Jika ditambah penjualan ke sejumlah hotel dan restoran di luar anak usaha, biji kopi yang terserap bisa lebih dari 1 ton per bulan.

Yoshua mengatakan baracik sebagai kunci keberhasilan kedainya. Ia belajar dari kejuaraan barista yang diikutinya. "Penilaian tidak hanya dari rasa, tapi bagaimana barista menyajikan kopi," ucap Yoshua. "Semangat ini yang saya tekankan kepada barista di kafe saya."

Tapi, di balik booming kedai kopi, Yoshua menyimpan kekhawatiran. Ia berpendapat menjamurnya kedai tak diimbangi dengan daya beli masyarakat. "Banyak kafe muncul, tapi mereka yang mampu beli tidak bertambah," ujarnya. "Kalau seperti ini terus, bisa sampai ke titik jenuh."

Kasmaran di Pinggir Jalan

BISNIS kopi tak melulu membutuhkan modal besar. Di Yogyakarta, ada Koling, kependekan dari "kopi keliling". Koling lumayan populer karena ada di pusat-pusat pelancong, seperti Malioboro, Tugu, dan alun-alun selatan Keraton.

Seorang perintis kopi keliling di Yogyakarta adalah Dayu Pratama. Laki-laki 25 tahun ini mendirikan Koling pada 2013, sepulang dari kuliah lapangan di Candiroto, Temanggung, desa sentra kopi. Alumnus Universitas Sanata Dharma ini dongkol melihat petani kopi di desa itu mulai berpaling dari kopi karena harga yang terus merosot. "Kopi itu sebenarnya bisa jadi sumber penghasilan," kata Dayu, awal Maret lalu.

O, ya, jangan bayangkan Koling yang dihela Dayu ini seperti kedai kopi kebanyakan yang punya ruangan lapang dan sejuk dengan kursi empuk. Koling berbentuk gerobak kayu beroda tiga yang mangkal di pinggir jalan. Tak usah pula membayangkan Koling seperti penjaja kopi kemasan yang berjualan dengan sepeda lengkap dengan termos air panas.

Koling menyeduh kopi asli. Maka di gerobak Dayu itu ada sederet stoples berisi biji kopi dari Temanggung, Jawa Tengah, yang ditata sebagai etalase. Di sudut lain gerobak, ada gula, teko, dan mesin penggiling kopi manual. Koling gampang dikenali karena, selain menjajakan kopi dengan gerobak, penjajanya mengenakan kain lurik dan kadang memakai caping.

Dayu menekuni bisnis ini dengan tekad membalik anggapan petani kopi. Dayu awalnya membuka bisnis kopi kecil-kecilan di kampus Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Biji kopi dari petani Temanggung dibeli lebih tinggi 20 persen dari harga pasar. Modal awalnya cuma Rp 80 ribu. Saking cekaknya, Dayu memanfaatkan pintu bekas rumah kakeknya untuk membuat gerobak. Dari sinilah cikal-bakal Koling lahir.

Semula, Koling tak diminati karena Dayu hanya mangkal di kampus. Saban hari, kopinya cuma laku tiga gelas. Koling mulai laris ketika Dayu menggeser gerobaknya ke pusat keramaian. Di sini, ia bisa menjual 1.500 gelas dengan banderol Rp 10-15 ribu per gelas. Harganya lumayan karena Dayu menjual kopi spesialti-kopi arabika kualitas terbaik.

Dengan strategi itu, bisnisnya berkembang. Kini ia punya enam gerobak. "Koling juga mulai merambah Semarang dan Magelang," ujarnya.

Sementara Dayu berbisnis kopi dengan gerobak, Kedai Kopi Kasmaran di Tegal tak kalah nyeleneh. Trio pendiri kedai, yakni Jamaludin, Daimun, dan Martin, memanfaatkan VW Combi sebagai lapak.

Dengan mobil van klasik tersebut, Kedai Kasmaran bisa buka di mana saja. Belakangan, mereka lebih sering mangkal di alun-alun Tegal. Kursi dan meja tamu digelar begitu saja, tanpa atap. "Kalau hujan, terpaksa langsung tutup," kata Jamaludin, 30 tahun. Yang paling penting, kedai tak perlu biaya ekstra untuk menyewa lapak.

Jamaludin mengatakan kedai kopi dengan VW Combi terinspirasi dari model angkringan yang populer di Yogyakarta. Ia yakin bisnisnya akan laku karena kopi sedang populer.

Biji kopi di Kedai Kasmaran dipasok dari salah satu rumah sangrai kopi di Semarang. Setiap dua pekan sekali, roaster kopi itu mengirim 20 kilogram biji kopi ke Jamaludin. Pasokan tersebut masih mencukupi kebutuhan Kedai Asmara, yang bisa menjual lebih dari 30 cangkir per hari. "Pelan-pelan masyarakat Tegal akan mengenal dan menyukai kopi spesialti," ujarnya.

Kopi Langsung Tenggak

SETELAH Presiden Joko Widodo dan keluarganya mampir pada Juli tahun lalu, kedai kopi Tuku seakan-akan tak pernah sepi. Pembeli datang berjela-jela untuk memesan es kopi susu, menu andalan kedai yang terletak di Cipete, Jakarta Selatan, itu.

Es kopi susu dipilih sebagai jualan utama kedai yang dirintis sejak 2015 ini berdasarkan riset yang serius. Andanu Prasetyo, pemilik Tuku, sampai tinggal di Melbourne, Australia, selama sebulan pada 2012 untuk mengamati perilaku warga kota itu menikmati kopi. Melbourne dikenal sebagai salah satu kota di dunia dengan kultur kopi yang kental.

Di Melbourne, Tyo-sapaannya-menemukan kedai kopi berjejer hampir setiap seratus meter. Dalam pengamatannya, sebagian besar penikmat kopi yang mampir ke kedai keluar dengan menggenggam segelas kopi panas. Lain kali, ia mengamati jadwal warga Melbourne menyeruput kopi. "Mereka ngopi dua kali sehari, pagi dan sore ketika berangkat dan pulang kerja," kata Tyo, awal Maret lalu.

Pulang ke Jakarta, Tyo memantapkan hati membuka kedai kopi. Tapi ia tak meniru mentah-mentah konsep kedai kopi di Melbourne. Setidaknya, menurut Tyo, ada tiga hal yang membuat kedai di Jakarta harus berbeda dengan Australia.

Pertama, kopi spesialti single origin yang disajikan hangat seperti di Australia kurang cocok dengan iklim tropis Jakarta. Kedua, warga Melbourne bisa menyeruput kopi sambil jalan kaki ke kampus atau kantor, sedangkan warga Jakarta berkendara ketika ke luar atau menuju rumah. "Tak ada kesempatan ngopi enak sambil menyetir," ucapnya.

Tyo juga menghitung warga Melbourne bisa menghabiskan duit setara dengan separuh upah minimum pegawai di Jakarta dalam sebulan untuk ngopi. Ia yakin segelas kopi di Jakarta tak akan laku bila dibanderol sama dengan di Melbourne.

Alumnus sekolah bisnis Prasetya Mulya ini melihat ceruk yang belum banyak digarap pebisnis kopi di Indonesia. Ceruk itu berada di tengah pasar kopi instan dengan kopi artisan yang mengandalkan kopi spesialti. "Saya ingin masyarakat minum kopi yang benar dulu sebelum menjadi penikmati kopi spesialti," tuturnya.

Maka pilihan jatuh pada kopi susu dingin sebagai andalan Tuku. Kopi susu anyes, menurut Tyo, adalah formula paling pas karena cocok dengan iklim tropis, mudah dikemas, harganya terjangkau, dan bisa diterima penikmat baru kopi.

Riset panjang Tyo menuai hasil. Kini, Tuku bisa menjual lebih dari 1.000 gelas tiap hari dari satu kedai dengan harga Rp 18 ribu per gelas. Tuku punya empat cabang yang tersebar di Jakarta.

Inovasi Tyo tak berhenti di situ. Melihat kedai Tuku sesak oleh pelanggan yang datang membeli sendiri dan pengemudi ojek online yang dititipi pelanggan, Tyo membuka kedai baru di Kemang, Jakarta Selatan. Ia ingin memusatkan transaksi pesanan lewat ojek online, yang jumlahnya separuh dari transaksi Tuku, di sana. Dengan membuka kedai khusus pesanan dari aplikasi ojek, pelanggan Tuku tak perlu berdesak-desakan di kedai yang lain.

Tyo berbagi resep bahwa biji kopi dalam racikannya berasal dari Garut, Temanggung, Aceh Gayo, dan Lintong. Tyo memilih biji kopi kualitas kedua agar harga segelas kopi susu Tuku terjangkau pelbagai kalangan. Susu yang ia pakai adalah merek yang jamak ditemukan di toko swalayan. Sedangkan gula arennya dipasok dari Jawa Barat. "Dikemas dengan konsep siap minum, Tuku mudah diterima masyarakat," ujar Tyo.

Ceruk kopi siap minum juga dirambah Gambino. Merek besutan Wenty A. Rasjid ini punya dua lini: kopi susu dan spesialti. Semuanya dikemas dalam botol kaca dan dibanderol Rp 38 ribu per botol. "Kemasan botol membidik penikmat kopi yang tak punya waktu nongkrong di kedai," kata Wenty.

Wenty menyebutkan Gambino dibuat dari 100 persen biji kopi yang dipasok dari Toraja, Ciwidey, dan Aceh Gayo. Di fasilitas pembuatan yang ada di Kramat, Jakarta Pusat, Gambino bisa menyerap setengah ton biji kopi saban bulan.

Syahdan, Wenty memutuskan terjun ke bisnis kopi siap minum karena melihat belum ada pabrikan yang memproduksinya dengan bahan 100 persen kopi asli. Menurut Wenty, kadar kopi produk-produk yang beredar di pasar tak lebih dari 5 persen. "Saya masuk ke pasar ready-to-drink yang 100 persen diolah dari kopi asli," tuturnya.

Bukan hanya pasar lokal, Gambino pun membidik luar negeri. Wenty meretas jalur untuk masuk ke Jepang, Kuwait, Dubai, dan Malaysia. "Masuk lewat retail-retail yang ada di negara tersebut," ujar Wenty.

Kopi siap minum juga menjadi model bisnis 2ndfl-dibaca second floor. Farid Tri Dewanto membuka 2ndfl dengan mengandalkan kopi susu yang dikemas dalam gelas plastik. Salah satunya Loteng, segelas kopi yang dicampur susu dan gula aren, yang dihargai Rp 16 ribu per gelas. Menu lain, Loteng Machiato, kopi susu yang ditambah krim untuk menekan rasa kopi yang masih kuat. Harganya Rp 19 ribu.

Farid mengatakan kopi siap minum sengaja dipilih karena lokasi kedainya di kawasan Senopati, Jakarta Selatan, dekat dengan pusat bisnis Sudirman. Menurut Farid, pegawai kantoran sering tak sempat kongko di kedai karena terlampau sibuk di kantor. Kopi langsung tenggak dalam gelas plastik adalah solusinya. "Kantor-kantor di sekitar Sudirman menjadi pelanggan kami," ujar pria yang pernah mengambil kursus di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, Jember, ini.

