Perdagangan kopi di Indonesia berdampak besar terhadap sedikitnya 3 juta rumah tangga petani, tapi sebagian petani masih bergantung pada tengkulak dan pengepul. Sebagian menjual langsung ke konsumen atau dibina beberapa kafe di Jakarta. Kini kopi mereka menyebar ke seluruh penjuru dunia, dari Jerman sampai Amerika Serikat.
Di pasar dunia, harga kopi spesialti dan kopi bersertifikat terus melambung. Fenomena ini mendongkrak peluang para produsen kopi Nusantara untuk terus meningkatkan pendapatan mereka.
Memangkas Rantai Kulak
Kebanyakan petani bersandar pada pengepul dan tengkulak. Sebagian menjual langsung ke konsumen agar lebih untung. Kafe-kafe turun tangan membina mereka.
Matahari belum sepenggalah ketika Romauli Tarigan membawa dua karung berisi gabah kopi. Bersama ibu-ibu petani kopi, perempuan 46 tahun ini nongkrong di emperan warung kopi di dekat Pasar Baru, Lintong Nihuta, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.
Sembari bercengkerama, mereka terlihat sibuk mengunyah sirih pinang. "Kami sedang tunggu pengepul," kata Romauli kepada Tempo, pertengahan Februari lalu.
Pagi itu adalah hari pekan atau hari pasar, waktu bagi para petani kopi Lintong dan Dolok Sanggul berkumpul untuk menjual hasil kebun mereka ke pedagang pengumpul atau pengepul. Para petani tidak banyak membawa kopi karena belum musim panen raya. Tiap orang hanya membawa 50-60 kilogram kopi.
Menurut Romauli, yang memiliki lahan kopi seluas sekitar 700 meter persegi, hari itu harga kopi sedang bagus. Sudah sebulan terakhir, ia berujar, "Harga per kilogram kopi di atas Rp 25 ribu, pernah sampai Rp 30 ribu." Saat musim panen, Romauli bisa mengangkut 300 kilogram kopi.
Pengepul biasanya menghampiri mereka menjelang siang. Romauli tidak mengetahui kopinya bakal dijual ke mana oleh pengepul. "Saya hanya tahu kopi kami nanti dibawa ke Medan setelah terkumpul," katanya.
Jumitro Sihombing, pengepul kopi di Lintong, mengatakan kopi asal Humbang Hasundutan memang paling banyak diserap perusahaan-perusahaan besar di Medan. Dari ibu kota Sumatera Utara itu, kopi selanjutnya diekspor ke berbagai negara. "Biasanya dicampur dengan kopi dari daerah lain, nanti labelnya Sumatran Coffee," ujarnya.
Sebagai pengepul, Jumitro tak hanya menunggu petani menyetor hasil kebun pada hari pekan, seperti yang dilakukan Romauli saban dua minggu. Jumitro juga kerap mendatangi petani untuk membeli kopi dalam bentuk gabah. Dia menempuh cara ini karena mitranya sudah menetapkan volume kopi yang harus dikirim ke Medan. "Bisa satu-dua kontainer sebulan," ucapnya.
Jumitro menjual kopi ke mitranya di Medan sudah dalam bentuk biji kopi hijau. Itu sebabnya ia lebih dulu menggiling gabah kopi dari petani untuk mengupas kulit ari dari biji kopi. Dengan menjual biji kopi hijau, Jumitro bisa meraup untung hingga tiga kali lipat dari harga beli gabah.
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslitkoka), lembaga penelitian yang berbasis di Jember, Jawa Timur, dalam bukunya, Kopi: Sejarah, Botani, Proses Produksi, Pengolahan, Produk Hilir, dan Sistem Kemitraan, menyebutkan kopi di Tanah Air melewati setidaknya tiga tangan sebelum diolah pabrik pengolahan atau eksportir. Menurut Puslitkoka, sebagian besar petani Indonesia bertransaksi secara langsung dengan pedagang pengumpul.
Selain lewat pengepul, ada petani kopi yang memasarkan hasil kebunnya melalui tengkulak. Bedanya dengan pengepul, tengkulak biasanya menerapkan sistem ijon. "Mereka memberi kesempatan petani untuk memperoleh kredit, umumnya sebelum tiba musim panen," begitu hasil kajian Puslitkoka.
Namun sistem ijon membelit petani kopi. Banyak dari mereka yang terikat pada tengkulak karena berutang untuk membiayai hidup keluarganya. Padahal, begitu terbelit sistem ijon, petani tak berkutik dan menjual kopinya ke tengkulak dengan harga rendah. Adanya tengkulak, menurut Puslitkoka, juga turut menambah panjang rantai pemasaran kopi.
Lembaga kajian kopi dan cokelat itu merinci setidaknya ada enam model tata niaga yang menghasilkan berbagai macam interaksi antara petani dan pembeli akhir kopi. Salah satu model yang paling jamak dijumpai dan masuk kategori model tradisional adalah alur petani-pengumpul-pedagang-eksportir.