Kini, Farid bisa menjual 700 gelas kopi susu tiap hari. Sekitar 60 persen dari pesanan datang dari pelanggan yang memanfaatkan jasa ojek online. Sisanya, pelanggan mampir sendiri ke kedai. Farid berniat menyulap kedainya berdampingan dengan coworking space atau ruang kerja bersama. "Coworking space dan ngopi siap saji semangatnya sama-sama dinamis," tuturnya. *

Aroma 'Krak' Pertama

BAU harum karamel menguar dari mesin sangrai kopi di sudut ruang tamu sebuah rumah di kompleks Buncit Indah, Pejaten Barat, Jakarta Selatan. Ahad awal Maret itu, sang operator, Ratna Yuriasari, sibuk mengawasi mesin berkelir hitam yang terus meraung.

Ratna beberapa kali menarik pipa cokelat di pinggir mesin untuk memeriksa tingkat kematangan kopi yang tengah disangrai. Sesekali ia mengecek penanda waktu dan menuliskannya di sebuah kertas bertabel.

Pada menit kedelapan, terdengar ada bunyi seperti kulit kacang pecah dari arah mesin. Bunyi inilah yang ditunggu para tukang sangrai kopi alias roaster seperti Ratna. "Disebut juga first crack," kata Ratna. "Bunyi krak ini menjadi salah satu penanda untuk menentukan rasa kopi yang roaster inginkan."

Sore itu, salah satu pendiri Kopi Katalis Micro Roastery ini sedang menyangrai biji hijau dari Gunung Sinabung, Sumatera Utara. Ratna mendapatkan pesanan dari salah satu pelanggannya yang memperoleh biji kopi itu dari perkebunan Sinabung pada awal Februari lalu. Untuk jasa sangrai, Katalis mematok Rp 40 ribu per kilogram.

Katalis Micro Roastery merupakan salah satu rumah sangrai kopi yang berdiri pada pertengahan 2015. "Kapasitas mesin kami hanya 1 kilogram," ujar Wulan Pusponegoro, yang juga pendiri Kopi Katalis.

Ratna dan Wulan memutuskan terjun ke bisnis kopi setelah Wulan menyelesaikan program master di Tias School for Business and Society, Belanda, akhir 2014. Mereka sepakat berbisnis kopi karena produk itu tengah naik daun. Wulan tidak mau mengulangi kesalahannya dengan membuka kafe karena pernah gagal. Mereka mengawali dengan bisnis cold brew.

Karena sering mencari biji kopi yang pas untuk minuman dingin mereka, Wulan dan Ratna kerap bersinggungan dengan tukang goreng kopi. Dari sinilah mereka tertarik menekuni bisnis sangrai kopi. "Sebab, sangrai itu unik," kata Wulan. "Kami bisa menentukan akan seperti apa kopi ini di pelanggan."

Mereka pun memutuskan ikut kelas sangrai yang diadakan oleh Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia. Pada pertengahan 2015, keduanya mulai menekuni bisnis sangrai.

Ratna dan Wulan membuka rumah sangrai di saat yang tepat. Ketika itu, kafe-kafe memiliki kecenderungan bergeser dari robusta menjadi arabika spesialti. Makanya permintaan kopi sangrai pun terus meningkat.

Wulan mengatakan, dalam sebulan, Katalis menggoreng sekitar 60 kilogram kopi. Angka ini naik jika dibandingkan dengan tahun-tahun awal mereka membuka usaha, yakni sekitar 30 kilogram kopi per bulan. "Kami ingin menaikkan produksi dengan meningkatkan mesin," ucap Ratna. "Tapi harga mesin sangrai mahal."

Bisnis sangrai kopi memang sedang naik daun. Arief Said, pemilik Gordi-kurator kopi kedai sangrai-mencatat ada sekitar 100 roastery yang muncul di Jakarta dan sekitarnya. Gordi mengambil kopi dari rumah sangrai untuk mereka jual lagi dengan sistem berlangganan. "Butuh waktu dua tahun bagi Gordi jika ingin mengirimkan produk semua rumah sangrai itu ke pelanggan," katanya.

Bisnis sangrai kopi juga bergeliat di daerah. Di Semarang, misalnya, ada Panna Coffee. Panna menjual hasil sangrainya yang digoreng cokelat muda (light). Model ini dikenal dengan gaya Nordic, Eropa Timur, dengan ciri rasa yang cenderung beraroma buah-buahan (fruity). Hasil gorengannya masyhur di kalangan pencinta kopi di pantai utara, seperti Kudus, Pekalongan, dan Tegal.

Menurut pemilik Panna Coffee, Fritz Januar Ajie, bisnis di ceruk ini menjanjikan. "Kedai bisa kehilangan pelanggan, sedangkan bisnis sangrai bisa sebaliknya," ucap Fritz, awal Maret lalu, di Jakarta. "Karena roastery tidak hanya mengandalkan kafe sebagai konsumen."

Persinggungan Fritz dengan kopi bermula ketika ia membuka kedai di Semarang pada 2013. Ketika itu, biji kopi yang ada di kedainya digoreng gelap. Hingga pada suatu hari, ia jatuh cinta pada kopi yang disangrai dengan kematangan medium.

Setelah kontrak kedainya habis pada pertengahan 2015, Fritz memutuskan tidak memperpanjangnya. Ia banting setir ke bisnis sangrai. "Kalau kedai kan tunggu pelanggan, nah roasting ini jemput bola," katanya. Fritz kemudian membuka Panna-dari bahasa Sanskerta yang artinya bijak.

Fritz sering membuka kelas secara cuma-cuma untuk para pencinta kopi. Tujuannya, selain untuk mengajari para third wave bagaimana memproses dan mengolah kopi, Fritz melihat peluang marketing. "Dari mereka, kopi Panna menyebar," ujarnya. "Marketing getok tular, dari mulut ke mulut."

Pada tahun pertamanya, Panna Coffee menghabiskan sekitar 60 kilogram biji kopi per bulan karena kapasitas mesin juga hanya 1 kilogram. Saat ini, jumlahnya naik beberapa kali lipat menjadi 800 kilogram per bulan. Fritz mencatat sedikitnya ada 15 kafe yang menjadi pelanggan tetapnya. Ini belum termasuk retail seperti hotel dan rumah makan. Para pelanggan Fritz ini sebagian besar berada di wilayah pantai utara Jawa Tengah.

Menurut Fritz, kunci keberhasilan bisnis rumah sangrai adalah mendengarkan pasar. "Jangan terlalu idealis, misalnya tidak mau menggoreng robusta," ucapnya. "Sebab, masih ada juga orang yang membutuhkan robusta."

Rumah sangrai, kata Fritz, merupakan jembatan antara kedai dan pelanggan. Kafe-kafe, dia melanjutkan, bisa ditinggalkan pelanggan jika biji kopi yang disajikan tidak enak.

Di tengah maraknya rumah sangrai kopi kekinian, pemain lama di bisnis ini, seperti Kopi Aroma di Bandung, yang berdiri pada 1930, pun masih bisa bertahan. Meski sekarang banyak rumah sangrai menggunakan teknik gorengan dengan ciri khas cokelat muda alias light, Kopi Aroma masih bertahan dengan gaya cokelat tua menuju kehitaman alias medium to dark.

"Setiap roastery punya ciri khas tersendiri dan kami akan tetap dengan gaya kami," ujar Widyapratama, generasi kedua pemilik rumah sangrai ini. Makanya, ia mengatakan, meski terkesan kuno, Kopi Aroma tetap bisa menyangrai 120 kilogram per dua jam. "Pasar kami adalah mereka yang enggak pakai dasi."

Kotak Misterius Gordi

DIMAS Maulana selalu didera rasa penasaran setiap kali menerima paket kiriman kopi dari Gordi. "Saya tidak pernah tahu kopi apa yang akan mereka berikan," kata manajer produk di Amartha Mikro Fintek itu, pertengahan Maret lalu.

Sampai akhir tahun lalu, Dimas salah satu pelanggan toko kopi online ini. Ia memutuskan berhenti karena persediaan kopi di rumahnya menumpuk. "Kurasi kopi Gordi tidak pernah mengecewakan, selalu bagus," ujar pria 31 tahun yang jatuh cinta pada kopi spesialti sejak 2007 itu.

Selain Dimas, ada sekitar 500 pencinta kopi yang pernah menjadi pelanggan pemasok online ini. "Tidak semuanya aktif. Ada yang berhenti, lalu langganan lagi," kata Arief Said, pendiri Gordi, saat ditemui di kedainya di kawasan Jeruk Purut, Jakarta Selatan, pertengahan Maret lalu.

Gordi memulai usaha jualan kopinya di sebuah laman ala kadarnya di Internet pada November 2015. Saat ini, toko online itu bisa memasok sekitar 100 paket pesanan pelanggannya dua kali dalam sebulan.

Ada tiga model langganan yang ditawarkan. Model pertama, pelanggan hanya menerima biji kopi Indonesia. Kemudian paket biru, yang berarti konsumen mendapat dua jenis biji: lokal dan impor. Paket terakhir, black packet, adalah kopi langka dan premium.

Gordi selalu merahasiakan biji kopi yang akan dikirimkan kepada konsumennya. Pelanggan akan mendapat kopi dari rumah sangrai yang berbeda.

Kopi yang dikirimkan memang bukan hasil sangrai sendiri. Arief mengatakan mereka mengurasi kopi dari pelbagai rumah sangrai. Di awal berdiri, toko ini hanya mengurasi kopi dari rumah sangrai kenalan Arief, seperti Morph, Anomali, dan Tanamera.

Saat ini, menurut Arief, ada 80-an rumah sangrai yang dijembatani Gordi. Beberapa di antaranya rumah sangrai yang muncul pada 2016, seperti Panna Coffee, Roadtrip Roaster, dan Juno The Coffee Company.

Demi mendirikan bisnis ini, Arief memutuskan keluar dari pekerjaannya di Australia sebagai insinyur pengawas pipa bawah laut pada Juli 2011. Arief, yang memang jatuh cinta pada kopi spesialti sejak bertemu dengan Irvan Helmi-pendiri Anomali Coffee-banting setir bergabung dengan Sensory Lab Melbourne, perusahaan sangrai kopi milik St. Ali.

Sebelumnya, Arief mengaku tidak pernah bersinggungan dengan bisnis kopi. "Saya diterima di St. Ali hanya karena pemiliknya pernah melihat saya menjadi relawan di sebuah festival kopi di Australia," katanya. St. Ali salah satu kedai ternama di Negeri Kanguru. Dari sinilah Arief belajar tentang jejak rasa dan serba-serbi kopi.

Awal 2012, Arief kembali ke Indonesia. Pada Mei tahun itu, ia bersama Andrew Tang, Q grader asal Singapura, mendirikan Morph Coffee, yang memasok biji kopi untuk kafe dan hotel. Arief mengatakan Morph pun sudah memperkenalkan bisnis kopi dengan berlangganan. Namun biji yang dijual masih hasil sangrai Morph. Bisnis ini masih sepi peminat.

Dalam perjalanannya, para penikmat kopi gelombang ketiga mulai tumbuh di Jakarta. Khususnya para home brewer alias mereka yang menyeduh kopi spesialti di rumah dengan alat-alat seduh khusus. Arief membaca peluang ini. Ia berpikir harus ada bisnis yang bisa menjembatani para penikmat kopi ini dengan rumah sangrai.