Di Lintong dan Dolok Sanggul, menurut Jumitro, hampir semua petani kopi masih mempraktikkan jual-beli secara tradisional. Mereka memilih menjual kopi melalui pengepul. "Tidak banyak petani yang mengolah dan menjual sendiri kopinya langsung ke konsumen karena keterbatasan akses," katanya.
* * *
Agus Rusman baru saja menutup sambungan teleponnya saat ia kedatangan tamu pada awal Maret lalu. Dayat, petani kopi dari desa tetangga, menyambangi kantor Perusahaan Dagang (PD) Pulokopi milik Agus sambil membawa sekarung gabah kopi. "Punten, ieu aya kopi sakedik bade diical (permisi, ini ada kopi sedikit hendak dijual)," ujar Dayat dalam bahasa Sunda.
Agus mempersilakan Dayat masuk lewat pintu samping kantornya. Di ruangan sebelah, terdapat gudang berisi belasan karung gabah kopi. Di gudang itu, anak buah Agus menimbang kopi yang disetor Dayat. Pada timbangan tercatat angka 9 kilogram lebih. Tak sampai lima menit, anak buah Agus menyerahkan kuitansi dan beberapa lembar rupiah ke tangan Dayat. "Begini proses jual-beli di sini. Petani bisa datang langsung setor kopi, kami bayar langsung," kata Agus.
Menempati lahan seluas sehektare di Kampung Dangdang, Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, PD Pulokopi telah menjadi agen jual-beli kopi sejak 2008. Agus, 43 tahun, pendiri dan pemilik PD Pulokopi, mengaku biasanya menampung setoran kopi dari 23 pengepul. "Mereka memperoleh kopi dari 400-500 petani di Pangalengan," ujarnya.
Dari tangan-tangan pengepul itu, "Bisa masuk HS kopi 15-20 ton per hari," kata Agus, merujuk pada istilah hard skin (HS), yakni biji kopi yang masih tertutup kulit ari. Agus saban hari mengerahkan para pengepul yang rutin membeli kopi langsung dari kebun petani. Namun ia tidak menutup pintu bagi petani yang ingin menjual kopi ke kantornya.
Di Pangalengan, kualitas kopi bertambah dari hulu ke hilir, sejalan dengan rantai tata niaga. Agus mengatakan petani menjual kopi ke pengepul masih dalam bentuk cherry alias buah kopi. Di tangan pengepul, buah itu dikupas dan dijemur hingga menjadi hard skin, "Yang kadar airnya masih di atas 30 persen," ujar Agus. Ia lantas mengolahnya menjadi biji kopi hijau untuk diekspor.
Agus memilih terjun langsung mengurusi ekspor kopinya. PD Pulokopi, menurut dia, biasanya menjual kopi ke perusahaan eksportir di Medan, Surabaya, dan Bandung. Mereka kemudian menjual kopi Agus ke Eropa. "Yang di Medan ekspornya ke Starbucks," katanya.
Hari itu Agus menerima panggilan telepon dari seorang eksportir kopi asal Taiwan. Dalam percakapan itu, terdengar dia dan lawan bicaranya berbincang tentang harga. "Standarnya Rp 60 ribu per kilo. Itu belum biaya operasional," Agus berujar. Negosiasi sempat alot lantaran sang eksportir ingin membeli kopi dengan harga miring tapi berkualitas tinggi.
Menurut Agus, dia mendapat harga jual lebih dulu dari eksportir. Dari situ, ia menghitung harga untuk pengepul dan petani. Agus, misalnya, membeli gabah dari petani Rp 26 ribu per kilogram, "Dijual berupa biji kopi hijau Rp 58 ribu ke perusahaan atau eksportir," ujar pria yang rata-rata menjual lebih dari 400 ton kopi per tahun ini.
Sebagian petani mencoba memutus rantai tata niaga kopi yang kurang menguntungkan mereka itu. Malabar Mountain Coffee di Jawa Barat, misalnya, memangkasnya dengan menyerap kopi langsung dari petani. "Di Jawa Barat, sepertinya kami yang pertama kali," kata Slamet Prayogo, pemilik perkebunan kopi dan kafe Malabar Mountain Coffee, yang berfokus pada arabika spesialti, jenis kopi arabika dengan aroma dan rasa terbaik.
Prayogo, yang menggeluti pengolahan kopi arabika spesialti sejak 2012, punya kebun kopi seluas hampir 100 hektare di Pangalengan. "Sekitar 70 hektare yang produksi, sisanya baru tanam," ujarnya. Meski begitu, ia tetap menampung kopi dari para petani. Sepanjang 2014-2016, kata Prayogo, "Sebanyak 70 persen kopi yang saya jual berasal dari para petani binaan."
Tak seperti pengepul, Prayogo memilih berbagi ilmu dan pengalamannya kepada petani. "Kami bantu benih, bibit, dan perawatan. Pembiayaan juga kami bantu. Nanti mereka bayar dengan buah kopi," ucap Prayogo, yang pernah mendampingi lebih dari 300 petani. "Begitu kopi Jawa Barat booming, harga semakin bagus, saya lepas mereka untuk jual ke tempat lain."
Konsep mendekat ke petani juga dilakoni beberapa kafe di Jakarta. Anomali, Caswell’s Fine Coffee, dan Tanamera selalu mengambil biji kopi hijau langsung dari petani di Sumatera sampai Papua. "Anomali hadir untuk memberi opsi non-tengkulak. Kami beli dengan harga yang lebih bagus, pasti hilang sendiri itu tengkulak," ucap Irvan Helmi, pendiri Anomali Coffee.
Adapun petani kopi seperti Koster Tarihoran, yang berkebun di Sidikalang, Sumatera Utara, 45 kilometer dari Dolok Sanggul, memilih menjual kopinya langsung ke konsumen. "Kebanyakan ke kafe di Pulau Jawa," kata pria 49 tahun itu.
Tidak seperti para petani di Lintong dan Dolok Sanggul, Koster sudah mampu mengolah buah kopi menjadi biji kopi hijau dengan metode giling basah atau semi-washed, proses pascapanen yang umum ditemukan di Indonesia.
Dalam setahun, kebun kopi setengah hektare di belakang rumah Koster di Desa Perjuangan, Kecamatan Sumbul, Kabupaten Dairi, mampu menghasilkan satu ton buah kopi. Jumlah itu menyusut separuh begitu diolah menjadi biji kopi hijau. "Tapi nilai jualnya lebih tinggi," ucap Koster. Karena itulah ia tak lagi menjual kopi dalam bentuk gabah ataupun buah mentah.
Di Gayo, Aceh, para petani kopi berhimpun di belasan koperasi. Salah satu yang terbesar, Koperasi Permata Gayo, menaungi 2.058 petani di 35 desa. Sejak 2006, koperasi ini menjembatani petani dengan konsumen. "Ini solusi dari perdagangan kopi konvensional yang tidak peduli terhadap nasib petani," kata Ketua Koperasi Permata Gayo, Djumhur Abubakar.
Koperasi membeli buah kopi dari petani seharga Rp 13 ribu per bambu (satu bambu 1,2 ons). Buah kopi diproses hingga menjadi biji kopi hijau, kemudian diekspor melalui Pelabuhan Belawan di Medan. Koperasi mengekspor hingga 1.400 ton kopi per tahun ke Amerika Serikat, Eropa, Kanada, dan Australia. Tiap bulan mereka mengirim tiga-empat kontainer kopi ke Belawan.
Dari setiap kilogram kopi yang diekspor, para petani mendapat tambahan pemasukan Rp 5.500-6.000 di luar harga beli. "Itu dikembalikan untuk kesejahteraan petani dan peningkatan mutu kopi dengan perawatan kebun," kata Djumhur. Fasilitas ini diperoleh karena Koperasi mengantongi sertifikat fair trade, satu dari tujuh macam sertifikat pengelolaan kopi berkelanjutan.
Di Amerika, biji kopi hijau dari Koperasi Permata Gayo diolah menjadi biji kopi sangrai dengan berbagai merek, seperti Peace Coffee, Esperanza, dan Great Mountain Coffee. *
Matematika Kopi Mukidi
Seorang petani kopi yang mampu mengolah hasil kebunnya secara mandiri dari hulu ke hilir diyakini bakal mendapatkan keuntungan berlipat. Ini dibuktikan sendiri oleh Mukidi, 43 tahun, petani sekaligus pemilik Rumah Kopi Mukidi asal Temanggung, Jawa Tengah. Dia punya hitung-hitungannya:
1. Keuntungan dari penjualan buah kopi mentah (cherry): Rp 80 juta
2. Keuntungan dari penjualan kopi beras (green bean): Rp 99 juta
3. Keuntungan dari penjualan kopi sangrai (roasted bean): Rp 199,5 juta
4. Keuntungan dari penjualan kopi seduhan: Rp 1,3 miliar
Asumsi
Luas kebun: 1 hektare (1.000 pohon)
Produksi:
» 10 kg/pohon = 10 ton buah kopi mentah
» 10 ton kopi mentah diolah jadi 1,6 ton kopi beras
» 1,6 ton kopi beras disangrai jadi 1,3 ton kopi sangrai
» 1,3 ton kopi sangrai diseduh menjadi 1.300 gelas kopi
Harga:
» Kopi mentah: Rp 8.000/kg
» Kopi beras: Rp 60.000/kg
» Kopi sangrai: Rp 150.000/kg
» Kopi seduh: Rp 10.000/cangkir