Ia pun memutuskan keluar dari Morph dan mendirikan Gordi. Meski memiliki pengetahuan sangrai, Arief memutuskan tidak menggoreng kopi sendiri lalu menjualnya. "Saya ingin membawa sensasi petualangan rasa bagi para penikmat kopi dari banyak tempat," ujarnya. "Makanya, saya memilih menjadi kurator rumah-rumah sangrai."


Master Pencicip Spesialti


TAWARAN itu datang ketika dia sedang galau. Kasmito Tina tengah bingung memutuskan apakah berhenti atau meneruskan usaha berjualan komputer yang tidak optimal selama bertahun-tahun. Panggilan telepon dari Asosiasi Kopi Indonesia pada 2008 ia anggap sebagai peluang bisnis baru. "Tiba-tiba ada yang menghubungi saya, menawarkan seminar dan pertemuan dengan petani serta pedagang kopi," kata pria 50 tahun itu kepada Tempo, Senin dua pekan lalu. Kini, ia dikukuhkan sebagai salah satu Q grader kopi pertama di Indonesia, bersama 17 murid lulusan lain seminar itu.

Tak banyak yang berprofesi sebagai Q grader. Hanya sekitar 5.000 penduduk bumi yang menyandang titel itu. Sebanyak 112 di antaranya orang Indonesia. Q grader adalah pencicip kopi yang kemudian memberikan rating (nilai) kualitas kopi tersebut. Penilaian itu kemudian menentukan kopi yang mereka cicipi layak dikategorikan kopi spesialti atau bukan. "Sederhananya, Q grader itu menilai cita rasa kopi," ujar Kasmito.

Kopi dinilai dari aroma, busa, keasaman, keseimbangan rasa, dan sisa rasa di lidah. Namun seorang Q grader tak cuma mengandalkan indranya. Heri Setiadi, teman seangkatan Kusmito di seminar itu, mengatakan seorang Q grader juga harus menilai kualitas biji kopi. Jika ditemukan biji yang hangus atau kerikil di kumpulan biji yang akan dites, kopi tersebut akan menerima rating jelek. "Seorang Q grader juga melihat apakah ada cacat pada kopi," ujar pemilik kedai kopi La Tazza itu.

Kopi harus memiliki skor di atas 80 untuk mendapat rating spesialti. Jika nilainya di bawah itu, kopi tersebut akan masuk ke kelas consumer grade alias biasa-biasa saja. Karena Q grader adalah pihak yang paling berhak memberikan rating, banyak petani atau pengusaha pertanian kopi menyewa jasa mereka untuk menguji hasil panen. Para Q grader biasanya didatangkan langsung ke lokasi perkebunan, bukan biji kopi yang dikirimkan ke Q grader. "Nanti kopinya pun kami seduh sendiri, bukan dibuatkan. Dan penilaian dilakukan bersama-sama, tidak bisa sendirian," ujar Heri.

Ted Lingle adalah instruktur kopi asal California yang pertama kali membawa ilmu Q grader ke Indonesia. Dalam seminar yang digelar pada 2008 itu, Lingle mengajari 18 peserta seni menikmati kopi. Ia, misalnya, sampai menghabiskan satu hari penuh hanya untuk mengajarkan mencicipi (cupping) kopi. "Kami sendiri saat itu bingung kenapa sampai satu hari penuh hanya untuk belajar cupping," ucap Mira Yudhawati, teman seangkatan Heri dan Kasmito.

Saat itu belum banyak yang mengenal teknik dan manfaat cupping. Di kemudian hari, mereka akhirnya paham. Menilai cita rasa kopi tak bisa hanya disesap satu atau dua kali saja. Cupping adalah teknik dasar dan yang paling utama untuk menjadi Q grader. Selain itu, latihan cupping memakan waktu lama agar calon Q grader bisa menghafal rasa kopi yang jelek dan yang bagus.

Kini, jika ingin menjadi seorang Q grader, seseorang harus merogoh koceknya minimal Rp 17 juta untuk biaya pelatihan. Padahal, saat seminar pada 2008 itu, Heri dan kawan-kawan hanya membayar Rp 5 juta. Mereka yang sudah mengikuti kursus akan memegang sertifikat dari Specialty Coffee Association. Seorang Q grader wajib memiliki sertifikat ini. Dampaknya sangat dirasakan oleh Heri, Kasmito, dan teman seangkatannya yang lain. Posisi mereka lebih "terhormat" karena diakui sebagai jagoan pencicip kopi.

Aneka Menu Espresso

BUAT sebagian kalangan penikmat kopi, cappuccino dan latte seperti menjadi pesanan wajib saat mereka singgah di kafe atau kedai sederhana. Dua menu asal Italia ini sesungguhnya berbahan dasar sama: espresso. Bedanya terletak pada takaran bahannya. Tak hanya bisa dijadikan dua menu ini, espresso juga bisa menjadi bahan dasar aneka rupa sajian yang menggoda selera.

1. Espresso shot
- Minuman yang dihasilkan dengan mengekstraksi biji kopi.
- Menggunakan mesin atau alat dengan tekanan sekitar 9 bar.
- Ditandai dengan crema alias lapisan kuning tua di permukaan kopi.

a. Single shot
- Dibuat tidak lebih dari 25 detik.
- Biasanya berukuran 25-30 mililiter.

b. Double shot atau doppio
- Biasanya berukuran 60 mililiter.

c. Ristretto
- Ukurannya separuh dari single shot.
- Ekstraksi tidak lebih dari 20 detik.

d. Espresso Romano ' Satu shot espresso dicampur sedikit gula dan irisan lemon di bibir gelas.

e. Guillermo ' Espresso yang dicampur dengan irisan lemon. Ada yang menambahkan lemon di permukaan kopi, ada juga yang meletakkannya di dasar gelas sebelum disiram espresso.

f. Cuban espresso ' Espresso yang dicampur dengan demerara--gula cokelat kasar yang diproduksi di Guyana, Amerika Selatan. Seperti namanya, ini minuman favorit di Kuba.

g. Espresso ice ' Masukkan es batu sesuai dengan selera ke espresso plus tambahan sedikit lemon.

h. Affogato 'Espresso yang disiramkan ke atas es krim vanila.

2. Espresso plus air panas
a. Long black ' Menuangkan satu shot espresso ke dalam setengah cangkir air panas atau sesuai dengan selera. Crema masih ada karena espresso dituangkan setelah air panas.
b. Americano ' Seperti long black, tapi crema memudar karena espresso diguyur dengan air panas.
c. Cafe Zorro 'Dua shot espresso dituangkan ke dalam cangkir air panas. Biasanya perbandingan antara espresso dan air panas adalah 1 : 1.

3. Espresso plus susu

a. Cappuccino
- Satu shot espresso (50 persen)
- Steam milk (25 persen)
- Frother atau foam milk alias busa susu (25 persen)
- Rasa kopi dan susu seimbang

b. Latte
- Satu shot espresso (25 persen)
- Steam milk ( 50 persen)
- Rasa susu lebih kuat

c. Macchiato ' Espresso yang dicampur dengan sejumput foam milk atau steam milk.
- Glosarium: Steam dan foam milk dihasilkan dari alat yang sama. Prinsipnya, susu dipanaskan dengan alat kocok berkecepatan tinggi. Untuk foam milk, susu dikocok hingga berbusa. Sedangkan steam hanya sampai kental.

d. Cafe bombon 'Satu shot espresso yang dicampurkan di atas susu kental manis panas.

e. Piccolo coffee 'Ristretto yang dicampurkan ke dalam setengah cangkir susu. Biasanya disajikan dalam ukuran 100 mililiter.

4. Espresso plus kopi
a. Red eye ' Secangkir kopi yang dicampur dengan satu shot espresso. Di Amerika bahkan dikenal dead eye, yaitu mencampurkan tiga shot espresso dengan secangkir kopi. Crema masih kentara karena espresso dituangkan belakangan.
b. Canadiano ' Sama seperti red eye, tapi kopi dituangkan ke atas espresso.

5. Kopi plus susu
a. Kopi telur ' Campuran antara satu butir telur dan kopi-susu kental manis.
b. Kopi susu ' Campuran antara kopi dan susu kental manis.
c. Vietnam drip
- Siapkan alat seduh jenis Vietnam drip yang sudah diisi kopi.
- Teteskan kopi Vietnam drip ke dalam gelas yang berisi susu kental manis.
- Cha pe sua nong merupakan kopi Vietnam drip yang disajikan panas. Jika dingin disebut cha pe sua da.
d. Cafe au lait ' Bubuk kopi yang disiram dengan susu cair panas.
e. White coffee ' Setengah cangkir susu full cream panas yang dicampurkan ke dalam kopi.

6. Manual brew
- Teknik seduh menggunakan alat seperti V60, kalita, chemex, dan aeropress.

7. Kopi dingin
a. Cold drip ' Kopi dingin yang dibuat dengan metode tetes. Alat untuk membuat cold drip umumnya merupakan dua buah tabung yang disusun seperti menara. Yang paling atas berisi air dingin yang menetes secara lamat-lamat seperti infus ke tabung berisi kopi.
b. Cold brew ' Bubuk kopi yang sudah digiling medium direndam menggunakan air dingin atau suhu kamar. Lama perendaman tergantung selera; beberapa orang menyarankan sekitar 24 jam. Rasanya lebih ringan dibanding cold drip.
c. Iced coffee ' Pada dasarnya ini hanya kopi yang diseduh dengan teknik manual brew menggunakan air panas kemudian ditambahkan es batu. Namun rasio antara kopi dan es batu adalah 50 : 50. Biasa dikenal juga dengan sebutan Japanese drip atau Japanese coffee.

Tata Niaga


Perdagangan kopi di Indonesia berdampak besar terhadap sedikitnya 3 juta rumah tangga petani, tapi sebagian petani masih bergantung pada tengkulak dan pengepul. Sebagian menjual langsung ke konsumen atau dibina beberapa kafe di Jakarta. Kini kopi mereka menyebar ke seluruh penjuru dunia, dari Jerman sampai Amerika Serikat.

Di pasar dunia, harga kopi spesialti dan kopi bersertifikat terus melambung. Fenomena ini mendongkrak peluang para produsen kopi Nusantara untuk terus meningkatkan pendapatan mereka.

Memangkas Rantai Kulak
Kebanyakan petani bersandar pada pengepul dan tengkulak. Sebagian menjual langsung ke konsumen agar lebih untung. Kafe-kafe turun tangan membina mereka.

Matahari belum sepenggalah ketika Romauli Tarigan membawa dua karung berisi gabah kopi. Bersama ibu-ibu petani kopi, perempuan 46 tahun ini nongkrong di emperan warung kopi di dekat Pasar Baru, Lintong Nihuta, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.

Sembari bercengkerama, mereka terlihat sibuk mengunyah sirih pinang. "Kami sedang tunggu pengepul," kata Romauli kepada Tempo, pertengahan Februari lalu.

Pagi itu adalah hari pekan atau hari pasar, waktu bagi para petani kopi Lintong dan Dolok Sanggul berkumpul untuk menjual hasil kebun mereka ke pedagang pengumpul atau pengepul. Para petani tidak banyak membawa kopi karena belum musim panen raya. Tiap orang hanya membawa 50-60 kilogram kopi.

Menurut Romauli, yang memiliki lahan kopi seluas sekitar 700 meter persegi, hari itu harga kopi sedang bagus. Sudah sebulan terakhir, ia berujar, "Harga per kilogram kopi di atas Rp 25 ribu, pernah sampai Rp 30 ribu." Saat musim panen, Romauli bisa mengangkut 300 kilogram kopi.

Pengepul biasanya menghampiri mereka menjelang siang. Romauli tidak mengetahui kopinya bakal dijual ke mana oleh pengepul. "Saya hanya tahu kopi kami nanti dibawa ke Medan setelah terkumpul," katanya.

Jumitro Sihombing, pengepul kopi di Lintong, mengatakan kopi asal Humbang Hasundutan memang paling banyak diserap perusahaan-perusahaan besar di Medan. Dari ibu kota Sumatera Utara itu, kopi selanjutnya diekspor ke berbagai negara. "Biasanya dicampur dengan kopi dari daerah lain, nanti labelnya Sumatran Coffee," ujarnya.

Sebagai pengepul, Jumitro tak hanya menunggu petani menyetor hasil kebun pada hari pekan, seperti yang dilakukan Romauli saban dua minggu. Jumitro juga kerap mendatangi petani untuk membeli kopi dalam bentuk gabah. Dia menempuh cara ini karena mitranya sudah menetapkan volume kopi yang harus dikirim ke Medan. "Bisa satu-dua kontainer sebulan," ucapnya.

Jumitro menjual kopi ke mitranya di Medan sudah dalam bentuk biji kopi hijau. Itu sebabnya ia lebih dulu menggiling gabah kopi dari petani untuk mengupas kulit ari dari biji kopi. Dengan menjual biji kopi hijau, Jumitro bisa meraup untung hingga tiga kali lipat dari harga beli gabah.

Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslitkoka), lembaga penelitian yang berbasis di Jember, Jawa Timur, dalam bukunya, Kopi: Sejarah, Botani, Proses Produksi, Pengolahan, Produk Hilir, dan Sistem Kemitraan, menyebutkan kopi di Tanah Air melewati setidaknya tiga tangan sebelum diolah pabrik pengolahan atau eksportir. Menurut Puslitkoka, sebagian besar petani Indonesia bertransaksi secara langsung dengan pedagang pengumpul.

Selain lewat pengepul, ada petani kopi yang memasarkan hasil kebunnya melalui tengkulak. Bedanya dengan pengepul, tengkulak biasanya menerapkan sistem ijon. "Mereka memberi kesempatan petani untuk memperoleh kredit, umumnya sebelum tiba musim panen," begitu hasil kajian Puslitkoka.

Namun sistem ijon membelit petani kopi. Banyak dari mereka yang terikat pada tengkulak karena berutang untuk membiayai hidup keluarganya. Padahal, begitu terbelit sistem ijon, petani tak berkutik dan menjual kopinya ke tengkulak dengan harga rendah. Adanya tengkulak, menurut Puslitkoka, juga turut menambah panjang rantai pemasaran kopi.

Lembaga kajian kopi dan cokelat itu merinci setidaknya ada enam model tata niaga yang menghasilkan berbagai macam interaksi antara petani dan pembeli akhir kopi. Salah satu model yang paling jamak dijumpai dan masuk kategori model tradisional adalah alur petani-pengumpul-pedagang-eksportir.

Di Lintong dan Dolok Sanggul, menurut Jumitro, hampir semua petani kopi masih mempraktikkan jual-beli secara tradisional. Mereka memilih menjual kopi melalui pengepul. "Tidak banyak petani yang mengolah dan menjual sendiri kopinya langsung ke konsumen karena keterbatasan akses," katanya.

* * *
Agus Rusman baru saja menutup sambungan teleponnya saat ia kedatangan tamu pada awal Maret lalu. Dayat, petani kopi dari desa tetangga, menyambangi kantor Perusahaan Dagang (PD) Pulokopi milik Agus sambil membawa sekarung gabah kopi. "Punten, ieu aya kopi sakedik bade diical (permisi, ini ada kopi sedikit hendak dijual)," ujar Dayat dalam bahasa Sunda.

Agus mempersilakan Dayat masuk lewat pintu samping kantornya. Di ruangan sebelah, terdapat gudang berisi belasan karung gabah kopi. Di gudang itu, anak buah Agus menimbang kopi yang disetor Dayat. Pada timbangan tercatat angka 9 kilogram lebih. Tak sampai lima menit, anak buah Agus menyerahkan kuitansi dan beberapa lembar rupiah ke tangan Dayat. "Begini proses jual-beli di sini. Petani bisa datang langsung setor kopi, kami bayar langsung," kata Agus.

Menempati lahan seluas sehektare di Kampung Dangdang, Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, PD Pulokopi telah menjadi agen jual-beli kopi sejak 2008. Agus, 43 tahun, pendiri dan pemilik PD Pulokopi, mengaku biasanya menampung setoran kopi dari 23 pengepul. "Mereka memperoleh kopi dari 400-500 petani di Pangalengan," ujarnya.

Dari tangan-tangan pengepul itu, "Bisa masuk HS kopi 15-20 ton per hari," kata Agus, merujuk pada istilah hard skin (HS), yakni biji kopi yang masih tertutup kulit ari. Agus saban hari mengerahkan para pengepul yang rutin membeli kopi langsung dari kebun petani. Namun ia tidak menutup pintu bagi petani yang ingin menjual kopi ke kantornya.

Di Pangalengan, kualitas kopi bertambah dari hulu ke hilir, sejalan dengan rantai tata niaga. Agus mengatakan petani menjual kopi ke pengepul masih dalam bentuk cherry alias buah kopi. Di tangan pengepul, buah itu dikupas dan dijemur hingga menjadi hard skin, "Yang kadar airnya masih di atas 30 persen," ujar Agus. Ia lantas mengolahnya menjadi biji kopi hijau untuk diekspor.

Agus memilih terjun langsung mengurusi ekspor kopinya. PD Pulokopi, menurut dia, biasanya menjual kopi ke perusahaan eksportir di Medan, Surabaya, dan Bandung. Mereka kemudian menjual kopi Agus ke Eropa. "Yang di Medan ekspornya ke Starbucks," katanya.

Hari itu Agus menerima panggilan telepon dari seorang eksportir kopi asal Taiwan. Dalam percakapan itu, terdengar dia dan lawan bicaranya berbincang tentang harga. "Standarnya Rp 60 ribu per kilo. Itu belum biaya operasional," Agus berujar. Negosiasi sempat alot lantaran sang eksportir ingin membeli kopi dengan harga miring tapi berkualitas tinggi.

Menurut Agus, dia mendapat harga jual lebih dulu dari eksportir. Dari situ, ia menghitung harga untuk pengepul dan petani. Agus, misalnya, membeli gabah dari petani Rp 26 ribu per kilogram, "Dijual berupa biji kopi hijau Rp 58 ribu ke perusahaan atau eksportir," ujar pria yang rata-rata menjual lebih dari 400 ton kopi per tahun ini.

Sebagian petani mencoba memutus rantai tata niaga kopi yang kurang menguntungkan mereka itu. Malabar Mountain Coffee di Jawa Barat, misalnya, memangkasnya dengan menyerap kopi langsung dari petani. "Di Jawa Barat, sepertinya kami yang pertama kali," kata Slamet Prayogo, pemilik perkebunan kopi dan kafe Malabar Mountain Coffee, yang berfokus pada arabika spesialti, jenis kopi arabika dengan aroma dan rasa terbaik.

Prayogo, yang menggeluti pengolahan kopi arabika spesialti sejak 2012, punya kebun kopi seluas hampir 100 hektare di Pangalengan. "Sekitar 70 hektare yang produksi, sisanya baru tanam," ujarnya. Meski begitu, ia tetap menampung kopi dari para petani. Sepanjang 2014-2016, kata Prayogo, "Sebanyak 70 persen kopi yang saya jual berasal dari para petani binaan."

Tak seperti pengepul, Prayogo memilih berbagi ilmu dan pengalamannya kepada petani. "Kami bantu benih, bibit, dan perawatan. Pembiayaan juga kami bantu. Nanti mereka bayar dengan buah kopi," ucap Prayogo, yang pernah mendampingi lebih dari 300 petani. "Begitu kopi Jawa Barat booming, harga semakin bagus, saya lepas mereka untuk jual ke tempat lain."

Konsep mendekat ke petani juga dilakoni beberapa kafe di Jakarta. Anomali, Caswell’s Fine Coffee, dan Tanamera selalu mengambil biji kopi hijau langsung dari petani di Sumatera sampai Papua. "Anomali hadir untuk memberi opsi non-tengkulak. Kami beli dengan harga yang lebih bagus, pasti hilang sendiri itu tengkulak," ucap Irvan Helmi, pendiri Anomali Coffee.

Adapun petani kopi seperti Koster Tarihoran, yang berkebun di Sidikalang, Sumatera Utara, 45 kilometer dari Dolok Sanggul, memilih menjual kopinya langsung ke konsumen. "Kebanyakan ke kafe di Pulau Jawa," kata pria 49 tahun itu.

Tidak seperti para petani di Lintong dan Dolok Sanggul, Koster sudah mampu mengolah buah kopi menjadi biji kopi hijau dengan metode giling basah atau semi-washed, proses pascapanen yang umum ditemukan di Indonesia.

Dalam setahun, kebun kopi setengah hektare di belakang rumah Koster di Desa Perjuangan, Kecamatan Sumbul, Kabupaten Dairi, mampu menghasilkan satu ton buah kopi. Jumlah itu menyusut separuh begitu diolah menjadi biji kopi hijau. "Tapi nilai jualnya lebih tinggi," ucap Koster. Karena itulah ia tak lagi menjual kopi dalam bentuk gabah ataupun buah mentah.

Di Gayo, Aceh, para petani kopi berhimpun di belasan koperasi. Salah satu yang terbesar, Koperasi Permata Gayo, menaungi 2.058 petani di 35 desa. Sejak 2006, koperasi ini menjembatani petani dengan konsumen. "Ini solusi dari perdagangan kopi konvensional yang tidak peduli terhadap nasib petani," kata Ketua Koperasi Permata Gayo, Djumhur Abubakar.

Koperasi membeli buah kopi dari petani seharga Rp 13 ribu per bambu (satu bambu 1,2 ons). Buah kopi diproses hingga menjadi biji kopi hijau, kemudian diekspor melalui Pelabuhan Belawan di Medan. Koperasi mengekspor hingga 1.400 ton kopi per tahun ke Amerika Serikat, Eropa, Kanada, dan Australia. Tiap bulan mereka mengirim tiga-empat kontainer kopi ke Belawan.

Dari setiap kilogram kopi yang diekspor, para petani mendapat tambahan pemasukan Rp 5.500-6.000 di luar harga beli. "Itu dikembalikan untuk kesejahteraan petani dan peningkatan mutu kopi dengan perawatan kebun," kata Djumhur. Fasilitas ini diperoleh karena Koperasi mengantongi sertifikat fair trade, satu dari tujuh macam sertifikat pengelolaan kopi berkelanjutan.

Di Amerika, biji kopi hijau dari Koperasi Permata Gayo diolah menjadi biji kopi sangrai dengan berbagai merek, seperti Peace Coffee, Esperanza, dan Great Mountain Coffee. *

Matematika Kopi Mukidi

Seorang petani kopi yang mampu mengolah hasil kebunnya secara mandiri dari hulu ke hilir diyakini bakal mendapatkan keuntungan berlipat. Ini dibuktikan sendiri oleh Mukidi, 43 tahun, petani sekaligus pemilik Rumah Kopi Mukidi asal Temanggung, Jawa Tengah. Dia punya hitung-hitungannya:
1. Keuntungan dari penjualan buah kopi mentah (cherry): Rp 80 juta
2. Keuntungan dari penjualan kopi beras (green bean): Rp 99 juta
3. Keuntungan dari penjualan kopi sangrai (roasted bean): Rp 199,5 juta
4. Keuntungan dari penjualan kopi seduhan: Rp 1,3 miliar

Asumsi

Luas kebun: 1 hektare (1.000 pohon)

Produksi:
» 10 kg/pohon = 10 ton buah kopi mentah
» 10 ton kopi mentah diolah jadi 1,6 ton kopi beras
» 1,6 ton kopi beras disangrai jadi 1,3 ton kopi sangrai
» 1,3 ton kopi sangrai diseduh menjadi 1.300 gelas kopi

Harga:
» Kopi mentah: Rp 8.000/kg
» Kopi beras: Rp 60.000/kg
» Kopi sangrai: Rp 150.000/kg
» Kopi seduh: Rp 10.000/cangkir


Jawara di Mancanegara



KEURIG menjual sekotak kopi siap seduh di situs resminya. Harganya dibanderol US$ 3,99. Isinya: lima kantong, dikemas seperti teh celup, dan ditakar untuk secangkir kopi. Di pasar internasional, kemasan kopi seperti itu ngetren dengan sebutan coffee pod.

Keurig Green Mountain Inc berpusat di Vermont, Amerika Serikat, menjual sekotak kopi celup dengan merek Green Mountain Coffee Roasters. Variannya Sumatra Reserve Coffee. Cita rasa kopinya tebal, kompleks, dan berkafein. Bijinya dipanggang sempurna (dark roast).

Sumatra Reserve Coffee itu tidak asing bagi Ketua Koperasi Permata Gayo, Djumhur Abubakar. Dengan mantap, Djumhur mengatakan biji kopi Sumatra Reserve Coffee berasal dari petani anggota koperasinya. "Koperasi kami mengekspor hingga 1.400 ton kopi per tahun," kata Djumhur. Tujuannya Amerika, Eropa, Kanada, dan Australia.

Koperasi Permata Gayo memang hanya mengekspor dalam bentuk biji kopi hijau. Baru setelah sampai di tangan pembeli luar negeri, biji-biji hijau itu dipanggang, diolah, dan dipasangi merek. Salah satunya Green Mountain Coffee: Sumatra Reserve Coffee. Djumhur bisa melacak hasil akhir kopinya karena koperasinya sudah mengantongi sertifikat fair trade. Koperasi Permata Gayo memilikinya sejak 2006.

Inisiatif fair trade awalnya muncul pada 1988 di Belanda dengan label Max Havelaar-tokoh sekaligus judul novel karangan Multatuli alias Eduard Douwes Dekker. Inisiatif tersebut menawari produsen kopi mengikuti berbagai standar sosial dan lingkungan.

Label fair trade memberikan kepastian bahwa produk menguntungkan petani bahkan saat produk sampai di akhir rantai pasokan. Biasanya produsen akhir akan mencantumkan asal biji kopi, lengkap dengan nama petani atau koperasinya, seperti yang dilakukan Keurig. Esperanza, roaster kopi asal Barcelona, Spanyol, yang mengambil biji dari Koperasi Permata Gayo, juga menjualnya dengan merek Sumatra.

Kopi Nusantara menjadi perbincangan di dunia karena rasanya yang unik. Dalam Specialty Coffee Association of AmericaExpo di Atlanta, Amerika, pada 2015, misalnya, enam jenis kopi asal Jawa Barat masuk 20 besar kopi dengan nilai uji cicip (cupping) paling tinggi. Empat di antaranya nongkrong di 10 besar. Gelar juara pertama diraih Gunung Puntang yang dirintis Ayi Sutedja. Peringkat kedua Mekar Wangi dari kebun Wildan Mustofa dan keempat Malabar Honey produksi Slamet Prayogo.

Menjadi jawara di luar negeri membawa berkah. Koperasi Solok Radjo mengekspor hampir separuh produksi kopinya saban tahun setelah pada 2014 masuk tiga besar dalam uji seruput di Thailand. Capaian itu terulang pada 2016 dan 2017 di Melbourne, Australia. Skor cupping kopi Solok selalu di atas 85.

Tahun lalu, Koperasi Solok Radjo mengekspor 4 ton kopi. Menurut salah satu pengurusnya, Teuku Firmansyah, tujuan ekspornya Amerika dan Australia. "Produksi per tahun itu 10 ton," kata Firmansyah. Ada 800 petani yang tergabung dengan Solok Radjo dan memproduksi 10 ton kopi saban tahun. Sisa 6 ton lagi tiap tahun untuk kafe dan roastery dalam negeri, seperti Tanamera Coffee dan Klinik Kopi.

Amerika menjadi tujuan favorit ekspor kopi Nusantara. Dua tahun lalu, produksi kopi nasional 639.300 ton. Dari jumlah itu, arabika menyumbang 173.600 ton atau 27 persen. Saat itu, ekspor ke Amerika tercatat 67.320 ton. Sisanya diekspor ke Jerman 42.630 ton, Malaysia 40.390 ton, Italia 35.820 ton, dan Jepang 35.350 ton.

Pemilik PD Pulokopi di Pangalengan, Jawa Barat, Agus Rusman, punya jawaban kenapa ekspor kopi paling tinggi ke Negeri Abang Sam. Menurut dia, tingginya ekspor ke Amerika tidak lepas dari keberadaan Starbucks, gerai kopi internasional asal negara itu.

Agus saban hari mengumpulkan 20 ton kopi kupas (HS) dari 500 petani di Pangalengan. Sebagian dia pasok ke PT Sri Makmur, eksportir kopi yang berpusat di Medan. "PT Sri Makmur inilah eksportir untuk Starbucks," ujarnya. Selain memasok untuk Sri Makmur, Agus menyuplai eksportir yang berbasis di Surabaya, PT Indocom Citra Persada.

Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslitkoka) mencatat perubahan alur ekspor kopi Nusantara. Dalam terbitannya, Kopi: Sejarah, Botani, Proses Produksi, Pengolahan, Produk Hilir, dan Sistem Kemitraan, Puslitkoka menyebutkan perubahan alur terjadi selama satu dekade terakhir. Perubahan itu dipicu oleh makin kuatnya pengaruh penyangrai kopi internasional semacam Starbucks, Nestle, dan Kraft-Mondelez di area sentra kopi.

Dalam memenuhi kebutuhan biji hijau, penyangrai multinasional itu berkongsi dengan perusahaan perdagangan internasional, seperti Indo Cafco dan Olam International. Perusahaan-perusahaan perdagangan internasional inilah yang belakangan langsung terjun ke petani mencari biji hijau.

Kondisi itu menantang eksportir lokal. "Akhirnya, banyak eksportir lokal menjalin koordinasi rantai pasok yang ketat dengan petani," tulis Puslitkoka dalam terbitannya. Dua eksportir yang melakukan hal itu adalah Indocom dan PT Megahputra Sejahtera, eksportir asal Makassar. Indocom berkongsi dengan para petani di Flores, Nusa Tenggara Timur, dan Jawa Timur, sedangkan Megahputra bermitra dengan petani kopi di Enrekang, Sulawesi Selatan.

Di mata Agus Rusman, pengendali ekspor kopi Nusantara saat ini masih Medan. Alasannya sederhana: kebanyakan perusahaan eksportir kopi bermarkas di sana. "Kiblatnya arabika itu Medan," katanya. "Kalau orang Medan enggak beli kopi kita, dampaknya luar biasa."

Sudah sejak 2007 Agus mengolah cherry merah dari petani menjadi biji hijau. Biji-biji kategori premium itulah yang dia jual ke eksportir. Sejak 2015, harga green bean kadar 15-15 (air berbanding decaf) anteng di angka Rp 50 ribu per kilogram. Adapun petani menjual cherry Rp 26 ribu ke pengepul yang mengumpulkannya ke Agus.

Seorang pengepul kopi asal Lintong, Sumatera Utara, Jumitro Sihombing, mengatakan biji setoran Agus dan dari daerah lain akan dicampur sesampai di Medan. Jumitro juga kerap berkeliling Sumatera Utara mencari biji kopi. Dia sering berkeliling di Humbang Hasundutan. Setelah dicampur, kopi itu dilabeli sebagai Sumatra Java Coffee.*

Penggolongan

Kualitas kopi arabika digolongkan dalam beberapa kelas, tapi secara umum dibagi dalam tiga tingkatan:

1. Spesialti
Syarat:
» Berasal dari buah kopi petik merah
» Kecacatan biji kurang dari 4 persen
» Nilai uji cicip di atas 80

2. Premium
Nilai uji cicip 70-80

3. Komersial
Nilai uji cicip di bawah 70

Trivia

Kapan kopi spesialti pertama kali diperkenalkan?
Istilah kopi spesialti pertama kali dipopulerkan oleh Erna Knutsen, pendiri perusahaan kopi Knutsen Coffees Ltd, yang berbasis di San Francisco, Amerika Serikat, dalam Tea & Coffee Trade Journal pada 1974. Knutsen melontarkan istilah ini untuk menggambarkan kopi dengan kualitas istimewa yang berbeda dengan kopi premium.

Apa itu fine robusta?
Robusta pun punya tingkatan tersendiri. Yang paling tinggi kualitasnya adalah fine robusta. Syaratnya hampir sama dengan kopi spesialti, yakni memiliki nilai uji cicip di atas 80. Istilah ini diperkenalkan pada 2009 untuk meningkatkan kualitas kopi robusta, yang kerap dianggap sebagai kopi kelas dua.
Glosarium Peaberry : biji kopi tunggal yang berasal dari sebuah kopi
Red cherry: buah kopi merah

Olah Cepat ala Giling Basah


Para petani kopi arabika spesialti di Indonesia lebih menggemari metode giling basah karena prosesnya yang cepat. "Kopi yang digiling basah hanya memakan waktu beberapa hari untuk kering, sehingga memudahkan petani menjual kopi lebih cepat," kata Iwan Juni, pegiat kopi asal Takengon, Aceh.

Giling basah, yang dikenal dengan istilah semi-washed atau wet-hulled, merupakan proses pascapanen kopi tradisional khas Indonesia. Di sebagian besar wilayah Indonesia, yang memiliki curah hujan dan kelembapan tinggi, pengeringan kopi bisa memakan waktu lebih dari tiga pekan. Dengan metode giling basah, pengeringan kopi bisa tiga kali lebih cepat.

Dalam proses giling basah, buah dikupas dan dihilangkan lendirnya, lalu didiamkan sebentar. Kopi dikeringkan hingga kadar airnya 30-35 persen. Pengupasan kembali dilakukan untuk membersihkan kulit ari atau lapisan cangkang biji kopi. Biji kopi yang telah telanjang itu-disebut kopi beras basah atau kopi labu-dikeringkan lagi sampai kadar airnya kurang dari 12,5 persen dan menjadi biji kopi hijau yang khas.

Dengan metode lain, misalnya natural process, kopi dikeringkan dalam keadaan masih berbalut kulit, yang melindunginya dari kerusakan akibat terpapar panas. Dalam keadaan seperti itu, proses pengeringan kopi menghabiskan waktu lebih lama.

Dalam proses giling basah, pengupasan kulit ari membuat biji kopi tak terlindungi sehingga sinar matahari bisa langsung membuatnya cepat kering. Dengan kondisi penyinaran terik, misalnya pada suhu 40 derajat Celsius, "Kopi yang digiling basah akan kering dalam 2-4 hari," tulis Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia dalam bukunya, Kopi: Sejarah, Botani, Proses Produksi, Pengolahan, Produk Hilir, dan Sistem Kemitraan. Namun, jika cuaca mendung atau penyinaran kurang, penjemuran memakan waktu 7-10 hari.

Pusat penelitian itu menyebutkan pengolahan giling basah sekarang banyak diterapkan di perkebunan kopi arabika rakyat. Metode ini dapat dijumpai di kebun-kebun kopi di Gayo, Aceh Tengah; Sumatera Utara; Jawa Barat; Enrekang dan Toraja di Sulawesi Selatan; Manggarai dan Bajawa di Nusa Tenggara Timur; serta sebagian wilayah Bali dan Jawa Timur.

Tahapan giling basah yang unik secara dramatis berpengaruh terhadap kualitas rasa seduhan kopi. "Kopi semi-washed memiliki kadar keasaman rendah serta cita rasa yang lebih lembut dan berat," tulis James Hoffman dalam buku The World Atlas of Coffee: From Beans to Brewing-Coffees Explored, Explained and Enjoyed.

Metode giling basah, kata Hoffman, juga memunculkan cita rasa tambahan pada kopi, kadang rasa tanaman atau rempah, tembakau atau kulit, ada kalanya kayu atau apak, serta earthy-karakteristik aroma tanah atau debu yang tertinggal di biji kopi.

Menurut Hoffman, pengupasan kulit ari pada proses giling basah sempat memicu perdebatan. Sebagian orang menilai metode ini banyak menghasilkan kopi yang cacat atau rusak. Namun, uniknya, permintaan pasar atas kopi yang digiling basah tak pernah surut. "Cita rasa kopi semi-washed telah melekat dengan kopi asal Indonesia," ujar Hoffman. *
 
Terakhir diubah:
Part 2

Proses Pascapanen Penentu Kenikmatan


PARA ahli kopi percaya bahwa proses pascapanen memiliki andil hingga 60 persen dalam menghasilkan kopi yang nikmat. Sebanyak 40 persen sisanya dibagi lagi menjadi 30 persen proses sangrai dan 10 persen penyeduhan. Saking menentukannya, pengolahan kopi setelah dipetik tak boleh main-main. Ada beberapa metode pengolahan setelah kopi dipetik dari pohon. Tiap proses menghasilkan karakter kopi yang berbeda.

Basah (Fully-Washed)

1. Pemilahan
Buah kopi yang ranum direndam dalam tangki atau wadah berisi air. Buah yang mengambang disisihkan.

2. Pengupasan
Buah kopi dikupas di mesin pengupas hingga menyisakan biji dan kulit tanduknya.

3. Fermentasi
Biji kopi direndam dalam wadah berisi air selama 12-36 jam. Proses ini untuk membersihkan daging buah yang masih menempel sekaligus untuk fermentasi.

4. Pencucian
Kopi dicuci sekali lagi untuk menghilangkan lendir sisa fermentasi.

5. Pengeringan
Kopi dijemur hingga kadar airnya tinggal 11-12 persen.

6. Pengupasan kulit tanduk
Setelah didiamkan dalam suhu ruangan di gudang, kopi dikupas lagi. Proses ini untuk memisahkan kulit tanduk dengan biji sehingga menghasilkan beras kopi (green bean).

7. Penggolongan
Disebut juga grading, berupa pemilahan kopi berdasarkan ukuran, sekaligus menyisihkan biji yang cacat dan benda asing.

Semi-Basah (Semi-Washed) atau Giling Basah (Wet-Hulled)

1. Pemilahan
Buah kopi yang ranum direndam dalam tangki atau wadah berisi air. Buah yang mengambang disisihkan.

2. Pengupasan
Buah kopi dikupas di mesin pengupas hingga menyisakan biji dan kulit tanduknya.

3. Pembersihan lendir
Sisa lendir pada kulit tanduk dibersihkan dengan alat mesin demucilager tanpa menggunakan air.

4. Pengeringan
Kopi dijemur selama satu-dua hari hingga kadar airnya mencapai 40 persen.

5. Penggilingan
Kulit tanduk pada biji kopi labu atau biji kopi yang masih relatif basah tersebut dikupas dengan mesin huller.

6. Pengeringan lanjutan
Beras kopi dijemur hingga kadar airnya mencapai 11-12 persen.

7. Penggolongan
Proses penggolongan atau grading ditempuh untuk memilah kopi berdasarkan ukuran, sekaligus menyisihkan biji yang cacat dan benda asing.

Natural

1. Pemilahan
Buah kopi yang ranum dipilah secara manual. Buah yang masih hijau disisihkan.

2. Pengeringan
Buah kopi merah tersebut dijemur tanpa dikupas lebih dulu hingga kadar airnya mencapai 11-12 persen. Penjemuran memakan waktu dua-tiga pekan.

3. Penggilingan
Setelah didiamkan dalam ruangan selama beberapa waktu, kopi dikupas dengan mesin huller untuk memisahkan biji dari kulit buah, kulit tanduk, dan kulit ari.

4. Penggolongan
Proses penggolongan atau grading ditempuh untuk memilah kopi berdasarkan ukuran, sekaligus menyisihkan biji yang cacat dan benda asing.

Madu (Honey)

1. Pemilahan
Buah kopi yang ranum dipilah secara manual. Buah yang masih hijau disisihkan.

2. Pengupasan
Buah kopi dikupas di mesin pengupas hingga menyisakan biji dan lendirnya (mucilage).
- Madu kuning (yellow honey) >> lapisan lendir tersisa 25 persen
- Madu merah (red honey) >> lapisan lendir tersisa 50 persen
- Madu hitam (black honey) >> lapisan lendir masih 100 persen

3. Pengeringan
- Madu kuning >> Dikeringkan di tempat terbuka, tapi tak terpapar sinar matahari langsung, selama 7-8 hari
- Madu merah >> Dikeringkan di tempat teduh selama 11-12 hari
- Madu hitam >> Dikeringkan di dalam ruangan selama 20-30 hari

4. Penggilingan
Setelah didiamkan dalam ruangan selama beberapa waktu, kopi dikupas dengan mesin huller untuk memisahkan biji dari lendir yang mengering, kulit tanduk, dan kulit ari.

5. Penggolongan
Proses penggolongan atau grading ditempuh untuk memilah kopi berdasarkan ukuran, sekaligus menyisihkan biji yang cacat dan benda asing.

Trivia:
+ Mengapa disebut proses madu?
- Petani kopi Amerika Tengah lazim memakai metode ini untuk mengolah kopi. Mereka menyebut lendir kopi atau mucilage sebagai miel, yang artinya madu (honey). Dari situ muncul istilah proses madu.

Glosarium:
Peaberry: biji kopi tunggal yang berasal dari sebuah kopi
Red cherry: buah kopi merah

Kebun

LIMA tahun terakhir, produksi kopi Indonesia bertahan di angka 600 ribu ton per tahun. Padahal luas kebun kopi cenderung bertambah dari tahun ke tahun. Gairah menanam kopi terus tumbuh, terdorong oleh permintaan kopi arabika kelas spesialti. Sentra kopi baru bermunculan dari ujung barat hingga timur Indonesia. Wilayah yang semula tak diperhitungkan menunjukkan potensi.

Resep Rahasia dari Hulu Sumatera
Perawatan tanaman menjadi kunci menjaga produktivitas kebun kopi. Belum semua petani mengetahui dan mempraktikkannya.

TAK cuma menjadi simbol bagi dataran tinggi Gayo, Bur ni Geureudong telah memberikan berkah bagi jutaan jiwa penduduk yang tinggal di sekitar sana. Di sekitar gunung setinggi 2.885 meter itulah-tertinggi kelima di Aceh-salah satu sumber kopi arabika terbaik Indonesia berasal. Posisinya di sebelah barat laut Bandar Udara Rembele, Kabupaten Bener Meriah. Deretan kebun sayur dan kopi terbentang di kiri-kanan jalan, tak jauh setelah keluar dari kompleks bandara.

Daerah yang terletak di jantung Provinsi Aceh ini penyumbang lahan kopi arabika terbesar di Indonesia. Kebun Percobaan Gayo Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Aceh mencatat, luas kebun kopi di sana mencapai 101.316 hektare, atau 31,5 persen dari total luas kebun kopi arabika di Tanah Air. Kabupaten Bener Meriah menempati posisi pertama, dengan luas 48.000 hektare. Luas lahan kopi di Kabupaten Aceh Tengah dan Gayo Lues mencapai 46.000 dan 7.000 hektare.

Varietas kopi di sana berlimpah. Kepala Kebun Percobaan Gayo, Khalid Baramsyah, mengatakan setidaknya ada 200 varietas kopi arabika ditanam para petani. Paling banyak adalah varietas Gayo 1, Gayo 2, P-88, Ateng, Bergendal, Sigarar Utang, dan Tipika.

Varietas Gayo 1 dan 2, kata Khalid, disukai petani karena hasil panennya melimpah dan "bandel" menghadapi cuaca serta penyakit. Varietas yang banyak ini salah satu penyebab kebun-kebun kopi di Gayo diburu petani dari daerah lain sebagai sumber bibit. "Mayoritas perkebunan kopi di Indonesia pakai bibit dari Aceh," ujar Khalid.

Seluruh perkebunan kopi yang berada di dataran tinggi Gayo merupakan milik rakyat. Kebun-kebun itu terletak di pekarangan atau belakang rumah. Rata-rata luasnya 1-2 hektare. Salah satunya milik Maisir Aman Al, 68 tahun, yang berlokasi di Jongok Meluem, Pondok Baru, Bener Meriah.

Kebun milik pria yang akrab disapa Al itu dianggap sebagai salah satu yang terbaik di Aceh. Dua organisasi asal Amerika Serikat, Save the Children dan Green Mountain Coffee, menetapkan lahan milik Al sebagai lokasi percontohan produksi arabika Gayo organik. Di sini Al menanam varietas kopi Gayo 1 (dikenal dengan nama Timtim) dan Gayo 2 (Bourbon, yang disebut petani sebagai Borbor).

Al sebetulnya sudah menanam kopi sejak 1975, tapi baru pada 2004 dia mulai mempraktikkan perkebunan organik. Sejak saat itu, produksi kopinya melimpah. Produktivitasnya jauh lebih tinggi ketimbang produktivitas rata-rata kebun kopi lain di Gayo.

Khalid Baramsyah mengatakan rata-rata produksi kopi di Gayo per tahun tak lebih dari 2 ton per hektare. Jika asumsi 1 hektare lahan bisa ditanami 2.500 batang pohon kopi, produktivitas rata-rata setiap tanaman di satu kebun hanya sekitar 1,2 kilogram. Sementara itu, produktivitas setiap tanaman di kebun Al bisa lebih banyak. Sepanjang tahun lalu, misalnya, Al mampu menghasilkan sekitar 5,6 ton kopi dari kebunnya yang seluas 20 rantai (sekitar 1,6 hektare). Bahkan, tiga tahun lalu, Al masih memanen kopi di atas 6 ton dalam satu tahun.

Resepnya sederhana. Ia merawat tanaman dengan cara pemangkasan berkala. Ada beberapa jenis pemangkasan yang ia lakukan, antara lain nyeding atau menyeleksi tunas-tunas baru yang tumbuh; nyerlak atau memangkas cabang-cabang yang tua, tidak produktif, dan mengganggu pertumbuhan; ngompres atau memotong cabang yang tumbuh di bagian atas pohon; dan mumangkas alias melakukan pemangkasan berat untuk meremajakan tanaman berusia tua.

Dengan cara ini, kata Al, pertumbuhan pohon dan tunas baru bisa lebih maksimal. Pertumbuhan buah menjadi berkesinambungan sehingga kopi bisa dipanen lebih dari dua kali dalam satu tahun. Al tak menetapkan waktu perawatan pohon. Tapi setiap tanaman diamati benar pertumbuhannya.

Kepada Tempo, Al mendemonstrasikan cara perawatan itu. Bersenjatakan gunting dan gergaji khusus untuk memangkas batang, ia berkeliling di kebunnya mencari pohon yang produktivitasnya menurun. Dia menunjuk sebuah pohon kopi yang terlihat rimbun dan berdaun lebat. "Di mata awam, pohon seperti ini dianggap sehat, padahal produktivitasnya sudah turun."

Ketika diamati, tak banyak buah yang tumbuh di pohon itu. Kalaupun ada, ukurannya kecil-kecil. Jika dibandingkan dengan pohon yang terawat, tampak setiap ranting dipenuhi buah seukuran kelereng berwarna hijau. Kopi siap dipanen jika warna buah berubah menjadi merah.

Dengan cekatan Al memilah ranting dan dahan pohon yang rimbun. Tak... tak... tak.... Dia mulai beraksi dengan guntingnya. Satu per satu ranting berjatuhan ke tanah. "Saya menyisakan 10 cabang di pohon ini agar pertumbuhan lebih maksimal." Pohon yang tadinya rimbun akhirnya terlihat lebih ceking.

Tak cuma memangkas, Al menggosok batang pohon untuk merontokkan lumut-lumut yang menempel pada batang. Lumut, kata dia, menjadi penghambat pertumbuhan batang baru. Dia lalu menyiangi rumput liar yang tumbuh di sekitar akar pohon. "Supaya akar bisa bernapas," ucapnya.

Faktor lain yang tak kalah penting untuk menjaga pertumbuhan kopi adalah keberadaan tanaman penaung. Menurut Al, pohon kopi cukup sensitif, tidak boleh kepanasan, tapi juga tidak boleh kekurangan sinar matahari.

Rata-rata kebun kopi di Gayo sudah menggunakan tanaman penaung. Idealnya, menurut Khalid Baramsyah, ada 100 pohon penaung dalam 1 hektare lahan sehingga intensitas cahaya yang diterima pohon kopi mencapai 70-80 persen. Jenis pohon penaung bermacam-macam, bisa petai cina, lamtoro, atau tanaman lain yang dapat menangkap unsur hara nitrogen pada tanah.

Cara perawatan tanaman seperti yang dijalankan Al merupakan warisan generasi sebelumnya. Tapi tidak semua petani di Gayo menerapkan hal itu. Keahlian ini membuat Al jadi sosok yang dituakan oleh sesama petani. Di rumahnya terdapat buku berisi daftar tamu yang pernah berkunjung menimba ilmu. Mereka berasal dari Korea Selatan, Jepang, dan Australia.

***
Gairah menanam arabika di Tanah Air terus tumbuh dalam lima belas tahun terakhir. Berdasarkan data Kementerian Pertanian, luas lahan arabika pada 2001 hanya 82.807 hektare. Pada 2016, luasnya mencapai 321.158 hektare atau meningkat 287 persen. Pada periode yang sama, lahan robusta menyusut 26 persen menjadi 912.135 hektare dari 1,23 juta hektare.

Ini yang menyebabkan hasil produksinya terus naik meskipun secara kuantitas masih di bawah robusta. Pada 2001, angkanya masih di bawah 20 ribu ton. Lima tahun kemudian, perkebunan arabika menghasilkan 173.900 ton atau sekitar 27 persen dari total produksi kopi Indonesia. Dari jumlah itu, sekitar 23 persennya disumbangkan Gayo.

Melimpahnya kopi Gayo tak hanya karena ditunjang ilmu perawatan ala petani. Praktik perkebunan secara organik juga membuat kualitas kopi di sana dinilai baik dan potensial untuk dijadikan kopi spesialti. Salah satu petani Gayo yang mulai berfokus mengolah kopi kualitas istimewa ini adalah Aoda Syaefudin, 48 tahun. Petani yang memiliki lahan sekitar 2 hektare ini mengolah hasil kebunnya menjadi kopi spesialti sejak 2015. Dengan pengolahan spesialti, nilai jual kopinya meningkat drastis.

Sebelum mengembangkan pengolahan kopi dengan proses basah (fully-washed), honey, dan natural, Aoda mengaku terbiasa mengolah kopi secara semi basah (semi-washed) atau proses biru (blue process). Proses ini lazim dilakukan para petani kopi di wilayah Aceh dan Sumatera Utara. Namun, sejak tren kopi spesialti merebak di Indonesia pada 2010, para petani mulai belajar proses pascapanen lain. "Dengan proses berbeda, cita rasa kopi jadi semakin kaya, harganya juga semakin bagus," ujar Aoda.

Upaya itu mendatangkan berkah bagi Aoda. Juni 2016, kopi olahannya menjadi juara kedua dalam kompetisi yang digelar Badan Valorisasi Produk Pertanian (L’Agence por la Valorisation des Produits Agricoles/AVPA) di Paris, Prancis. Pemenang pertama dan ketiga dalam lomba tersebut adalah kopi arabika Java Preanger dari Malabar Mountain Coffee, Pangalengan, Jawa Barat.

Kopi-kopi ini bisa ikut kompetisi berkat nilai tinggi pada uji cicip (cupping test) tingkat nasional. Aoda bercerita, kopi yang dia proses secara basah mendapatkan nilai 86 dalam cupping test yang digelar Masyarakat Perlindungan Kopi Gayo serta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember, Jawa Timur.

Berkat gelar itu, kopi Aoda yang berlabel arabika Gayo Kelitu Sintep-nama desa lokasi kebun milik Aoda-populer di banyak kota besar di Indonesia. Saat ini, setidaknya ada 20 pembeli reguler dari dalam dan luar negeri. Paling banyak kafe dan rumah sangrai di Jakarta dan Bandung. Dia juga punya konsumen loyal dari Kanada dengan volume tak kurang dari 1 ton setiap kali pemesanan.

Membeludaknya permintaan membuat Aoda kewalahan. Kebun miliknya hanya mampu berproduksi sekitar 1,2 ton buah kopi dalam setahun. Dia sampai harus menyerap buah kopi dari petani di sekitar tempat tinggalnya. Kerja keras itu terbayar. Sebelumnya, kata Aoda, jika menjual kopi proses semi basah, dia hanya memperoleh pendapatan sekitar Rp 3 juta per bulan. Dengan proses pascapanen yang beragam, pendapatannya bisa naik dua-tiga kali lipat.

***
Kondisi perkebunan kopi di dataran tinggi Gayo yang relatif maju tak diikuti oleh wilayah lain di sekitarnya. Sepuluh jam perjalanan darat dari Takengon, tepatnya di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, para petani kopi belum mengoptimalkan hasil kebunnya. Di sini, kopi justru ditanam jika harga sedang tinggi, menggantikan komoditas perkebunan lain yang harganya anjlok.

Wilayah Dairi sebetulnya punya nama besar di kancah kopi nasional. Pada 1990-an, daerah ini dikenal sebagai penghasil kopi robusta dengan nama populer kopi Sidikalang. Nama mentereng itu meredup ketika harga kopi terjun bebas pada 1998. Saat itu, menurut Ketua Koperasi Petani Organik Dairi, Samuel Sihombing, banyak petani beralih menanam jeruk dan sayur-mayur.

Pada 2012, harga jeruk justru sempoyongan. Di sinilah titik balik kopi Dairi. Petani menanam kopi arabika karena harganya sedang bagus. Ini membuat kebanyakan tanaman kopi di Dairi masih berusia muda. Adapun varietas yang banyak ditanam adalah Sigarar Utang, P-88, dan Ateng.

Tanah Dairi juga punya varietas khas, yakni Lasuna, yang disebut-sebut sebagai varietas kopi asli Sumatera Utara. Tempo sempat menemukan satu pohon Lasuna yang usianya ditaksir sudah di atas 50 tahun. Pohon setinggi hampir 3 meter dengan ukuran batang sebesar paha pria dewasa ini tumbuh di lahan milik Herlina Boru Simarmata, 72 tahun. Herlina sudah tak ingat kapan dia menanam pohon Lasuna tersebut. "Ini kebun warisan," ujarnya.

Teknik perawatan tanaman kopi seperti yang dipraktikkan petani Gayo juga tidak terlalu dikenal petani Dairi. Padahal, jika melihat data tahun lalu, hasil panen kopi di Sidikalang cukup potensial. Samuel Sihombing mencatat, ada 582 petani anggota koperasi dengan luas lahan mencapai 288 hektare. Pada 2017, mereka mampu menghasilkan kopi sebanyak 311 ton. Hasil kopi Sidikalang bisa lebih tinggi karena ada beberapa perusahaan yang memiliki kebun dengan jumlah besar.

***
Tak jauh dari Sidikalang, sekitar 103 kilometer ke arah tenggara, terdapat wilayah lain yang terkenal sebagai sentra kopi Sumatera Utara, yakni Dolok Sanggul dan Lintong Nihuta. Luas dua kecamatan di Kabupaten Humbang Hasundutan itu mencapai 11 ribu hektare. Varietas yang paling banyak ditanam adalah Sigarar Utang dan Ateng.

Sama seperti Gayo, mayoritas pemilik kebun di Dolok Sanggul dan Lintong Nihuta adalah petani kecil. Semangat petani meningkatkan nilai tambah kopi juga belum terasa di sana. Menurut Jumitro Sihombing, petani sekaligus pengepul kopi asal Lintong, baru segelintir petani yang mulai mencoba melakukan pengolahan pascapanen. "Mayoritas petani masih menjual kopi asalan ke pengepul, tanpa proses lanjutan," katanya.

Perawatan kopi seperti pemangkasan tanaman, pemupukan secara organik, dan pengelolaan kebun, menurut Jumitro, belum banyak dilakukan. "Hampir tidak ada penyuluhan kepada petani," ujarnya. Jika diamati, kondisi mayoritas kebun kopi di sepanjang perjalanan di Humbang Hasundutan tampak tidak terawat. Hamparan kebun jarang memiliki tanaman penaung.

Tanaman kopi yang tumbuh di kebun-kebun di Lintong memang terlihat rimbun. Buah yang muncul juga terlihat banyak, tapi ukurannya kecil-kecil. Ujung-ujung ranting dan daun tanaman terlihat berwarna cokelat kehitaman. Tak sedikit buah yang mati sebelum dipanen. Seharusnya, mulai Maret hingga Mei mendatang, para petani sudah bisa memanen kopi. Tapi, kata Jumitro, sampai saat ini belum terlihat tanda-tanda hasil kopi bakal melimpah. "Mudah-mudahan hasil kebun masih bagus," ujarnya.

Petik Merah Si Istimewa

LA TAZZA Café di kawasan SCBD Sudirman, Jakarta Selatan, menjadi tempat yang akan selalu diingat Slamet Prayogo. Kafe ini menjadi saksi: kopi yang ia bawa dari kebunnya dicemooh para ahli penilai cita rasa kopi dalam acara uji cicip (cupping test) yang digelar Asosiasi Kopi Spesialti Indonesia (SCAI). "Mereka bilang rasanya seperti tahi ayam," kata Yoga-begitu Slamet Prayogo biasa disapa-mengenang kejadian lima tahun lalu itu.

Waktu itu Yoga terbilang "hijau" di dunia kopi. Pria 58 tahun ini baru memulai berbisnis kopi satu tahun sebelumnya dengan mengambil alih sebuah perkebunan di Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Alih-alih sakit hati mendapat cemoohan, Yoga pulang ke kebunnya yang berada di kaki Gunung Malabar dengan tekad mengubah penilaian tersebut.

Dia lalu memperbaiki teknik perawatan tanaman di kebun yang ketika itu baru seluas 20 hektare. "Semua tanaman rusak saya rawat agar produksinya kembali meningkat," ujarnya, awal Maret lalu. Hal ini ia lakukan sambil mempelajari proses pasca-panen kopi.

Dua bulan kemudian, Yoga kembali menghadiri acara uji cicip yang digelar SCAI. Para pencicip memberi penilaian berbeda. "Mereka menyebutkan ada rasa yang unik dan cita rasanya baik." Yoga makin bersemangat memperbaiki kualitas kopinya. Sejak itu, ia menetapkan niat hanya akan memproduksi kopi spesialti.

Titik balik bagi Yoga terjadi pada 2014. Kopi arabika Java Preanger Malabar yang diolah secara natural memperoleh skor tertinggi dalam uji cicip rutin di acara lelang green bean atau kopi beras SCAI, Kemayoran, Jakarta. Saat itu kopi Malabar mendapat skor cupping 84. Harganya dibanderol US$ 30 per kilogram. Pesanan pun berdatangan. Pembeli tak hanya dari dalam negeri. Para pembeli asal Amerika Serikat dan Korea Selatan antre untuk mendapatkan kopi Malabar.

Yoga, melalui perusahaannya, PT Sinar Mayang Lestari, bukan pengusaha kopi pertama di Pangalengan. Usaha pembukaan lahan untuk penanaman kopi arabika dimulai sejak 1999 oleh masyarakat di Desa Kubang Sari. Sampai saat ini, masih terdapat sekitar 600 hektare kebun kopi yang berdiri di lahan Perhutani-tapi hanya sebagian kecil yang masih terawat. Kebun Kubang Sari menjadi salah satu sumber bibit varietas Sigarar Utang.

Agus Rusman, penduduk asli Pangalengan yang memiliki usaha jual-beli kopi mentah, mengatakan iklim kopi di kampung halamannya tak pernah benar-benar hidup sampai akhirnya Malabar Mountain Coffee menang lelang harga tertinggi di Kemayoran. "Baru di situ petani sadar, kalau diolah dengan benar, harga kopi bisa tinggi," kata pria 43 tahun ini.

Sebagai ilustrasi, menurut Agus, hingga 2012, harga buah kopi (cherry) kopi arabika Jawa Barat tak sampai Rp 2.000 per kilogram. Petani pun enggan menekuni komoditas ini karena tekor biaya produksi. Begitu kopi spesialti Malabar juara, barulah harga cherry merambat naik. Saat ini harganya menyentuh Rp 8.000 per kilogram. Kenaikan itu diikuti oleh harga jual kopi dalam bentuk gabah atau kopi beras. Sinar Mayang kini menjadi salah satu raksasa kopi di Pangalengan dan Ciwidey. Luas lahan yang dikelola 110 hektare.

Luas lahan perkebunan kopi arabika di Pangalengan dan Ciwidey-yang sama-sama masuk wilayah Kabupaten Bandung-mencapai 10.574 hektare, atau 54 persen dari total luas lahan arabika di Jawa Barat. Dua tahun lalu, jumlah produksi keseluruhan arabika di provinsi ini mencapai 10.436 ton. Produktivitasnya tumbuh rata-rata mencapai 7-10 persen per tahun. Ini membuat Jawa Barat dipandang sebagai sentra kopi spesialti baru di Indonesia.

***
Keberadaan kopi spesialti tak bisa dilepaskan dari peran lembaga donor asal Amerika Serikat, United States Agency for International Development (USAID), lewat "Agribusiness Market and Support Activity (Amarta) Project" pada 2008. "Program ini concern pada peningkatan mutu agrikultur. Salah satunya kopi," ujar Mira Yudhawati, yang pernah aktif dalam program ini. "Dari sinilah kopi spesialti mulai muncul."

Menurut Mira, yang juga Q grader dari kedai Caswell’s Coffee, sebelum USAID turun tangan, petani dan penjual kopi hanya mengenal kualitas kopi premium dan komersial. Kemudian ada juga grade A dan B. Caswell’s termasuk kedai yang menjual biji kopi premium.

Lewat Amarta Project, petani mulai mengenal cara memilih bibit kopi, memetik, sampai proses pascapanen atau proses pengolahan kopi spesialti. Selain berasal dari kopi petik merah, kopi spesialti harus mendapat nilai di atas 80 dalam uji cicip oleh para Q grader-penilai kualitas kopi.

Para petani yang tergabung dalam Koperasi Solok Radjo, misalnya, ikut merasakan keampuhan uji cicip dalam menentukan nilai yang akhirnya mengatrol harga kopi. Teuku Firmansyah, salah satu pengurus koperasi, bercerita bahwa kopi asal kampung halamannya mulai naik daun setelah mengikuti sejumlah acara cupping test pada 2013.

Solok sudah lama dikenal sebagai salah satu sentra kopi di Sumatera. Tapi, hingga satu dekade yang lalu, harga kopi sangat rendah sehingga petani tak bersemangat. "Dulu harga kopi hanya Rp 1.000 per kilogram," katanya. Ketenaran kopi Solok Radjo menjadi-jadi setelah pada 2014 masuk tiga besar dalam uji cicip di Thailand. Prestasi itu kembali terulang pada 2016 dan 2017 di Melbourne, Australia. "Skor cupping kopi dari Solok selalu di atas 85," ucap Firmansyah. Berkat aneka gelar itu, konsumen Solok Radjo kian banyak.

Tahun lalu, Koperasi Solok Radjo mengekspor 4 ton kopi ke Amerika Serikat dan Australia. Adapun kapasitas produksi kopi di koperasi-dengan jumlah anggota mencapai 800 petani-mencapai 10 ton per tahun. "Sisanya diserap oleh pasar dalam negeri," ujar Firmansyah. Sejumlah kafe dan rumah sangrai atau roastery terkenal menjadi pelanggan kopi mereka, antara lain Tanamera Coffee, Klinik Kopi, dan Otten Coffee.

Cerita lain soal kedahsyatan grade spesialti dalam mengerek harga kopi juga dirasakan warga Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Pasca-erupsi Gunung Sinabung pada 2013, lembaga-lembaga internasional memberi perhatian ke wilayah ini. Salah satunya Badan Pangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO). Lembaga ini melatih para petani menanam kopi spesialti.

Adalah Imam Syukri Syah, 37 tahun, yang menjadi salah satu pegiat yang mendorong petani di Desa Cimbang-salah satu desa terkena dampak letusan Sinabung di Sumatera Utara-untuk berfokus pada kopi. Sejak 2014, Imam dan istrinya rutin mengikuti program pelatihan.

Ia mengumpulkan para petani kopi di Desa Cimbang untuk memperbaiki cara budi daya kopi. Hasilnya lumayan. Pada 2014 dan 2015, rata-rata kebun kopi di Desa Cimbang bisa menghasilkan 1 ton gabah kopi. Pada 2016, jumlah itu melonjak jadi 4,2 ton. Luas kebun di desa ini hanya sekitar 15,5 hektare lahan kopi. "Semuanya diisi tanaman tua. Usianya sudah di atas 12 tahun, tapi kami rawat sehingga produktif kembali."

Kopi Cimbang dianggap memiliki cita rasa unik. Imam menduga hal ini dipengaruhi oleh tanah vulkanis dari Sinabung. Dalam beberapa kali lelang kopi yang digelar Asosiasi Kopi Spesialti Indonesia dan Sustainable Coffee Platform of Indonesia, kopi Cimbang konsisten memperoleh skor cupping 85. Angka ini membuat kopi tersebut layak mendapat gelar spesialti. "Dari hulu kami mengikuti prosedur kopi spesialti, seperti memetik buah yang merah, dan melakukan seleksi terhadap biji kopi yang cacat," katanya.
 
Terakhir diubah:
Waaah keren...keren...keren artikelnya...lengkap ttg kopi.
biasa bikin kopi dgn teknik rebus. citarasa nya keluar semua sampai dasar...hehehehe.
Utk yg suka kopi sedikit manis. bisa tambahkan batang kayu manis plus sedikit vanila. utk yg sedikit keras bisa di tambah 1/2 sdt jamaica rum, creamer dan simple syrup tentunya.
Semangat pagi
171e52823174533
 
Waaah keren...keren...keren artikelnya...lengkap ttg kopi.
biasa bikin kopi dgn teknik rebus. citarasa nya keluar semua sampai dasar...hehehehe.
Utk yg suka kopi sedikit manis. bisa tambahkan batang kayu manis plus sedikit vanila. utk yg sedikit keras bisa di tambah 1/2 sdt jamaica rum, creamer dan simple syrup tentunya.
Semangat pagi.


Udh ketilang aja...:Peace:.:getok:
 
mantap nih kopi skrg. bnyk bgt yg buka. jakarta utara aja kelapa gading sudah lebih dari 50 outlet.
Jarang² d0natur (jadi d0natur HANYA melalui admin team, BUKAN lewat staff lain)/advertiser maen² ke sini. :beer:
Mungkin ada minuman kopi favorit atau tempat ngopi² yg berkesan buat suhu?
Monggo dishare,,,
:kopi::)
sambil nunggu yg ngajakin ngupi²​
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd