Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Angkat ane jd murid ente suhu, biar bisa gercep kayak suhu :ampun:
Itu avanya duh aduh Kak Rosie
Perut rata bgt kayak dempulan syahrini :panlok3:
Om IPO merendah nih. Masak mau berguru ama ane yg tampangnya mirip sutil ini. :malu:

______

Ini kenapa trit bahasa jd ajang modus gini yak?

Maafkan akuh Mr Noam Chomsky. Murid spiritualmu ini kebanyakan mesumnya daripada ngurusin ilmu bahasa.
:tabok:
 


Sejarah Bahasa Indonesia

Bahasa adalah identitas suatu bangsa yang digunakan untuk berkomunikasi dnegan bangsa lain. Dimana setiap bangsa memiliki bahasa yang berbeda-beda dengan ciri khas dan asal-usul masing-masing. Begitu juga dengan bahasa Indonesia. Sejarah bahasa Indonesia sendiri tidak lepas dari bahasa Melayu.

Bahasa Indonesia sangat dinamis, sehingga menghasilkan kosakata baru dari penciptaan dan penyerapan bahasa daerah maupun asing. Salah satu bahasa yang datang dari luar adalah bahasa Inggris. Dimana bahasa Inggris adalah bahasa internasional yang digunakan sebagai komunikasi antar bangsa.

Sehingga tidak heran, banyak orang yang belajar untuk menguasai bahasa Inggris.hal ini bertujuan agar mereka tidak buta akan informasi yang ada di dunia. Meskipun mempelajari bahasa Inggris penting, akan lebih baik jika kita sebagai warga Negara Indonesia tetap menjaga, melestarikan dan membudayakan bahasa Indonesia.

Untuk lebih memperdalam bahasa Indonesia, kita harus mengetahui sejarah bahasa Indonesia dan perkembangannya hingga saat ini. Dimana bahasa Indonesia menjadi bahasa pemersatu penduduk Indonesia yang sangat beranekaragam.

Sejarah Bahasa Indonesia


Bahasa Indonesia lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. Dimana pada tanggal tersebut, para pemuda dari seluruh pelosok Nusantara berkumpul dan berikrar Sumpah Pemuda dengan isi :


  1. Bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia
  2. Berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, dan
  3. Menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia
Dengan Sumpah Pemuda itulah, bahasa Indonesia kemudian dikukuhkan menjadi bahasa nasional. Kemudian pada tanggal 18 Agustus 1945, bahasa Indonesia menjadi bahasa negara dan terkandung dalam UUD 1945 Bab XV, Pasal 36.

Bahasa Melayu Sebagai Dasar Bahasa Indonesia

Sejarah Bahasa Indonesia sangat erat kaitannya dengan bahasa Melayu. Sejak dulu, bahasa Melayu merupakan bahasa yang digunakan sebagai bahasa perantara atau pergaulan. Sehingga dasar bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Awal mulanya adalah ketika kerajaan Sriwijaya maju ke wilayah Asia Tenggara menggunakan bahasa Melayu Kuno sebagai bahasa perantara dengan kerajaan lain.

Hal ini dibuktikan dengan adanya prasasti di Kedukan Bukit di Palembang berangka tahun 683 M. Kemudian kota kapur di Bangka Barat berangka tahun 686 M dan Karang Brahi di Jambi berangka tahun 688 M.

Fungsi Bahasa Melayu

Pada masa kejayaan kerajaan Sriwijaya, bahasa Melayu yang menjadi dasar bahasa Indonesia memiliki beberapa fungsi sebagai:

  • Bahasa Kebudayaan. Pada zaman kerajaan Sriwijaya, bahasa Melayu dijadikan sebagai bahasa kebudayaan. Dimana bahasa ini digunakan pada bahasa buku pelajaran agama Budha.
  • Bahasa Perhubungan. Selain bahasa kebudayaan, bahasa Melayu juga digunakan sebagai bahasa perhubungan. Dimana digunakan oleh antar suku di Nusantara. Perkembangan bahasa Melayu sangatlah cepat. Hal ini terlihat jelas dari peninggalan kerajaan Islam dalam bentuk batu tertulis maupun hasil susastra. Kemudian bahasa Melayu menyebar ke pelosok Nusantara sejalan dengan menyebarkan agama Islam di Nusantara. Bahasa Melayu yang sederhana menjadikan bahasa ini mudah diterima oleh semua suku.
  • Bahasa Perdagangan. Selain digunakan untuk antar suku, bahasa Melayu juga digunakan untuk bahasa perdagangan baik dari dalam maupun luar negeri. Perkembangan bahasa Melayu yang pesat ke antar pulau, antar suku, antar bangsa membuat bahasa ini juga berkembang di wilayah antar pedagang. Apalagi bahasa Melayu tidak mengenal tingkatan tutur.
  • Bahasa Resmi Kerajaan. Kerajaan-kerajaan Indonesia menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa dalam kesehariannya. Dan digunakan untuk bahasa antar kerajaan di Nusantara.
Faktor Pengangkatan Bahasa Melayu Menjadi Bahasa Indonesia

Perkembangan bahasa Melayu semakin pesat, hingga bahasa ini dijadikan sebagai bahasa Indonesia. terdapat empat faktor yang menyebabkan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia :


  • Dari dulu bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa pengantar di Indonesia
  • Bahasa Melayu memiliki sistem yang sederhana sehingga mudah dipahami dan dipelajari
  • Suku-suku di Indonesia mengakui dan menerima Bahasa Melayu sebagai dasar bahasa Indonesia
  • Bahasa Melayu memiliki kemampuan sebagai bahasa kebudayaan
Perkembangan Bahasa Melayu

Dalam berkomunikasi, bahasa Melayu digunakan dimana-mana dan semakin berkembang di Nusantara. Bahasa Melayu ini kemudian dipengaruhi oleh corak budaya setiap daerah. Sehingga bahasa ini tumbuh dengan pengaruh bahasa lain seperti bahasa Sansekerta, Persia, Arab dan bahasa Eropa. Dengan demikian, dalam perkembangannya, bahasa ini memiliki dialek yang berbeda-beda antar daerah.

Perkembangan Bahasa Indonesia

Sejarah bahasa Indonesia berawal dari bahasa Melayu yang disahkan menjadi bahasa persatuan ketika Sumpah Pemuda tahun 1928. Perkembangan bahasa Indonesia didorong oleh kebangkitan nasional. Dimana di dalamnya terdapat peranan-peranan penting pada kegiatan politik, perdagangan, surat kabar maupun memodernkan bahasa Indonesia.

Kemudian pada tanggal 17 Agustus 1945, bahasa Indonesia dikukuhkan sebagai bahasa negara yang memiliki kedudukan dan fungsi yang tinggi. Hingga kini bahasa Indonesia menjadi bahasa yang digunakan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Dan pemerintah memberi perhatian dengan membentuk lembaga Pusat Bahasa dan Penyelenggara Kongres Bahasa Indonesia.

Penyempurnaan Ejaan Bahasa Indonesia

Sejarah bahasa Indonesia tidak berhenti begitu saja, karena perkembangannya di Nusantara semakin pesat. Apalagi dengan sifat terbukanya membuat bahasa Indonesia menyerap kata-kata dari bahasa lain, baik bahasa daerah maupun asing. Bahasa Indonesia mengalami penyempurnaan dalam ejaannya. Berikut ini tahapan perkembangan ejaan bahasa Indonesia :

1. Ejaan Van Ophuijen (1901)

Pada masa Belanda menjajah Indonesia, bahasa yang digunakan sebagai bahasa pengantar ialah bahasa Melayu. Dan untuk memudahkan orang-orang Belanda dalam berkomunikasi kemudian dibuat pembakuan ejaan oleh Belanda yaitu Prof. Charles van Ophuijen. Dalam pembakuan ejaan ini Charles dibantu oleh Engku Nawawi atau Sutan Makmur dan Moh Taib Sultan Ibrahim.

Ejaan yang digunakan untuk menulis Melayu ini menggunakan huruf latin yang dimengerti oleh orang Belanda. Bahkan tuturan bahasanya juga mirip dengan tuturan bahasa Belanda. Antara lain huruf j (jang) menjadi y (yang), huruf oe (doeloe) menjadi u (dulu) dan tanda koma ain seperti ma’mur menjadi makmur.

2. Ejaan Republik / Ejaan Soewandi (19 Maret 1947)

Ejaan ini diresmikan oleh Soewandi yang merupakan seorang Menteri Pendidikan Republik Indonesia. Tujuan dibuatnya Ejaan Republik ini ialah untuk menggantikan serta menyempurnakan ejaan sebelumnya.

Perubahan yang terdapat pada ejaan republik terdapat pada huruf oe menjadi u (doeloe=dulu), koma ain menjadi k (pa’=pak). Kemudian kata ulang boleh disingkat dengan angka 2 (rumah-rumah = rumah2) dan kata depan ‘di’ ditulis serangkai dengan kata yang mendampinginya.

3. Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan / EYD (1972)

Seiring perkembangan zaman, bahasa Indonesia juga turut berkembang. Pada tahun 1972 Presiden Republik Indonesia meresmikan EYD atau ejaan yang disempurnakan. Putusan presiden No. 57 Tahun 1972 ini merupakan penyederhanaan dan juga penyempurnaan ejaan.

Yang diatur dalam EYD ini antara lain penulisan huruf kapital dan huruf miring, kata, tanda baca, singkatan dan akronim. Kemudian penulisan angka dan lambang bilangan serta penulisan unsur serapan.

4. Ejaan Bahasa Indonesia / EBI (2015)

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 50 Tahun 2015 menunjukkan peresmian ejaan bahasa Indonesia. Dimana didalamnya terkandung pedoman umum ejaan bahasa Indonesia.

Yang terdapat pada penyempurnaan EBI antara lain pada penambahan huruf vokal diftong, penggunaan huruf kapital pada julukan. Selain itu penggunaan huruf tebal pada penulisan lema dan sublema dalam kamus juga dihapuskan dalam ejaan EBI.

Bahasa Indonesia bukan sekedar bahasa yang dibentuk begitu saja. Namun dalam sejarah bahasa Indonesia, pembentukan bahasa ini mengalami perjalanan yang panjang. Sehingga kita sebagai warga Indonesia harus bangga dengan bangsa dan bahasa kita.

Apalagi bahasa Indonesia menjadi bahasa yang dipandang unik oleh negara-negara lain. Dikarenakan Indonesia yang memiliki banyak sekali suku, namun hanya bahasa Indonesia yang menjadikan pemersatunya.

Dari romadecade
 
Asal mula bahasa melayu di Indonesia
Bahasa Melayu merupakan induk dari Bahasa Indonesia. Bahasa ini adalah sebuah bahasa Austronesia dari cabang bahasa-bahasa Sunda-Sulawesi, yang digunakan sebagai lingua franca di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern.

Peranan kerajaan berbudaya melayu yang pernah berkuasa secara luas di daerah Asia tenggara turut memperkenalkan bahasa melayu yang sekarang menjadi wilayah negara Indonesia. Istilah Melayu atau sebutan bagi wilayahnya sebagai Malaya sendiri berasal dari Kerajaan Malayu yang bertempat di Batang Hari, Jambi, dimana diketahui bahasa Melayu yang digunakan di Jambi menggunakan dialek “o” sedangkan dikemudian hari bahasa dan dialek Melayu berkembang secara luas dan menjadi beragam.

Istilah Melayu atau Malayu berasal dari Kerajaan Malayu, sebuah kerajaan Hindu-Budha pada abad ke-7 di hulu sungai Batanghari, Jambi di pulau Sumatera, jadi secara geografis semula hanya mengacu kepada wilayah kerajaan tersebut yang merupakan sebagian dari wilayah pulau Sumatera.

Dalam perkembangannya pemakaian istilah Melayu mencakup wilayah geografis yang lebih luas dari wilayah Kerajaan Malayu tersebut, mencakup negeri-negeri di pulau Sumatera sehingga pulau tersebut disebut juga Bumi Melayu seperti disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama.

Aksara pertama dalam bahasa Melayu atau Jawi ditemukan di pesisir tenggara Pulau Sumatera, mengindikasikan bahwa bahasa ini menyebar ke berbagai tempat di Nusantara dari wilayah ini, berkat penggunaannya oleh Kerajaan Sriwijaya yang menguasai jalur perdagangan.

Sejarah mengisahkan bahwa bangsa Indonesia menjadikan bahasa melayu sebagai bahasa persatuan bangsa. yang di mulai dengan adanya Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 Masehi) yang menggunakan bahasa Melayu (Melayu Kuna) sebagai bahasa kerajaan. Lima prasasti kuno yang ditemukan di Sumatera bagian selatan peninggalan kerajaan itu menggunakan bahasa Melayu yang bertaburan kata-kata pinjaman dari bahasa Sanskerta, suatu bahasa Indo-Eropa dari cabang Indo-Iran,
Kelima prasasti tersebut adalah:

1. Tulisan yang ada di batu nisan di Minye Tujoh, Aceh tahun, 1380 M.
2. Prasasti Kedukan Bukit, di Palembang, tahun 683.
3. Prasasti Talang Tuwo, di Palembang, tahun 684.
4. Prasasti Kota Kapur, di Bangka Barat, tahun 686.
5. Prasasti Karang Brahi Bangko, Merangi, Jambi, tahun 688.

Pada abad ke-15 berkembang bentuk yang dianggap sebagai bahasa Melayu Klasik (classical Malay atau medieval Malay). Bentuk ini dipakai oleh Kesultanan Melaka, yang perkembangannya kelak disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi. Penggunaannya terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Malaya.
Laporan Portugis, misalnya oleh Tome Pires, menyebutkan adanya bahasa yang dipahami oleh semua pedagang di wilayah Sumatera dan Jawa. Magellan dilaporkan memiliki budak dari Nusantara yang menjadi juru bahasa di wilayah itu.

Ciri paling menonjol dalam ragam sejarah ini adalah mulai masuknya kata-kata pinjaman dari bahasa Arab dan bahasa Parsi, sebagai akibat dari penyebaran agama Islam yang mulai masuk sejak abad ke-12.

Kata-kata bahasa Arab seperti masjid, kalbu, kitab, kursi, selamat, dan kertas, serta kata-kata Parsi seperti anggur, cambuk, dewan, saudagar, tamasya, dan tembakau masuk pada periode ini. Proses penyerapan dari bahasa Arab terus berlangsung hingga sekarang.

Kedatangan pedagang Portugis, diikuti oleh Belanda, Spanyol, dan Inggris meningkatkan informasi dan mengubah kebiasaan masyarakat pengguna bahasa Melayu. Bahasa Portugis banyak memperkaya kata-kata untuk kebiasaan Eropa dalam kehidupan sehari-hari, seperti gereja, sepatu, sabun, meja, bola, bolu, dan jendela.

Jan Huyghen van Linschoten pada abad ke-17 dan Alfred Russel Wallace pada abad ke-19 menyatakan bahwa bahasa orang Melayu/Melaka dianggap sebagai bahasa yang paling penting di “dunia timur”. Luasnya penggunaan bahasa Melayu ini melahirkan berbagai varian lokal dan temporal.

Bahasa perdagangan menggunakan bahasa Melayu di berbagai pelabuhan Nusantara bercampur dengan bahasa Portugis, bahasa Tionghoa, maupun bahasa setempat. Terjadi proses pidginisasi di beberapa kota pelabuhan di kawasan timur Nusantara, misalnya di Manado, Ambon, dan Kupang.

Orang-orang Tionghoa di Semarang dan Surabaya juga menggunakan varian bahasa Melayu pidgin. Terdapat pula bahasa Melayu Tionghoa di Batavia.
Varian yang terakhir ini malah dipakai sebagai bahasa pengantar bagi beberapa surat kabar pertama berbahasa Melayu (sejak akhir abad ke-19). Varian-varian lokal ini secara umum dinamakan bahasa Melayu Pasar oleh para peneliti bahasa.

Terobosan penting terjadi ketika pada pertengahan abad ke-19 Raja Ali Haji dari istana Riau-Johor (pecahan Kesultanan Melaka) menulis kamus ekabahasa untuk bahasa Melayu.

Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa bahasa ini adalah bahasa yang full-fledged, sama tinggi dengan bahasa-bahasa internasional di masa itu, karena memiliki kaidah dan dokumentasi kata yang terdefinisi dengan jelas.

Hingga akhir abad ke-19 dapat dikatakan terdapat paling sedikit dua kelompok bahasa Melayu yang dikenal masyarakat Nusantara: bahasa Melayu Pasar yang kolokial dan tidak baku serta bahasa Melayu Tinggi yang terbatas pemakaiannya tetapi memiliki standar. Bahasa ini dapat dikatakan sebagai lingua franca, tetapi kebanyakan berstatus sebagai bahasa kedua atau ketiga. Kata-kata pinjaman.

Pertengahan 1800-an, Alfred Russel Wallace menuliskan buku yang berjudul Malay Archipelago yang berceritakan tentang “penghuni Malaka telah memiliki suatu bahasa tersendiri yang bersumber dari cara berbicara yang paling elegan dari negara-negara lain, sehingga bahasa Melayu adalah yang Bahasa yang digunakan di seluruh Hindia Belanda.”

Awal abad ke-20, bahasa Melayu pecah menjadi dua. Di tahun 1901, Indonesia di bawah Belanda yang menggunakan ejaan Van Ophuijsen sedangkan pada tahun 1904 Malaysia di bawah Inggris menggunakan ejaan Wilkinson.

Bahasa Belanda terutama banyak memberi pengayaan di bidang administrasi, kegiatan resmi (misalnya dalam upacara dan kemiliteran), dan teknologi hingga awal abad ke-20. Kata-kata seperti asbak, polisi, kulkas, knalpot, dan stempel adalah pinjaman dari bahasa ini.

Bahasa yang dipakai pendatang dari Cina juga lambat laun dipakai oleh penutur bahasa Melayu, akibat kontak di antara mereka yang mulai intensif di bawah penjajahan Belanda.

Sudah dapat diduga, kata-kata Tionghoa yang masuk biasanya berkaitan dengan perniagaan dan keperluan sehari-hari, seperti pisau, tauge, tahu, loteng, teko, tauke, dan cukong.

Bahasa Indonesia

Pemerintah kolonial Hindia-Belanda menyadari bahwa bahasa Melayu dapat dipakai untuk membantu administrasi bagi kalangan pegawai pribumi karena penguasaan bahasa Belanda para pegawai pribumi dinilai lemah.

Dengan menyandarkan diri pada bahasa Melayu Tinggi (karena telah memiliki kitab-kitab rujukan) sejumlah sarjana Belanda mulai terlibat dalam standardisasi bahasa.

Promosi bahasa Melayu pun dilakukan di sekolah-sekolah dan didukung dengan penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu. Akibat pilihan ini terbentuklah “embrio” bahasa Indonesia yang secara perlahan mulai terpisah dari bentuk semula bahasa Melayu Riau-Johor.

Pada awal abad ke-20 perpecahan dalam bentuk baku tulisan bahasa Melayu mulai terlihat. Di tahun 1901, Indonesia (sebagai Hindia-Belanda) mengadopsi ejaan Van Ophuijsen dan pada tahun 1904 Persekutuan Tanah Melayu (kelak menjadi bagian dari Malaysia) di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson.

Ejaan Van Ophuysen diawali dari penyusunan Kitab Logat Melayu (dimulai tahun 1896) van Ophuijsen, dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim.
Intervensi pemerintah semakin kuat dengan dibentuknya Commissie voor de Volkslectuur (“Komisi Bacaan Rakyat” – KBR) pada tahun 1908. Kelak lembaga ini menjadi Balai Poestaka.

Pada tahun 1910 komisi ini, di bawah pimpinan D.A. Rinkes, melancarkan program Taman Poestaka dengan membentuk perpustakaan kecil di berbagai sekolah pribumi dan beberapa instansi milik pemerintah.

Perkembangan program ini sangat pesat, dalam dua tahun telah terbentuk sekitar 700 perpustakaan. Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai “bahasa persatuan bangsa” pada saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928.

Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas usulan Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan:
“Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan.”

Selanjutnya perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia banyak dipengaruhi oleh sastrawan Minangkabau, seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan Chairil Anwar. Sastrawan tersebut banyak mengisi dan menambah perbendaharaan kata, sintaksis, maupun morfologi bahasa Indonesia.

Tonggak Sejarah Perjalanan Bahasa Indonesia

  • Tahun 1908 pemerintah kolonial mendirikan sebuah badan penerbit buku-buku bacaan yang diberi nama Commissie voor de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat), yang kemudian pada tahun 1917 diubah menjadi Balai Pustaka. Badan penerbit ini menerbitkan novel-novel, seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, buku-buku penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan, yang tidak sedikit membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas.
  • Tanggal 16 Juni 1927 Jahja Datoek Kajo menggunakan bahasa Indonesia dalam pidatonya. Hal ini untuk pertamakalinya dalam sidang Volksraad, seseorang berpidato menggunakan bahasa Indonesia.
  • Tanggal 28 Oktober 1928 secara resmi Muhammad Yamin mengusulkan agar bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan Indonesia.
  • Tahun 1933 berdiri sebuah angkatan sastrawan muda yang menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana.
  • Tahun 1936 Sutan Takdir Alisyahbana menyusun Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia.
  • Tanggal 25-28 Juni 1938 dilangsungkan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo. Dari hasil kongres itu dapat disimpulkan bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan Indonesia saat itu.
  • Tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang Dasar 1945, yang salah satu pasalnya (Pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.
  • Tanggal 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan ejaan Republik sebagai pengganti ejaan Van Ophuijsen yang berlaku sebelumnya.
  • Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1954 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Kongres ini merupakan perwujudan tekad bangsa Indonesia untuk terus-menerus menyempurnakan bahasa Indonesia yang diangkat sebagai bahasa kebangsaan dan ditetapkan sebagai bahasa negara.
  • Tanggal 16 Agustus 1972 H. M. Soeharto, Presiden Republik Indonesia, meresmikan penggunaan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) melalui pidato kenegaraan di hadapan sidang DPR yang dikuatkan pula dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972.
Perbedaan-perbedaan antara EYD dengan ejaan sebelumnya adalah:
1. [ tj ] menjadi [ c ] : tjutji –> cuci
2. [ dj ] menjadi [ j ] : djarak –> jarak
3. [ oe ] menjadi [ u ] : oemoem –> umum
4. [ j ] menjadi [ y ] : sajang –> sayang
5. [ nj ] menjadi [ny ] : njamuk –> nyamuk
6. [ sj ] menjadi [ sy ] : sjarat –> syarat
7. [ ch ] menjadi [ kh ] : achir –> akhir
8. awalan [ di- ] dan kata depan [ di ] dibedakan penulisannya. kata depan [ di ] pada contoh [ di rumah ], penulisannya dipisahkan dengan spasi, sementara [ di- ] pada [ dibeli ], ditulis dengan kata yang mengikutinya.

  • Tanggal 31 Agustus 1972 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah resmi berlaku di seluruh wilayah Indonesia (Wawasan Nusantara).
  • Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1978 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia III di Jakarta. Kongres yang diadakan dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda yang ke-50 ini selain memperlihatkan kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan bahasa Indonesia sejak tahun 1928, juga berusaha memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.
  • Tanggal 21-26 November 1983 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia IV di Jakarta. Kongres ini diselenggarakan dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda yang ke-55. Dalam putusannya disebutkan bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia harus lebih ditingkatkan sehingga amanat yang tercantum di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, yang mewajibkan kepada semua warga negara Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dapat tercapai semaksimal mungkin.
  • Tanggal 28 Oktober s.d 3 November 1988 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia V di Jakarta. Kongres ini dihadiri oleh kira-kira tujuh ratus pakar bahasa Indonesia dari seluruh Indonesia dan peserta tamu dari negara sahabat seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Belanda, Jerman, dan Australia. Kongres itu ditandatangani dengan dipersembahkannya karya besar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa kepada pencinta bahasa di Nusantara, yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
  • Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1993 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VI di Jakarta. Pesertanya sebanyak 770 pakar bahasa dari Indonesia dan 53 peserta tamu dari mancanegara meliputi Australia, Brunei Darussalam, Jerman, Hongkong, India, Italia, Jepang, Rusia, Singapura, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Kongres mengusulkan agar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditingkatkan statusnya menjadi Lembaga Bahasa Indonesia, serta mengusulkan disusunnya Undang-Undang Bahasa Indonesia.
  • Tanggal 26-30 Oktober 1998 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VII di Hotel Indonesia, Jakarta. Kongres itu mengusulkan dibentuknya Badan Pertimbangan Bahasa.
PERAN DAN FUNGSI BAHASA INDONESIA

* Peran Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia mempunyai kedudukan yang sangat penting, seperti tercantum pada ikrar ketiga Sumpah Pemuda yang berbunyi Kami Putra dan Putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan , bahasa Indonesia. Ini berarti bahwa bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional ; kedudukannya berada diatas bahasa – bahasa daerah. Selain itu , didalam undang – undang dasar 1945 tercantum pasal khusus ( BAB XV , pasal 36 ) mengenai kedudukan bahasa Indonesia yang menyatakan bahwa bahasa Negara ialah bahasa Indonesia. Pertama, bahsa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional sesuai dengan sumpah pemuda 1928; kedua, bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa Negara sesuai dengan undang – undang dasar 1945.

* Fungsi Bahasa Indonesia

Fungsi utama bahasa, seperti disebutkan di atas, adalah sebagai alat komunikasi, atau sarana untuk menyampaikan informasi (fungsi informatif).

* Bahasa sebagai alat komunikasi

Melalui Bahasa, manusia dapat berhubungan dan berinteraksi dengan alam sekitarnya, terutama sesama manusia sebagai makhluk sosial. Manusia dapat memikirkan, mengelola dan memberdayakan segala potensi untuk kepentingan kehidupan umat manusia menuju kesejahteraan adil dan makmur.
Manusia dalam berkomunikasi tentu harus memperhatikan dan menerapkan berbagai etika sehingga terwujud masyarakat yang madani selamat dunia dan akhirat. Bahasa sebagai alat komunikasi berpotensi untuk dijadikan sebagai sarana untuk mencapai suatu keberhasilan dan kesuksesan hidup manusia, baik sebagai insan akademis maupun sebagai warga masyarakat.

* Bahasa sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri

Sebagai alat ekspresi diri, bahasa merupakan sarana untuk mengungkapkan segala sesuatu yang ada dalam diri seseorang, baik berbentuk perasaan, pikiran, gagasan, dan keinginan yang dimilikinya. Begitu juga digunakan untuk menyatakan dan memperkenalkan keberadaan diri seseorang kepada orang lain dalam berbagai tempat dan situasi.

* Bahasa sebagai Alat Integrasi dan Adaptasi Sosial

Bahasa disamping sebagai salah satu unsur kebudayaan, memungkinkan pula manusia memanfaatkan pengalaman-pengalaman mereka, mempelajari dan mengambil bagian dalam pengalaman-pengalaman itu, serta belajar berkenalan dengan orang-orang lain.

Anggota-anggota masyarakat hanya dapat dipersatukan secara efisien melalui bahasa. Bahasa sebagai alat komunikasi, lebih jauh memungkinkan tiap orang untuk merasa dirinya terikat dengan kelompok sosial yang dimasukinya, serta dapat melakukan semua kegiatan kemasyarakatan dengan menghindari sejauh mungkin bentrokan-bentrokan untuk memperoleh efisiensi yang setinggi-tingginya. Cara berbahasa tertentu selain berfungsi sebagai alat komunikasi, berfungsi pula sebagai alat integrasi dan adaptasi sosial.

* Bahasa sebagai Alat Kontrol Sosial

Sebagai alat kontrol sosial, bahasa sangat efektif. Kontrol sosial ini dapat diterapkan pada diri kita sendiri atau kepada masyarakat. Berbagai penerangan, informasi, maupun pendidikan disampaikan melalui bahasa.

Tetapi, bahasa pada dasarnya lebih dari sekadar alat untuk menyampaikan informasi, atau mengutarakan pikiran, perasaan, atau gagasan, karena bahasa juga berfungsi:
1. untuk tujuan praktis: mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari.
2. untuk tujuan artistik: manusia mengolah dan menggunakan bahasa dengan seindah-indahnya guna pemuasan rasa estetis manusia.
3. sebagai kunci mempelajari pengetahuan-pengetahuan lain, di luar pengetahuan kebahasaan.
untuk mempelajari naskah-naskah tua guna menyelidiki latar belakang sejarah manusia.
4. kebudayaan dan adat-istiadat, serta perkembangan bahasa itu sendiri (tujuan filologis). Dikatakan oleh para ahli budaya, bahwa bahasalah yang memungkinkan kita membentuk diri sebagaimakhluk bernalar, berbudaya, dan berperadaban.
Dengan bahasa, kita membina hubungan dan kerja sama,mengadakan transaksi, dan melaksanakan kegiatan sosial dengan bidang dan peran kita masing-masing. Dengan bahasa kita mewarisi kekayaan masa lampau, menghadapi hari ini, dan merencanakan masa depan.

Jika dikatakan bahwa setiap orang membutuhkan informasi itu benar. Kita ambil contoh, misalnya,mahasiswa. Ia membutuhkan informasi yang berkaitan dengan bidang studinya agar lulus dalam setiapujian dan sukses meraih gelar atau tujuan yang diinginkan. Seorang dokter juga sama. Ia memerlukan informasi tentang kondisi fisik dan psikis pasiennya agar dapat menyembuhkannya dengan segera.

Sumber : weareyoung1985
 
Kata Serapan

Pengertian Kata Serapan, Sejarah, Ciri, Macam, Sifat dan Contoh

Kata serapan merupakan kata yang berasal dari bahasa asing yang telah diintegrasikan ke bentuk bahasa yang telah diterima pemakaiannya secara umum.

Pengertian Kata Serapan

Kata serapan (kata pinjam atau kata pungutan) merupakan kata yang berasal dari bahasa asing yang telah diintegrasikan ke bentuk bahasa yang telah diterima pemakaiannya secara umum.
Setiap masyarakat bahasa memiliki tentang cara yang digunakan untuk mengungkapkan gagasan dan perasaan atau untuk menyebutkan atau mengacu ke benda-benda di sekitarnya. Hingga pada suatu titik waktu, kata-kata yang dihasilkan melalui kesepakatan masyarakat itu sendiri umumnya mencukupi keperluan itu,

namun manakala terjadi hubungan dengan masyarakat bahasa lain, sangat mungkin muncul gagasan, konsep, atau barang baru yang datang dari luar budaya masyarakat itu. Dengan sendirinya juga diperlukan kata baru. Salah satu cara memenuhi keperluan itu–yang sering dianggap lebih mudah–adalah mengambil kata yang digunakan oleh masyarakat luar yang menjadi asal hal ihwal baru itu.
Penyerapan KATA ASING terjadi karena beberapa hal berikut:

  1. Kata asing tersebut lebih cocok konotasinya.
  2. Bercorak Internasional
  3. Lebih singkat dibandingkan dengan terjemahannya.
  4. Mempermudah karena dalam bahasa Indonesia terlalu banyak sinonimnya
Sejarah Hubungan Dengan Penutur
Telah berabad-abad lamanya nenek moyang penutur bahasa Indonesia berhubungan dengan berbagai bangsa di dunia. Bahasa Sanskerta tercatat terawal dibawa masuk ke Indonesia yakni sejak mula tarikh Masehi. Bahasa ini dijadikan sebagai bahasa sastra dan perantara dalam penyebaran agama Hindu dan Buddha. Agama Hindu tersebar luas di pulau Jawa pada abad ke-7 dan ke-8, lalu agama Buddha mengalami keadaan yang sama pada abad ke-8 dan ke-9.
Hubungan dengan penutur India dan persekitarannya
Beriringan dengan perkembangan agama Hndu itu berlangsung pula perdagangan rempah-rempah dengan bangsa India yang sebagian dari mereka penutur bahasa Hindi, sebagian yang lain orang Tamil dari India bagian selatan dan Sri Lanka bagian timur yang bahasanya menjadi perantara karya sastra yang subur. Bahasa Tamil pernah memiliki pengaruh yang kuat terhadap bahasa Melayu.
Hubungan dengan penutur Cina
Hubungan ini sudah terjadi sejak abad ke-7 ketika para saudagar Cina berdagang ke Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur, bahkan sampai juga ke Maluku Utara. Pada saat Kerajaan Sriwijaya muncul dan kukuh, Cina membuka hubungan diplomatik dengannya untuk mengamankan usaha perdagangan dan pelayarannya. Pada tahun 922 musafir Cina melawat ke Kerajaan Kahuripan di Jawa Timur. Sejak abad ke-11 ratusan ribu perantau Cina meninggalkan tanah leluhurnya dan menetap di banyak bagian Nusantara (Kepulauan Antara, sebutan bagi Indonesia).
Yang disubut dengan bahasa Cina adalah bahasa di negara Cina (banyak bahasa). Empat di antara bahasa-bahasa itu yang di kenal di Indonesia yakni Amoi, Hakka, Kanton, dan Mandarin. Kontak yang begitu lama dengan penutur Cina ini mengakibatkan perolehan kata serapan yang banyak pula dari bahasa Cina, namun penggunaannya tidak digunakan sebagai perantara keagamaan, keilmuan, dan kesusastraan di Indonesia sehingga ia tidak terpelihara keasliannya dan sangat mungkin banyak ia berbaur dengan bahasa di Indonesia. Contohnya anglo, bakso, cat, giwang, kue/ kuih, sampan, dan tahu.

Hubungan dengan penutur Arab
Bahasa Arab dibawa ke Indonesia mulai abad ketujuh oleh saudagar dari Persia, India, dan Arab yang juga menjadi penyebar agama Islam. Kosakata bahasa Arab yang merupakan bahasa pengungkapan agama Islam mula berpengaruh ke dalam bahasa Melayu terutama sejak abad ke-12 saat banyak raja memeluk agama Islam. Kata-kata serapan dari bahasa Arab misalnya abad, bandar, daftar, edar, fasik, gairah, hadiah, hakim, ibarat, jilid, kudus, mimbar, sehat, taat, dan wajah. Karena banyak di antara pedagang itu adalah penutur bahasa Parsi, tidak sedikit kosakata Parsi masuk ke dalam bahasa Melayu, seperti acar, baju, domba, kenduri, piala, saudagar, dan topan.
Hubungan dengan penutur Portugis
Bahasa Portugis dikenali masyarakat penutur bahasa Melayu sejak bangsa Portugis menduduki Malaka pada tahun 1511 setelah setahun sebelumnya ia menduduki Goa. Portugis dikecundangi atas saingan dengan Belanda yang datang kemudian dan menyingkir ke daerah timur Nusantara. Meski demikian, pada abad ke-17 bahasa Portugis sudah menjadi bahasa perhubungan antaretnis di samping bahasa Melayu. Kata-kata serapan yang berasal dari bahasa Portugis seperti algojo, bangku, dadu, gardu, meja, picu, renda, dan tenda.
Hubungan dengan penutur Belanda
Belanda mendatangi Nusantara pada awal abad ke-17 ketika ia mengusir Portugis dari Maluku pada tahun 1606, kemudian ia menuju ke pulau Jawa dan daerah lain di sebelah barat. Sejak itulah, secara bertahap Belanda menguasai banyak daerah di Indonesia. Bahasa Belanda tidak sepenuhnya dapat menggeser kedudukan bahasa Portugis karena pada dasarnya bahasa Belanda lebih sukar untuk dipelajari, lagipula orang-orang Belanda sendiri tidak suka membuka diri bagi orang-orang yang ingin mempelajari kebudayaan Belanda termasuklah bahasanya.

Hanya saja pendudukannya semakin luas meliputi hampir di seluruh negeri dalam kurun waktu yang lama (350 tahun penjajahan Belanda di Indonesia). Belanda juga merupakan sumber utama untuk menimba ilmu bagi kaum pergerakan. Maka itu, komunikasi gagasan kenegaraan pada saat negara Indonesia didirikan banyak mengacu pada bahasa Belanda. Kata-kata serapan dari bahasa Belanda seperti abonemen, bangkrut, dongkrak, ember, formulir, dan tekor.
Hubungan dengan penutur Inggris
Bangsa Inggris tercatat pernah menduduki Indonesia meski tidak lama. Raffles menginvasi Batavia (sekarang Jakarta) pada tahun 1811 dan beliau bertugas di sana selama lima tahun. Sebelum dipindahkan ke Singapura, dia juga bertugas di Bengkulu pada tahun 1818. Sesungguhnya pada tahun 1696 pun Inggris pernah mengirim utusan Ralph Orp ke Padang (Sumatra Barat), namun dia mendarat di Bengkulu dan menetap di sana. Di Bengkulu juga dibangun Benteng Marlborough pada tahun 1714-1719. Itu bererti sedikit banyak hubungan dengan bangsa Inggris telah terjadi lama di daerah yang dekat dengan pusat pemakaian bahasa Melayu.
Hubungan dengan penutur Jepang
Pendudukan Jepang di Indonesia yang selama tiga setengah tahun tidak meninggalkan warisan yang dapat bertahan melewati beberapa angkatan. Kata-kata serapan dari bahasa Jepang yang digunakan umumnya bukanlah hasil hubungan bahasa pada masa pendudukan, melainkan imbas kekuatan ekonomi dan teknologinya.

Perbendaharaan Kata Serapan
Di antara bahasa-bahasa di atas, ada beberapa yang tidak lagi menjadi sumber penyerapan kata baru yaitu bahasa Tamil, Parsi, Hindi, dan Portugis. Kedudukan mereka telah tergeser oleh bahasa Inggris yang penggunaannya lebih mendunia. Walaupun begitu, bukan bererti hanya bahasa Inggris yang menjadi rujukan penyerapan bahasa Indonesia pada masa yang akan datang.

Penyerapan kata dari bahasa Cina sampai sekarang masih terjadi di bidang pariboga termasuk bahasa Jepang yang agaknya juga potensial menjadi sumber penyerapan.
Di antara penutur bahasa Indonesia beranggapan bahwa bahasa Sanskerta yang sudah ’mati’ itu merupakan sesuatu yang bernilai tinggi dan klasik. Alasan itulah yang menjadi pendorong penghidupan kembali bahasa tersebut. Kata-kata Sanskerta sering diserap dari sumber yang tidak langsung, yaitu Jawa Kuna. Sistem morfologi bahasa Jawa Kuna lebih dekat kepada bahasa Melayu. Kata-kata serapan yang berasal dari bahasa Sanskerta-Jawa Kuna misalnya acara, bahtera, cakrawala, darma, gapura, jaksa, kerja, lambat, menteri, perkasa, sangsi, tatkala, dan wanita.
Bahasa Arab menjadi sumber serapan ungkapan, terutama dalam bidang agama Islam. Kata rela (senang hati) dan korban (yang menderita akibat suatu kejadian), misalnya, yang sudah disesuaikan lafalnya ke dalam bahasa Melayu pada zamannya dan yang kemudian juga mengalami pergeseran makna, masing-masing adalah kata yang seasal dengan rida (perkenan) dan kurban (persembahan kepada Tuhan). Dua kata terakhir berkaitan dengan konsep keagamaan. Ia umumnya dipelihara betul sehingga makna (kadang-kadang juga bentuknya) cenderung tidak mengalami perubahan.
Sebelum Ch. A. van Ophuijsen menerbitkan sistem ejaan untuk bahasa Melayu pada tahun 1910, cara menulis tidak menjadi pertimbangan penyesuaian kata serapan. Umumnya kata serapan disesuaikan pada lafalnya saja.
Meski kontak budaya dengan penutur bahasa-bahasa itu berkesan silih berganti, proses penyerapan itu ada kalanya pada kurun waktu yang tmpang tindih sehingga orang-orang dapat mengenali suatu kata serapan berasal dari bahasa yang mereka kenal saja, misalnya pompa dan kapten sebagai serapan dari bahasa Portugis, Belanda, atau Inggris. Kata alkohol yang sebenar asalnya dari bahasa Arab, tetapi sebagian besar orang agaknya mengenal kata itu berasal dari bahasa Belanda.
Kata serapan dari bahasa Inggris ke dalam kosa kata Indonesia umumnya terjadi pada zaman kemerdekaan Indonesia, namun ada juga kata-kata Inggris yang sudah dikenal, diserap, dan disesuaikan pelafalannya ke dalam bahasa Melayu sejak zaman Belanda yang pada saat Inggris berkoloni di Indonesia antara masa kolonialisme Belanda.. Kata-kata itu seperti kalar, sepanar, dan wesket. Juga badminton, kiper, gol, bridge.
Sesudah Indonesia merdeka, pengaruh bahasa Belanda mula surut sehingga kata-kata serapan yang sebetulnya berasal dari bahasa Belanda sumbernya tidak disadari betul. Bahkan sampai dengan sekarang yang lebih dikenal adalah bahasa Inggris.
Macam Kata Serapan

Kelompok kata serapan yang kedua berdasar pada proses bahasa asing tersebut masuk kedalam bahasa Indonesia. Terdapat empat cara penyerapan bahasa asing kedalam bahasa Indonesia, yaitu adopsi, adaptasi, terjemahan, dankreasi.

  1. Adopsi
Ketika kata asing diadopsi dalam bahasa Indonesia. Adopsi pertama, konsepnya diadopsi, tetapi tetap memakai kata bahasa Indonesia. Misalnya kata sholat(bahasa Arab) dalam bahasa Indonesia menjadi sembahyang.
Proses adopsi merupakan proses terserapnya bahasa asing kedalam bahasa Indonesia dengan mengambil keseluruhan kata. Bahasa asing yang diambil adalah kata yang mempunyai makna sama. Kata serapan dengan proses adopsi tidak mengubah lafal dan ejaan dari bahasa asing kebahasa Indonesia.
Contoh kata serapan dengan proses adopsi antara lain :

  • Supermarket (dari kata supermarket),
  • Formal (juga dari kata formal),
  • Editor (dari kata yang sama yaitu editor).
  1. Adaptasi
Kata serapan melalui proses adaptasi disesuaikan dengan lafal dan ejaan bahasa Indonesia. Makna kata serapan ini mempunyai makna yang sama dengan kata sebelumnya. Contohnya adalah maksimal (dari kata maximal), organisasi (dari kata organization), intelektual (intelectual). Dalam proses adaptasi terdapat beberapa kaidah yang digunakan, antara lain:
  • Aa → a, contohnyaoctaaf → oktaf
  • Ae → ae, contohnya aerodynamics → aerodinamika
  • Ae → e jika bervariasi dengan e, contohnya haemoglobin → hemoglobin
  • Ai → ai, contohnya trailer → trailer
  • Au → au, contohnya audiogram → audiogram
  • C → k jika di muka a, u, o, dan konsonan, contohnya cubic → kubik
  • C → s jika di muka e, i, y, contohnya central → sentral
  • Cc → k jika di muka u, o, dankonsonan, contohnya accomodation → akomodasi
  • Cc → ks jika di muka e dan i, contohnya accent → aksen
  • ea → ea , contohnya idealist → idealis
  1. Terjemahan
Proses ini terjadi apabila pemakai bahasa mengambil konsep yang terkandung dalam bahasa asing itu, kemudian kata tersebut diberi padanan dalam bahasa Indonesia.
Contoh kata serapan ini antara lain :

  • Sukucadang (dari kata spare part),
  • Ujicoba (dari kata try out),
  • Siksaan (dari kata azab).
  1. Kreasi
Cara kreasi hampir sama dengan cara terjemahan. Perbedaanya terletak pada bentuk fisik yang tidak dituntut sama. Misal pada kata asing ditulis dalam 2 kata atau lebih, maka pada kata serapan diperbolehkan jika hanya ditulis dalam satu kata saja.
Contoh kata serapan dengan proses Kreasi antara lain :

  • effective (kata serapannya menjadi berhasil guna).
  • Shuttle à Ulang alik,
  • Spare part à Suku cadang,
Cara penyerapan bahasa asing.
  1. Adopsi yaitu mengambil makna kata asing secara utuh. Contoh : counter, studio, plaza
  2. Adaptasi yaitu mengambil makna Suatu kata, lalu ejaannya disesuaikan dengan ejaannya dengan bahasa Indonesia. Contoh :
  • International menjadi internasional
  • Congress menjadi kongres
  • Actor menjadi aktor
  • System menjadi sistem
  • Energy menjadi energi
  1. Penerjemahan, yaitu mengambil konsep yang terkandung dalam bahasa asing, lalu ditentukan padanannya dalam bahasa Indonesia. Contoh :
  • Green house menjadi rumah kaca
  • Try out menjadi uji coba
  1. Kreasi, memiliki cara seperti penerjemahan tetapi kreasi tidak menuntut bentuk fisik yang sama seperti penerjamahannya. Contoh :
  • spare parts menjadi suku cadang
Tata cara penyerapan bahasa istilah asing
  • Istilah asing dipadankan dengan Bahasa Indonesia yang umum Contoh : Delete = hapus | Exit = keluar | Cancel = batal
  • Istilah asing dipadankan dengan Bahasa Indonesia yang tidak umum Scan = pindai Scanner = memindai
  • Istilah asing dipadankan dengan Bahasa serumpun yang lazim Contoh : homepage = aman
  • Istilah asing dipadankan dengan Bahasa serumpun yang tidak lazim Contoh : download = unduh | Upload = unggah
  • Istilah asing diserap ke dalam bahasa Indonesia
  1. Tanpa melalui proses penyesuaian ejaan
Contoh : monitor, internet
  1. Melalui penyesuaian ejaan
Contoh : acces menjadi akses | Computer menjadi komputer
  1. Melalui penyesuaian lafal
Contoh : design menjadi desain | Manager menjadi manajer
  1. Melalui penyesuaian ejaan dan lafal
Contoh : Management menjadi Manajemen | Architecture menjadi arsitektur
  1. Melalui penambahan vokal pada akhir kata yang hanya berupa satu suku kata, sekaligus dengan penyesuaian ejaan
Contoh : Fact = fakta | Norm=norma

Kaidah Ejaan Yang Berlaku Bagi Unsur Serapan
  1. ‘a (ain pada Arab) menjadi a Contoh : ‘asr menjadi asar
  2. aa (Belanda) menjadi a Contoh : octaaf menjadi oktaf
  3. ae jika bervariasai dengan e, menjadi 2 Contoh : haemoglobin menjadi hemoglobin
  4. C di muka a, u, o menjadi k Contoh : cubic menjadi kubik
  5. C dimuka e, i, oe menjadi s Contoh : central menjadi sentral
Sekalipun dalam ejaan yang disempurnakan huruf q dan x diterima sebagai bagian abjad bahasa Indonesia, kedua huruf tersebut dipergunakan dalam penggunaan tertentu saja, seperti dalam pembedaan nama atau istilah khusus.

Misal : aquarium menjadi akuarium – qalbu menjadi kalbu – executive menjadi eksekutif – taxi menjadi taksi


Kata serapan dalam bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia menyerap banyak kata dari bahasa lain, yang utama pernah berhubungan secara langsung dengan Nusantara, baik terhadap penjajahan (Belanda, Portugis ataupun Belanda), melalui perdagangan (Tionghoa, Sansekerta, Arab), ataupun perkembangan ilmu pengetahuan (Inggris). Misalnya kata pengut dalam bahasa Indonesia yaitu:

  1. mungkin (dari bahasa Arab mumkinun: ?)
  2. bengkel (dari bahasa Belanda winkel: pojok atau toko)
  3. tetapi (dari bahasa Sanskerta tathâpi: namun itulah)
  4. meski (dari bahasa Portugis mas que: walau)
  5. kongko (dari bahasa Hokkien kongko: bercakap)
Kata Sifat
Kata adjektiva atau sifat merupakan kelas kata yang merubah kata ganti atau kata benda, umumnya dengan membuat atau menjelaskan menajdi lebih terperinci atau spesifik. Kata ini bisa menerangkan kuantitas, urutan, kecakupan, kualitas, ataupun menekankan sebuah kata. Sebagai Contoh kata sifat : jauh, kaya, dan keras.

Kata Majemuk
Kata majemuk merupakan sebuah gabungan morfem dasar yang semuanya berstatus sebagai kata yang memiliki pola fonologis, gramatikal, serta semantis yang secata khusus menurut kaidah bahasa yang bersangkutan. Pola khusus itu cara membendakannya ialah dengan gabungan kata–gabungan mofrem atau frasa yang bukan kata majemuk, billa baju hijau adalah frasa; dalam bahasa Inggris, blackbird merupakan kata majemuk, sedangkan black bird ialah frasa.

Kata ini dibuat oleh proses pemajemukan atau komposisi yang merupakan sebuah proses morfologis, dan frasa dibuat dengan proses sinteksis. Kata mejemuk dalam bahasa Indonesia mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:


  • ketakterluasan yang berarti setiap unsur kompositum tidak dapat diimbuhkan kecuali sekaligus
  • ketaktersisipan yang berarti di antara unsur-unsur kompositum tidak dapat disisipi apa pun serta
  • ketakterbalikan yang berarti unsur kompositum tidak dapat dipertukarkan.
Contoh Kata Serapan
Sebagai pelengkap referensi tentang kata serapan, berikut disajikan beberapa contoh kata serapan:


No.Kata AsalKata SerapanBahasaAsal
1.AbadAbadArab
2.AlgozAlgojoPortugis
3.AcarAcarParsi
4.AlmanakAlmanakArab
5.AjianMantraJawaKuno
6.AngkaraMurkaJawaKuno
7.AmateurAmatirBelanda
8.AtleetAtletBelanda
9.ActorAktorInggris
10.AquariumAkuariumInggris
11.AllergyAlergiInggris
12.BallpointBolpenInggris
13.BallonBalonInggris
14.BoetiekButikBelanda
15.BalighBalighArab
16.BakiakBakiakChina
17.BancoBangkuPortugis
18.BoloBoluPortugis
19.CubaCobaJawaKuno
20.ChocoladeCoklatBelanda
21.CoinKoinInggris
22.CommunityKomunitasInggris
23.CopySalinInggris
24.ConduciveKondusifInggris
25.DataDataInggris
26.DiscountDiskonInggris
27.DirectorDirekturInggris
28.DocentDosenBelanda
29.DurakaDurhakaJawaKuno
30.DiwasaDewasaJawaKuno
31.EncangPamanBelanda
32.EgoistischEgoisBelanda
33.EditionEdisiInggris
34.EmbryoEmbrioInggris
35.EssayEsaiInggris
36.ErosionErosiInggris
37.ExportEksporInggris
38.EtiquetteEtiketBelanda
39.EnzymeEnzimInggris
40.IjsEsBelanda
41..HotelHotelBelanda
42.GaremGaramJawaKuno
43.IlmuIlmuArab
44.HalalHalalArab
45.HaramHaramArab
46.IstanaIstanaParsi
47.KadaiKedaiTamil
48.KahabarKabarArab
49.LafazhLafalArab
50.MaqalatunMakalahArab
51.RizqiRezekiArab
52.PettiPetiTamil
53.UlogamLogamTamil
54.ZakarotilSekaratArab
55.ZhalimLalimArab
Contoh kata serapan yang sering salah menerjemahkannya

Kata AsliSerapan yang tidak tepatSerapan yang tepat
activityaktifitasaktivitas
amplitudeamplitudoamplitude
analysisanalisaanalisis
automaticallyotomatisautomatis
automaticsotomatis, otomatikautomatik
cellularselulerselular
discretediskritdiskret
frequencyfrekwensifrekuensi
harmonicsharmonisaharmonik
indexindekindeks
linearlinierlinear
matrixmatrikmatriks
methodmetodametode
objectobyekobjek
objectiveobyektifobjektif
phasefasafase
practicepraktekpraktik
riskresikorisiko
standardizationstandarisasistandardisasi
subjectsubyeksubjek
subjectivesubyektifsubjektif
synthesissintesasintesis

Di bawah ini disajikan daftar kata terjemahan Bahasa Indonesia yang disarankan untuk menggantikan bahasa asing yang besesuaian.

Kata AsliTerjemahan
applicationterapan, aplikasi
approximationpendekatan
bandpass filtertapis pelewat-bidang
codesandi
compressionpemampatan
controlkendali, kontrol
databasebasisdata, basis-data
decodingpengawasandian
designperancangan
desiredyang diinginkan
devicepiranti
dischargepeluahan
effectpengaruh
encodingpenyandian
engineeringrekayasa
errorgalat
expectedterharap
filtertapis
Kata AsliTerjemahan
flagbendera, pemanji
flowchartbagan-alir
handphonetelepon selular, ponsel
hardwareperangkat-keras
high-pass filtertapis pelewat-tinggi
imagecitra
impactdampak
inputmasukan
interfaceantarmuka
intervalselang
levelaras
listingsenarai
low-pass filtertapis pelewat-rendah
meanrerata
mobilebergerak
networkjaringan
neuralsaraf, syaraf
noisederau
notchtakik
object-orientedberorientasi-objek
optical-fiberserat-optis
outputkeluaran
physicalfisis
physicsfisika
picturegambar
probabilitypeluang
processingpengolahan
rangekisaran
real-timewaktu-nyata
reliableandal, dapat diandalkan
responsetanggapan
samplingpencuplikan
saturationpenjenuhan
scanpayar, pindai
sequenceurutan
seriesruntun
servicelayanan
signalsinyal atau isyarat
softwareperangkat-lunak
soundbunyi
speechucapan, tutur
toolperangkat
transfer functionfungsi alih
transformalihragam, transformasi
unitsatuan
unvoiced soundbunyi tak-bersuara
Kata AsliTerjemahan
valvekatup
voicesuara
websitesitus
wirelessnirkabel

Demikian sekilas tentang kata serapan dalam bahasa Indonesia.
 
Pragmatik dan semantik

Kajian tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja dalam komunikasi manusia berupa bahasa telah mendapatkan perhatian dari para ilmuwan di masa lalu. Ilmu tentang hubungan antara penanda dan petanda itu disebut semiotika. Morris (1938) mengatakan bahwa dalam semiotika terdapat tiga bidang kajian, yakni sintaksis (syntax), semantik (semantics), dan pragmatik (pragmatics). Sintaksis adalah kajian tentang hubungan formal antartanda; semantik menganalisis hubungan tanda dengan objek tanda tersebut (designata); sedangkan pragmatik melihat hubungan tanda dengan orang yang menginterpretasikan tanda itu.

Pragmatics is that portion of semiotic which deals with the origin, uses and effects of signs within the behavior in which they occur; semantics deals with the signification of signs in all modes of signifying; syntactics deals with combinations of signs without regard for their specific significations or their relation to the behavior in which they occur” (Morris, 1946: 219 via Bach 1999:81).

Ketiga bidang tersebut memperlakukan dan mempelajari tanda secara berbeda-beda. Adapun dalam makalah ini, akan direpresantasikan perbedaan kajian tanda bahasa antara dua bidang, yakni semantik dan pragmatik, dari ketiga bidang tersebut.

Sekilas Semantik

Semantik (Bahasa Yunani: semantikos, memberikan tanda, penting, dari kata sema, tanda) adalah cabang linguistik yang mempelajari makna yang terkandung pada suatu bahasa, kode, atau jenis representasi lain. Kata kerjanya adalah‘semaino’ yang berarti ‘menandai’atau ‘melambangkan’. Yang dimaksud tanda atau lambang disini adalah tanda-tanda linguistik (Perancis : signé linguistique).

Menurut Ferdinand de Saussure, tanda lingustik terdiri atas komponen yang menggantikan, yang berwujud bunyi bahasa, dan komponen yang diartikan atau makna dari komopnen pertama. Kedua komponen ini adalah tanda atau lambang, sedangkan yang ditandai atau dilambangkan adaah sesuatu yang berada di luar bahasa, atau yang lazim disebut sebagai referent/acuan/hal yang ditunjuk. Jadi, semantik adalah Ilmu yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya; atau salah satu cabang linguistik yang mengkaji tentang makna bahasa (Hurford, 1984:1).

Sekilas Pragmatik

Pragmatik adalah kajian tentang hubungan antara bahasa dengan konteks ditatabahasakan atau yang dikodekan pada struktur bahasa (Pragmatics is the study of those relations between language and context that are grammaticalized, or encoded in the structure of a language) (Levinson, 1985: 9). Dengan kata lain, pragmatik adalah studi tentang penggunaan bahasa dalam konteks. Pragmatik berfokus pada bagaimana penutur atau penulis menggunakan pengetahuan mereka untuk menyatakan suatu makna (Bloomer, 2005:78).

Perbedaan konvensional

Semantik dan pragmatik adalah dua cabang utama dari studi linguistik makna. Keduanya diberi nama dalam judul buku itu dan mereka akan diperkenalkan di sini. Semantik adalah studi dari untuk arti: pengetahuan akan dikodekan dalam kosakata bahasa dan pola untuk membangun makna lebih rumit, sampai ke tingkat makna kalimat. Adapun pragmatik berkaitan dengan penggunaan alat-alat ini dalam komunikasi yang bermakna. Pragmatik adalah tentang interaksi pengetahuan semantik dengan pengetahuan kita tentang dunia, mempertimbangkan konteks yang digunakan. Secara konvensional, perbedaan antara semantik dan pragmatik dinilai berdasarkan tiga hal: (1) linguistics meaning vs. use, (2)truth-conditional vs. non-truth-conditional meaning, dan (3) context independence vs. context dependence (Bach, dalam Turner 1999:70). Berikut penjelasannya.

Linguistics meaning vs. use

Linguistics meaning atau makna linguistik (bahasa) dibedakan dengan use atau pemakaiannya. Secara sepintas, semantik dan pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang sama-sama menelaah makna-makna satuan lingual. Perbedaannya, semantik mempelajari makna linguistik atau makna bersifat internal, sedangan pragmatik mempelajari makna penutur atau makna dalam penutur dan bersifat eksternal yang berhubungan dengan konteks. Dengan kata lain, semantik mempelajari arti harfiah dari sebuah, ide sedangkan pragmatik adalah makna tersirat dari ide yang diberikan.

Bila diamati lebih jauh, makna yang menjadi kajian dalam semantik adalah makna linguistik (linguistics meaning) atau makna semantik (semantic sense), sedangkan yang dikaji oleh pragmatik adalah maksud penutur (speaker meaning atau speaker sense) (verhaar, 1977; Parker, 1986:32). Semantik adalah telaah makna kalimat (sentence), sedangkan pragmatik adalah telaah makna tuturan (utterance). Semantik adalah ilmu linguistik yang mempelajari makna yang terkandung di dalam morfem, kata, frasa, dan kalimat yang bebas konteks. Makna linguistik di sini adalah makna yang terdapat di dalam bahasa, yang distrukturkan di dalam dan oleh sistem bahasa, yang dipahami lebih kurang sama oleh para penutur dalam kegiatan berkomunikasi secara umum dan wajar (Subroto, 1999:111). Dalam pragmatik maksud penutur (speaker meaning atau speaker sense) yaitu bahwa sense berhubungan erat dengan suatu system yang kompleks dari elemen linguistik, yaitu kata-kata. Sense menitikberatkan pada makna kalimat dan hubungannya dengan makna kata (Palmer, 1981:9). Dapat dikatakan bahwa maksud penutur di sini tidak terlepas dari konteks kalimat, apa yang dimaksud penutur belum tentu sama dengan yang dimaksud oleh lawan tutur.

Dalam pragmatik jika dalam pemakaiannya terjadi kesalahan pemakaian tatabahasa yang disengaja oleh penutur, maka dikatakan bahwa terdapat maksim(-maksim) tindak tutur yang dilanggar. Sementara itu, semantik tidak menganalisis bahasa dari sisi pemakaiannya sehingga jika terjadi kesalahan penutur yang disengaja, semantik tidak dapat menentukan meaning sesungguhnya dari penutur tersebut karena hanya didasarkan atas meaning secara umum.

Contoh:

Dalam kalimat berikut, B menjawab pertanyaan A dengan setidaknya tiga kemungkinan cara untuk menyatakan ”belum” atau “tidak ingin makan”.

A : siang ini kamu sudah makan?

B(1) : saya belum makan. Tapi saya tidak ingin makan.

B (2) : saya sudah makan barusan. (berbohong)

B(2) : saya masih kenyang, kok.

Untuk mengatakan maksudnya, B setidaknya dapat mengutarakan dengan tiga tuturan: B(1) secara langsung menyatakan maksud dan alasannya; B(2) dengan berbohong, secara tidak langsung ia menyatakan tidak ingin makan; B(3) demi alasan kesopanan, dan secara tidak langsung juga, mengimplikasikan ia tidak ingin makan. Untuk menjawab pertanyaan A, meskipun juga tidak dapat menjelaskan dengan sangat tepat, semantik hanya dapat menganalisis meaning dengan jelas pada kalimat B(1) karena kalimat tersebut secara langsung menjawab pertanyaan A, namun semantik tidak dapat menjelaskan secara tepat meaning dari B(2) dan B(3) karena B menjawabnya secara tidak langsung sehingga memerlukan pemahaman terhadap situasi di sekitarnya.

Truth-conditional vs. non-truth-conditional meaning

Cruse (2006:136) memuat perbedaan-perbedaan antara semantik dan pragmatik. Semantik berhubungan dengan aspek-aspek truth conditional makna, yaitu jika sebuah pernyataan harus dapat diverifikasi secara empiris atau harus bersifat analitis, misalnya ‘kucing menyapu halaman’ adalah yang tidak berterima secara semantik karena tidak dapat diverifikasi secara empiris dan bukan termasuk pernyataan logika.

Blackmore mengutarakan tentang truth conditional semantics, yaitu apabila kita melihat suatu frasa/kalimat/satuan bahasa yang dapat diverivikasi kebenarannya, satuan bahasa berhubungan dengan aspek-aspek makna yang bebas konteks, misalnya kata “I’m sorry” sulit untuk menemukan verifikasi apakah orang yang menyatakan frasa tersebut benar-benar minta maaf atau tidak.

Semantik berhubungan dengan aspek-aspek makna konvensional, yakni bahwa terdapat hubungan yang tetap antara makna dan bentuk serta semantik berhubungan dengan deskripsi makna sehingga dikatakan bahwa semantik mengambil pendekatan formal dengan memfokuskan bentuk fonem, morfem, kata, frasa, klausa dan kalimat. Sementara itu, pragmatik berhubungan dengan aspek-aspek non-truth conditional makna, berhubungan dengan aspek-aspek yang memperhitungkan konteks, berhubungan dengan aspek-aspek makna yang tidak looked up, tetapi worked out pada peristiwa penggunaan tertentu dan pragmatik berhubungan dengan penggunaan-penggunaan makna tersebut, oleh karena itu pragmatik dikatakan mengambil pendekatan fungsional.

Context independence vs. context dependence

Yang dimaksud dengan makna secara internal adalah makna yang bebas konteks (independent context); maksudnya, makna tersebut dapat diartikan tanpa adanya suatu konteks atau makna yang terdapat dalam kamus, sedangkan makna yang dikaji secara eksternal, yaitu makna yang terikat konteks (context dependent) maksudnya satuan-satuan bahasa dalam suatu tuturan tersebut dapat dijelaskan apabila ada suatu konteks, yaitu konteks siapa yang berbicara, kepada siapa orang itu berbicara, bagaimana keadaan si pembicara, kapan, dimana, dan apa tujuanya sehingga maksud si pembicara dapat dimengerti oleh orang-orang di sekitarnya. Tanpa memahami konteks, lawan tutur bahasa akan kesulitan memahami maksud penutur. Konteks di sini meliputi tuturan sebelumnya, penutur dalam peristiwa tutur, hubungan antar penutur, pengetahuan, tujuan, setting social dan fisik peristiwa tutur (Cruse, 2006:136).

Contoh :

1. Prestasi kerjanya yang bagus membuat ia dapat diangkat untuk masa jabatan yang kedua

2. Presiden itu sedang menuruni tangga pesawat

Dalam contoh di atas kata bagus dan presiden mempunyai makna semantik atau makna secara internal, sedangkan secara eksternal, bila dilihat dari penggunaanya kata bagus tidak selalu bermakna ‘baik’ atau ‘tidak buruk’. Begitu juga presiden tidak selalu bermakna ‘kepala negara’ seperti dalam contoh:

3. Ayah : Bagaimana nilai ujianmu?

Budi : Iya, hanya dapat 50, pak.

Ayah : Bagus, besok jangan belajar.

4. Awas, presidennya datang!

Kata bagus dalam (3) tidak bermakna ‘baik’ atau tidak buruk’, tetapi sebaliknya. Sementara itu, bila kalimat (4) digunakan untuk menyindir, kata presiden tidak bermakna ‘kepala negara’, tetapi bermakna seseorang yang secara ironis pantas mendapatkan sebutan itu. Sehubungan dengan keterikatan itu tidak hanya bagus dalam dialog (3) bermakna ‘buruk’, melainkan besok jangan belajar dan nonton terus saja juga bermakna ‘besok rajin-rajinlah belajar’ dan ‘hentikan hobi menontonmu’.

Berlawanan dengan banyak formulasi yang telah muncul sejak awal perumusan Morris

pada tahun 1938, perbedaan semantik-pragmatik tidak

tidak sesuai antara satu perumusan dengan perumusan lainnya(Bach dalam Turner, 1999: 73).

Menurut Bach, perumusan perbedaan semantik-pragmatik dapat mengambil perbedaan dengan mengacu pada fakta-fakta bahwa:

• hanya isi literal yang relevan secara semantis

• beberapa ekspresi sensitif dalam hal konteks terhadap makna

• konteks yang dekat cukup relevan dengan semantik, namun untuk konteks luas lebih dekat ke pragmatik

• non-truth-conditional (kebenaran-tak-bersyarat) menggunakan informasi terkait agar bahasa dapat dikodekan

• aturan dalam menggunakan ekspresi tidak menentukan penggunaannya secara aktual

• kalimat yang diucapkan sebenarnya adalah fakta pragmatis

Sejumlah perbedaan istilah

Untuk menggambarkan perbedaan semantik-pragmatik adalah dengan membandingkan sejumlah istilah pada semantik dan pragmatik:

• type vs. token

• sentence vs. utterance

• meaning vs. use

• context-invariant vs. context-sensitive meaning

• linguistic vs. speaker’s meaning

• literal vs. nonliteral use

• saying vs. implying

• content vs. force

Perbandingan “meaning” antara studi pragmatik dan semantik

Dalam komunikasi, satu maksud atau satu fungsi dapat diungkapkan dengan berbagai bentuk/struktur. Untuk maksud “menyuruh” orang lain, penutur dapat mengungkapkannya dengan kalimat imperatif, kalimat deklaratif, atau bahkan dengan kalimat interogatif. Dengan demikian, pragmatik lebih cenderung ke fungsionalisme daripada ke formalisme. Pragmatik berbeda dengan semantik dalam hal pragmatik mengkaji maksud ujaran dengan satuan analisisnya berupa tindak tutur (speech act), sedangkan semantik menelaah makna satuan lingual (kata atau kalimat) dengan satuan analisisnya berupa arti atau makna.

Leech, (1983:8) mempermasalahkan perbedaan antara ‘bahasa’ (langue) dengan ‘penggunaan bahasa’ (parole) yang berpusat pada perbedaan antara semantik dan pragmatik. Langue adalah keseluruhan sistem tanda yang berfungsi sebagai alat komunikasi verbal antara para anggota suatu masyarakat bahasa, sifatnya abstrak, sedangkan yang dimaksud dengan parole adalah pemakaian atau realisasi langue oleh masing-masing anggota masyarakat bahasa, sifatnya konkret, yaitu realitas fisis bahasa yang berbeda dari orang yang satu dengan orang yang lain. Pragmatik dan semantik memiliki kesamaan objek bahasan, yaitu berhubungan dengan makna. Kedua bidang kajian ini berurusan dengan makna, tetapi perbedaan di antara mereka terletak pada perbedaan penggunaan verba to mean berarti :

1. What does X mean? (Apa artinya X)

2. What did you mean by X (Apa maksudmu dengan X)

Dengan demikian dalam pragmatik makna diberi definisi dalam hubungannya dengan penutur atau pemakai bahasa, sedangkan dalam semantik, makna didefinisikan semata-mata sebagai ciri-ciri ungkapan-ungkapan dalam suatu bahasa tertentu, terpisah dari situasi, penutur dan petuturnya.

Semantik memperlakukan makna sebagai suatu hubungan yang melibatkan dua sisi (dyadic relation) atau hubungan dua arah, yaitu antara bentuk dan makna, sedangkan pragmatik memperlakukan makna sebagai suatu hubungan yang melibatkan tiga sisi (triadic relation) atau hubungan tiga arah, yaitu bentuk, makna, dan konteks. Dengan demikian, dalam semantik makna didefinisikan semata-mata sebagai ciri-ciri ungkapan-ungkapan dalam suatu bahasa tertentu, terpisah dari situasi, penutur dan petuturnya, sedangkan makna dalam pragmatik diberi definisi dalam hubungannya dengan penutur atau pemakai bahasa.

Hubungan antara bentuk dan makna dalam pragmatik juga dikaji oleh Yule (2001:5). Ia mendefinisikan pragmatik sebagai studi tentang hubungan antara bentuk-bentuk linguistik dan manusia si pemakai bahasa bentuk-bentuk itu. Definisi ini dipertentangkan dengan definisi semantik, yaitu sebagai studi tentang hubungan antara bentuk-bentuk linguistik dengan entitas di dunia bagaimana hubungan kata dengan sesuatu secara harfiah. Lebih lanjut Yule menegaskan bahwa analisis semantik berusaha membangun hubungan antara deskripsi verbal dan pernyataan-pernyataan hubungan di dunia secara akurat atau tidak, tanpa menghiraukan siapa yang menghasilkan deskripsi tersebut.

Frawley memberikan batasan makna yang dimaksud dalam semantik dan pragmatik. Menurutnya “Context and use what is otherwise known as pragmatics determine meaning. Linguistics semantics is therefore secondary to an examination of context and uses”. Kemudian Finegan menyebutkan bahwa “Sentence semantics is not concerned with utterance meaning. Utterances are the subject of inverstigation of another branch of linguistics called pragmatics”, sedangkan Parker membedakan makna dalam semantik sebagai referensi linguistik (linguistic reference) dan makna dalam pragmatik sebagai makna acuan penutur (speaker reference), (Nadar, 2009:3).

Perbedaan lainnya terlihat pada sisi konvensionalitas. Makna semantik seringkali dikatakan bersifat konvensional, sedangkan pragmatik bersifat non-konvensional. Dikatakan konvensional karena diatur oleh tata bahasa atau menggunakan kaidah-kaidah kebahasaan. Dapat dikatakan bahwa sebuah ujaran menghasilkan implikatur percakapan tertentu dalam suatu konteks tertentu bukanlah bagian dari konvensi manapun. Justru implikatur ini hanya dapat diperoleh dengan mengambil penalaran dari hubungan antara makna konvensional sebuah ujaran dengan konteksnya (Cummings, 1999:4).

Untuk melihat pentingnya pragmatik dalam linguistik, Leech (dalam Eelen 2001:6) menyatakan perbedaan antara semantik dan pragmatik: semantik mengkaji makna (sense) kalimat yang bersifat abstrak dan logis; sedangkan pragmatik mengkaji hubungan antara makna ujaran dan daya (force) pragmatiknya. Meskipun makna dan daya adalah dua hal yang berbeda, keduanya tidak dapat benar-benar dipisahkan sebab daya mencakup juga makna. Dengan kata lain semantik mengkaji makna ujaran yang dituturkan, sedangkan pragmatik mengkaji makna ujaran yang terkomunikasikan atau dikomunikasikan. Semantik terikat pada kaidah (rule-governed), sedangkan pragmatik terikat pada prinsip (principle-governed). Kaidah berbeda dengan prinsip berdasarkan sifatnya. Kaidah bersifat deskriptif, absolut atau bersifat mutlak, dan memiliki batasan yang jelas dengan kaidah lainnya, sedangkan prinsip bersifat normatif atau dapat diaplikasikan secara relatif, dapat bertentangan dengan prinsip lain, dan memiliki batasan yang bersinggungan dengan prinsip lain.

Menurut Katz (1971), semantik bersifat ideasional. Maksudnya, makna yang ditangkap masih bersifat individu dan masih berupa ide karena belum digunakan dalam berkomunikasi. Sementara itu, pragmatik bersifat interpersonal. Maksudnya, makna yang dikaji dapat dipahami atau ditafsirkan oleh orang banyak sehingga tidak lagi bersifat individu karena sudah menggunakan konteks. Selain itu representasi (bentuk logika) semantik suatu kalimat berbeda dengan interpretasi pragmatiknya.

Contoh :

“Kawan habis kuliah kita minum-minum, yuk…”

Bila dikaji dari semantik, kata ‘minum-minum’ berarti melakukan kegiatan ‘minum air’ berulang-ulang, tidak cukup sekali saja, sedangkan dari segi pragmatik, kata ‘minum-minum’ berarti meminum-minuman keras (alkohol).

Selain itu, perbedaan kajian makna dalam semantik dengan pragmatik juga terlihat pada segi jangkauan maknanya. Pragmatik mengkaji makna di luar jangkauan semantik, atau lebih jauh daripada yang dapat dijangkau oleh semantik.

Contoh :

Di sebuah ruang kelas, Dewi duduk di depan kursi belakang. Lalu, ia berkata kepada gurunya, “Pak, maaf saya mau ke belakang”

Kata yang bergaris bawah itu ’belakang’ secara semantik berarti lawan dari depan, berarti kalau dikaji secara semantik, Dewi hendak ke belakang. Akan tetapi, jika dilihat dari konteksnya, Dewi sudah duduk di deretan paling belakang. Tentu saja tidak mungkin makna ‘belakang’ yang diartikan secara semantik yang dimaksud Dewi. Dalam pragmatik dilibatkan dengan konteks. Konteksnya adalah keadaan Dewi yang sudah duduk di belakang sehingga tidak mungkin ia minta izin untuk ke belakang lagi. Biasanya, orang minta izin ke belakang untuk keperluan sesuatu, seperti pergi ke toilet atau tempat lainya. Jadi, makna kata ‘belakang’ dalam kalimat di atas tidak dapat dijelaskan secara semantik, hanya bisa dijelaskan secara pragmatik. Maka dari itulah dinyatakan bahwa kajian makna pragmatik berada di luar jangkauan semantik.

Perbedaan semantik dan pragmatik menurut Levinson (1987: 1- 53):

Pragmatik

1. Kajian mengenai hubungan antara tanda (lambang) dengan penafsirannya

2. Kajian mengenai penggunaan bahasa

3. Kajian mengenai hubungan antara bahasa dengan konteks yang menjadi dasar dari penjelasan tentang pemahaman bahasa

Semantik

1. Kajian mengenai hubungan antara tanda (lambang) dengan objek yang diacu oleh tanda tersebut

2. Kajian mengenai makna

3. Kajian mengenai suatu makna tanpa dihubungkan dengan konteksnya

KESIMPULAN

a. Semantik mempelajari makna, yaitu makna kata dan makna kalimat, sedangkan pragmatik mempelajari maksud ujaran, yaitu untuk apa ujaran itu dilakukan.

b. Kalau semantik bertanya “Apa makna X?” maka pragmatik bertanya “Apa yang Anda maksudkan dengan X?”

c. Makna di dalam semantik ditentukan oleh koteks, sedangkan makna di dalam pragmatik ditentukan oleh konteks, yakni siapa yang berbicara, kepada siapa, di mana, bilamana, bagaimana, dan apa fungsi ujaran itu. Berkaitan dengan perbedaan (c) ini, Kaswanti Purwo (1990: 16) merumuskan secara singkat “semantik bersifat bebas konteks (context independent), sedangkan pragmatik bersifat terikat konteks (context dependent)”.

Sumber: tugas kuliah kelompok Erwita tahun 2010 untuk Linguistic
 
Bahasa dalam Puisi; Permainan dan Euforia yang Paradoks


Jika bahasa adalah alat berkomunikasi, maka tujuan dari bahasa adalah menyampaikan pesan. Pesan yang memiliki fungsi terhadap situasi (konteks) penuturnya. Bahasa dengan demikian lebih dikenali dan digunakan sebagai medium atau alat dalam menjalankan fungsi (ekspresi) komunikasi manusia. Melalui sifat yang komunikatif tersebut, bahasa menunjukkan fungsinya secara lugas, efektif, bebas, dan kadang semaunya dalam mengakomodir ekspresi-ekspresi komunikasi manusia.

Eksistensi bahasa dalam karya sastra dikategorikan sebagai sistem tanda tingkat kedua atau cenderung memiliki karakteristik yang berbeda dari bahasa dalam tingkat pertama, yaitu bahasa sebagai fungsi komunikasinya. Fenonema tersebut mengindikasikan bahwa bahasa dalam (teks) sastra tidak sebatas fungsi komunikasi, melainkan sebagai pemaknaan yang hadir di dalam diri (strukturnya) dan juga mengacu pada konteks (di luar strukturnya). Pemaknaan tersebut mengarah kepada model harfiah atau denotasi (sebenarnya) dan model kias atau konotasi (simbolik). Makna dalam teks (bahasa) sastra menjadi signifikan ketika ia bertemu dengan pembaca dan memperoleh interpretasi untuk diterima sebagai fakta estetik.

Sebagaimana halnya bahasa dalam teks puisi yang cenderung terikat pada konvensi kiasan, Riffatterre menjelaskan adanya tiga proses dalam ketaklangsungan ekspresi puisi, yaitu displacing of meaning (penggantian arti), distorting of meaning(penyimpangan arti), dan creating of meaning(penciptaan arti). Tiga proses tersebut menunjukkan bahwa reproduksi kata (bahasa) merupakan bahan baku bagi hadirnya “arti” dalam teks puisi. Dalam dimensi strukturalisme, arti di sini mengarah kepada satu metafor atau model yang secara konvensional terpusat dan diterima melalui kode, tanda, dan simbol yang mampu ditafsirkan oleh pembaca (pemakai bahasa).

Dalam khazanah perkembangan karya sastra Indonesia modern, semangat struktural ini masih menjadi satu model kanonik yang efektif dalam merumuskan estetika teks puisi (kreatif) dan juga sebagai titik pijak dalam melakukan kajian akademik (telaah/kritik).

Seiring perkembangan wacana mutakhir (ilmu pengetahuan dan filsafat) yang bergerak dari struktural ke pascastruktural, hal tersebut juga memberikan pengaruh bagi perkembangan dinamika estetik (sastrawan) dan metode telaah serta kritik sastra di Indonesia, khususnya terhadap karya puisi. Usaha untuk menawarkan formulasi estetis dalam berkarya pun dimulai, tidak terkecuali juga dalam ranah kritik yang memaparkan model-model kajian dengan perspektif keilmuan dan teori-teori mutakhir. Termasuk di dalamnya model telaah pascastruktural yang memberikan berbagai cara pandang dan kemungkinan baru yang melampaui struktural.

Karya-karya puisi Indonesia mutakhir juga mengalami transformasi dan pergerakan yang masif, baik secara struktur maupun tema (ide) yang mencoba menggali kemungkinan baru dalam menguraikan fenomena-fenomena estetik sebagai eksperimen, perayaan, hingga euforia. Seiring terbukanya kemungkinan yang lebih luas, konsekuensi yang terjadi adalah formulasi-formulasi baru terhadap struktur dan ide (teknik, gaya, bahasa, dan isu/wacana). Kemungkinan tersebut harus bisa melampaui keterbatasan bahkan konvensi, sehingga menjadi kreatif dan adaptif bagi kemungkinan estetik penciptaan karya sastra.

Kondisi di atas secara konseptual menunjukkan adanya dinamika sifat dan ciri (tema dan bentuk) yang diusung dalam model-model karya sastra mutakhir khususnya puisi. Tidak kalah penting, perkembangan dunia digital dan informasi yang masif telah memberikan sumbangsih bagi hadirnya percikan-percikan gagasan secara simultan dalam proses kreatif pengarang Indonesia. Hal tersebut menunjukkan bahwa semua “kemungkinan” telah terbuka dan menjadi tidak terbatas, cair dan fleksibel. Dunia yang jungkir balik dirayakan, sebagai sebuah realitas estetik. Kebudayaan digital dan informasi yang cepat telah menyumbang gagasan-gagasan menjadi nyata, viral, dan masif. Demikian halnya bahasa, menjadi lebih kompleks dan dinamis, pemaknaan menjadi luas, dan seterusnya.

Gagasan-gagasan yang secara simultan dirayakan dalam berbagai model, telah memengaruhi estetika kebudayaan dan seni, termasuk di dalamnya gagasan dalam puisi. Sebagai karya yang bermediumkan bahasa, bahasa puisi sudah bukan lagi suatu realitas struktur yang otonom, melainkan sudah menjelma sebagai suatu medium yang relatif tidak stabil, dinamis, dialektik, dan kontekstual. Hal ini menunjukkan adanya satu perkembangan gagasan yang secara masif bergerak dari singular ke plural. Bahasa bisa jadi menjadi medium untuk memediasi “ruang” lain dalam karya sastra. Mengacu kepada sesuatu yang hadir di luar dirinya, sebagai ekspresi yang terus-menerus berusaha untuk melampaui yang sudah ada. Bahasa dengan demikian mengalami transformasi sebagai suatu realitas yang tidak tertahankan. Mengutip pernyataan Teeuw, ia bergerak melalui tegangan antara invensi dan konvensi. Bahasa puisi pun demikian, ia bermain-main dengan dirinya untuk menciptakan keseriusan makna dan bahkan memaknai keseriusan sebagai permainan belaka. Pada situasi inilah bahasa puisi menjadi sangat relatif.

Bahasa dalam konteks pascastruktural bahkan pascamodern dilihat bukan sekadar bersifat denotatif. Bahasa tidak hanya penting dengan fungsi logis/epistemologis belaka. Bahasa menjadi fokus atau titik pusat yang mengalami transformasi dan pergeseran dari yang terpusat (sentral/dominan) menjadi tersebar (pinggiran/relatif). Jika bahasa dalam puisi di era struktural terpusat pada metafora (tanda sebagai media bagi penanda lain untuk mencapai makna) maka di era pascastruktural bahasa dalam teks puisi mencoba bergeser ke metonimi (tanda sebagai media bagi dirinya sendiri). Permainan tanda bahasa yang berpusat pada metafora seolah menjadi konvensi yang terus-menerus dieksplorasi oleh penyair. Sebagaimana ditekankan dalam gagasan dekonstruksi bahwa metafora sebenarnya “tidak berdasar”, bahasa cenderung mengingkari sifat ilusif dan arbitrernya persis pada titik di mana bahasa menjadi sarana paling meyakinkan. Demikian halnya dalam karya puisi, bahasa yang menggunakan metafora sebagai bagian dari ketaklangsungan ekspresi menjadi sama ilusifnya.

Ilusif dalam konteks puisi bisa dipahami sebagai metode untuk menjelaskan kemungkinan tawaran estetika yang diusung dalam karya-karya puisi mutakhir. Apabila kondisi tersebut masih mengacu pada model metafora sebagai pusat, maka bisa disimpulkan estetika dalam karya puisi tersebut cenderung memiliki karakter struktural (epistemologis). Sebaliknya, jika karya puisi tersebut tidak hanya terbatas pada metafora tetapi juga berpindah ke sifat metonimi, kemungkinan besar hal tersebut menunjukkan adanya perubahan karakter estetik pascastruktural (ontologis). Pergulatan diri terhadap tanda dan ekspresi bahasa inilah yang secara bertahap menjadi dasar perkembangan dan perubahan estetika puisi dari periode ke periode.

Fenomena tersebut tampaknya diusung oleh Hasta Indriyana dalam buku kumpulan puisi terbarunya Belajar Lucu dengan Serius, Gramedia, 2017. Bahasa puisi menjadi semacam medium untuk menciptakan kebaruan makna dan estetika dengan teknik bermain-main. Sebagai penyair, Hasta Indriyana menuntun pembaca kepada satu kenyataan bahwa penguasaan bahasa penting, sebab bahasa adalah pusat dari segala ekspresi komunikasi. Ia serius namun sekaligus bermain-main (lucu) dalam memperlakukan bahasa sebagai struktur teks (fisik) maupun sebagai tema (batin). Melalui bahasa, puisi adalah semesta kemungkinan yang kompleks. Bahasa dalam puisi adalah dualitas, relasi antara tubuh dan jiwa. Jika dikaitkan pada dimensi pascatruktural, bahasa bersifat licin dan ambigu, yang tidak memiliki makna yang stabil.

Berdasar gagasan tersebut, bahasa terus-menerus menghadirkan realitas di satu sisi dan di sisi yang lain menegasikannya sebagai satu fenomena yang subtil bahkan ganjil. Barangkali konsep tentang metafora dan pusat dalam bahasa mulai dieksplorasi Hasta Indriyana sebagai model permainan estetikanya. Ia menggunakan bahasa dalam dua klasifikasi, yaitu “belajar lucu” dan “dengan serius”. Substansi “lucu” menekankan pada teknik permainan bahasa yang menghasilkan impresi pembaca secara kontemplatif dari suatu peristiwa. Peristiwa kontemplatif tersebut sebenarnya sangat serius dan mendalam, namun dikemas dengan analogi dan asosiasi, kedekatan serta kecenderungan sifatnya. Sebagai misal puisi pembuka berjudul “Penjual Jam” berikut.

Di toko besar penjual jam

“Apakah toko ini menjual waktu?”
Pemilik toko diam

“Apakah toko menjual baterai abadi?”
Pemilik toko diam

“Apakah tik tok semua jam seperti detak nadi?”
Pemilik toko diam

“Apakah semua jarum di sini seruncing maut?”
Pemilik toko diam

“Apakah toko ini sudah setua waktu?”
Pemilik toko diam

“Apakah Anda bisa memperbaiki waktu saya
Jika kelak rusak?”
Toko seluas ruang itu senyap
Tak mau menjawab

Cimahi, 2016

Puisi tersebut menjelaskan bahwa bahasa adalah medium dalam mengekspresikan realitas dan gagasan tentang waktu. Waktu direpresentasikan sebagai bagian yang tidak terelakkan dalam hidup manusia. Konsep waktu yang absolut dan mutlak direpresentasikan melalui teknik bermain-main. Permainan bahasa yang mengarah pada model asosiasi, mencari analoginya sebagai bentuk perbandingan yang dekat serta linier dengan momen puitik yang dimaksudkan penyair. Bahasa dalam situasi teks puisi tersebut menunjukkan bahwa ia hadir untuk mengerucutkan suasana. Memiliki relasi dan koherensi yang padu, yaitu antara toko-waktu, toko-baterai abadi, tik tok-detak nadi, jarum-seruncing maut, tua-waktu, dan waktu saya-kelak rusak. Relasi tersebut mengarah pada pemaknaan tentang esensi waktu di toko (penjual) jam. Waktu dimaknai dalam relasi bahasa yang terseleksi berdasarkan kedekatan sifat dan konsepnya. Hal tersebut dimainkan sebagai teknik untuk menghasilkan komposisi yang impresif agar “kesegaran” bahasa puisi tercapai.
Teknik tersebut menunjukkan bahwa keseriusan berbahasa yang dikelola dengan tepat dan efektif akan menciptakan situasi puitik dari permainan kata yang diasosiasikan sebagai “lucu”. Tentu saja, bukan konsep lucu dalam arti harfiah, yaitu menggelikan hati. Lucu dalam konteks estetik ini dipahami oleh Hasta Indriyana sebagai esensi dan ekspresi untuk mengarahkan ekstensi bahasa secara ontologis. Pilihan tersebut barangkali memiliki kecenderungan sebagai kamuflase. Ada kesadaran substansial yang melandasi estetika penyair dalam membaca wacana dan perkembangan puisi mutakhir. Bahasa puisi yang awalnya sakral ditransformasi menjadi profan, serius menjadi lucu. Serius dan lucu bagi Hasta Indriyana diibaratkan sebagai dualitas yang berelasi, sebagai oposisi yang membentuk harmoni. Dari gagasan menuju ke bentuk, dari bentuk kembali ke gagasan, dan keduanya saling mengisi, saling melengkapi. Bahasa yang lugas dan kocak menjadi metafora yang tidak sepenuhnya sederhana. Jika hendak disimpulkan, ia memilki kompleksitas abstrak sekaligus konkret, longgar sekaligus ketat, plural sekaligus singular, dan seterusnya.

Konsep senada, bisa ditemukan dalam judul puisi, seperti “Di Toko Peti”, “Di Mall”, “Fried Chicken”, “Asu Cinta Padamu”, “Gerobak Afdruk”, “Tukang Edit Bahasa”, “Teman-Teman Maaf”, “Kopi”, “Selfie”, “Lebay”, “Gokil”, “Tubuh Bahasa”, “Kepo”, “Cemen”, “Rempong”, dan “Jadul”.

Sifat yang menggejala dalam pengalaman metaforis tersebut bisa ditemukan melalui dimensi narasi-narasi kecil, parsial, lokal, sehingga menunjukkan sifat yang plural dan kontekstual dalam diri penyair. Jika dikaitkan dalam dimensi pascamodern, sifat tersebut mengarah pada model pastiche, yaitu parodi yang kosong, netral, dan tanpa norma. Tidak ada lagi realitas yang representatif (parodi yang ditiru). Pastiche meniru imajinasi kita sendiri (subjektif), khususnya dalam imajinasi dan permainan bahasa. Sebagai contoh, puisi dengan judul “Gokil” berikut.
GOKIL


Diam-diam ia mangkir ketika
Seorang ahli bahasa mengajaknya
Berumah di halaman 456. Rumah
Yang bukan kampung halamannya
Rumah baik dan benar yang semua
Penghuninya waras, lurus, baku
Dan kaku

Gokil kawannya jancuk yang rumahnya
Di Jawa Timur. Gokil temannya asu
Di Jogja. Dan ia punya kembaran
Namanya edan, punya sepupu
Frasa luar biasa yang sering disebut oleh
Thukul Arwana. Gokil dilahirkan di
Jakarte, tempat elu dan gue
Dibesarkan

(“Gokil”, hlm 45-46, dalam Belajar Lucu dengan Serius)

Puisi di atas secara sekilas menunjukkan dimensi sifat pascamodern yang menjadi semangat estetiknya. Bahasa yang semula terpusat sebagai fungsi komunikasi (metafora) “dilampaui” oleh penyair. Ia justru mengusung realitas empirik dari bahasa, yaitu relasi hierarkis antara bahasa baku dan bahasa gaul. Representasi tersebut tentu saja dipengaruhi konteks zaman di mana penyair menemukan fenonema bahwa bahasa kamus yang waras, lurus, baku, dan kaku adalah sebuah totalitas konstruktif (rasional/modern). Sedangkan pada wilayah sebaliknya, bahasa gaul justru menjadi realitas empirik yang langsung bersentuhan dalam interaksi keseharian dan konteks individual, kawan jancuk, temannya asu, kembarannya edan, dan sepupu frasa luar biasa (irasional/pascamodern). Bahasa di dunia digital informasi ini sudah “menubuh” dan mengejawantah sebagai bagian komunikasi dalam puisi. Apabila di era modern, konsep metafora adalah pusat (epistemologis) dalam estetika puisi, maka di era pascamodern/pascatruktural bahasa cenderung berpusat pada metonimi sebagai medium estetiknya sekaligus juga bolak-balik di antara kedua poros tersebut. Kondisi tersebut memaparkan realitas bahasa yang bergerak melalui kecenderungan sifat kedalaman menuju permukaan.

Model pastiche, dalam kasus puisi di atas bisa dipahami sebagai gejala dalam mendekonstruksi eksistensi bahasa dari fungsi jasmaniahnya (oralitas/komunikatif) menjadi wilayah yang distrukturkan dan termediasi ke dalam yang rohaniah (konseptual/regulatif). Konsep tersebut menunjukkan adanya “kuasa” atau konstruksi yang ideal dalam memperlakukan bahasa secara sistemik, yaitu melalui kaidah pembakuan dengan tujuan-tujuan konvensional yang terkontrol, terukur, dan resmi. Puitika pascamodern menawarkan dimensi alternatif, yaitu dengan mengaburkan batas-batas antara yang baku dengan yang tidak baku, adiluhung dengan populer, dan sebagainya.

Di tangan penyair, bahasa menjelma medium (piranti) untuk menuju “kesegaran” pemaknaan. Estetika inilah yang secara struktural dimediasi dalam gaya kepenulisan dalam keseluruhan buku Belajar Lucu dengan Serius. Penyair menguasai bahasa, mengonstruksinya melalui metode dan teknik berpuisi seperti paradoks, perbandingan-pertentangan, analogi, alusi, personifikasi, metafora, dan sebagainya. Jika secara tekstual mengikuti perkembangan kepenyairan Hasta Indriyana, model dan teknik tersebut memiliki korelasi dengan buku Seni Menulis Puisi terbitan Gambang, 2014 yang pernah ditulisnya. Jika kondisi sebagaimana yang dimaksudkan tersebut dibaca secara pascamodern, maka bisa disimpulkan bahwa permainan bahasa yang terjadi dalam puisi “Gokil” di atas menunjukkan adanya pergeseran sifat dari isi ke bentuk atau gaya dan sebaliknya (bolak-balik), transformasi realitas menjadi citra, pastiche, dan juga alegori. Secara verbal model dan teknik tersebut mengindikasikan semangat pascamodern/pascastruktural melihat peran bahasa sebagai elemen utama yang membedakan cara pandang terhadap realitas.

Kemunculan pascamodernisme berawal dari reaksi menentang institusionalisasi modern di museum, universitas, dan gedung konser, serta kanonisasi ragam arsitektur tertentu. Hal ini kemudian memicu adanya upaya untuk membuat ruang baru dengan mengabaikan nilai-nilai modernisme. Dalam konteks sastra, nilai-nilai tidak lagi dikenali termasuk juga kompleksitas dan ambiguitas bahasa, ironi, dan semesta yang konkret, serta konstruksi sistem simbolik yang terpadu. Fenomena ini menjadi salah satu penanda bahwa kesastraan Indonesia mutakhir sudah mengalami perkembangan estetik, khususnya karya-karya puisi dengan kecenderungan gejala pascamodernisme.

Makna yang Belum Beranjak dari Epistemologis


Secara keseluruhan, buku kumpulan puisi Belajar Lucu dengan Serius strukturnya dipilah menjadi dua bagian, yaitu bagian “Belajar Lucu” dan bagian “Dengan Serius”. Pemilahan tersebut jika dicermati mengindikasikan suatu alasan, baik konseptual maupun tekstual. Bagian “Belajar Lucu” secara konseptual memfokuskan pada gejala-gejala kekinian (fenonema bahasa, gaya hidup, realitas-realitas dalam parodi, dan keseharian). Secara tekstual, keseluruhan puisi pada bagian ini mengindikasikan kecenderungan gaya dan rentang penulisan yang dilakukan pada tahun 2016. Pemilihan tersebut memberikan klasifikasi atas dasar tipikal struktur dan teknik yang cenderung intensif antara satu puisi dengan puisi yang lainnya.

Bagian “Dengan Serius” cenderung berbeda dari bagian sebelumnya. Bagian ini secara struktur menggunakan teknik metafora sebagai strategi berbahasa yang cenderung serius, terpusat, dan konvensional. Jika dihubungkan dengan pembahasan tentang estetika pascamodern/pascastruktural di atas, keseluruhan karya puisi yang disajikan pada bagian “Dengan Serius” secara struktural berpusat pada konvensi metafora sebagai ekspresi puitik yang lazim digunakan dalam karya puisi Indonesia modern. “Dengan Serius” menunjukkan model-model yang lebih baku, stabil, berbeda halnya dengan bagian “Belajar Lucu” yang cenderung relatif dan gaul. Keduanya secara tekstual ditandai dengan perbedaan komoditi bahasa dalam dimensi yang cenderung berjarak. Kenyataan ini bukan tanpa tujuan, melainkan sebagai dualistis atau bahkan model oposisi biner, yang dilihat penyair memiliki potensi sebagai strategi dan teknik berpuisi. Misal dianalogikan dalam konteks latar waktu, yaitu antara kekinian dengan kekunoan.

Metafora sebagai pusat makna dalam bagian “Dengan Serius”, jika dicermati menunjukkan adanya transformasi estetik dalam model dan gaya kepenyairan penulis. Transformasi tersebut mengindikasikan bahwa pada bagian “Dengan Serius” lebih dominan menggunakan pola-pola konvensional dan lazim dalam teknik menciptakan puisi. Pola konvensional dan lazim secara struktural lebih berpusat pada gagasan, tema, dan ide, sedangkan pada bagian “Belajar Lucu”, mencoba untuk melampaui konstruksi tematik dan cenderung memfokuskan pada permainan bahasa secara struktural, singular, dan ontologis. Meskipun pada kenyataannya kondisi ini belum sepenuhnya berhasil dan masih terbatas pada semangat dan gagasan belaka. Gagasan-gagasan tentang teknik dan kebaruan estetika memang bukan sebuah hasil yang final, melainkan sebagai proses yang terus-menerus harus dihadapi penyair sepanjang kebudayaan dan tanda (bahasa) terus berkembang. Sebagai pusat makna penggunaan metafora bisa dilihat dalam kutipan puisi berikut.

PENDIDIKAN

Pendidikan terbuat dari
Gerusan bahan kimia dan
Herbal dalam kapsul

Pendidikan bangun tidur
Menjelang siang. Ia tidak suka
Kopi dan selalu tergesa berangkat
Kerja

Ibunya adalah kardus tempat
Menyimpan benda-benda
Lama. …

Orang-orang rumah itu
Seperti obat pereda rasa nyeri
Seseorang kadang mengharapkan
Mereka datang cepat seperti
Makanan yang bisa dipesan
Lewat telepon genggam

2014-2016

Model di atas menegaskan bahwa metafora menjadi dominan dalam mengonstruksi pusat pemaknaan. Bukan dalam artian dengan dominasi metafora tersebut puisi menjadi tidak bermakna, akan tetapi hal tersebut menjadi indikasi bahwa ada perbedaan gaya estetika puisi pada bagian “Dengan Serius” jika dibandingkan dengan bagian “Belajar Lucu”. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, estetika yang berpusat antara metafora dan metonimi adalah sebuah konsekuensi pembacaan terhadap gaya kepenyairan Hasta Indriyana dalam buku Belajar Lucu dengan Serius menunjukkan adanya gejala perubahan dari model konvensional tematik ke permainan bahasa. Gejala tersebut menandai adanya pengaruh dari wacana pascastruktural/pascamodern yang menawarkan model-model alternatif dalam memaparkan realitas struktural dan juga tekstual dalam karya puisi.

Perlu digarisbawahi, bahwa keseluruhan model estetik dalam buku puisi Belajar Lucu dengan Serius meskipun sudah mengindikasikan adanya sifat pascastruktural/pascamodern, belum sepenuhnya melampaui yang struktural/modern tersebut. Mengapa demikian? Keberadaan estetik struktur dan tema yang diusung Hasta Indriyana tersebut masih berada dalam model semu. Ia menawarkan permainan bahasa bukan secara ontologis untuk menjelaskan realitas bahasa tersebut melainkan hanya sebagai medium terciptanya “kesegaran” struktur belaka. Dalam artian, bahasa masih sebagai metafora untuk mengacu kepada penanda lain di luar dirinya. Hal ini bisa dikategorikan bahasa masih terpusat pada sifatnya yang epistemologis dan belum ontologis. Konstruksi estetik dalam kumpulan puisi Belajar Lucu dengan Serius jika dicermati dalam konteks perpuisian Indonesia mutakhir secara interteks juga terdapat pada karya-karya Joko Pinurbo. Secara estetik barangkali ada keterpengaruhan gaya antara karya Hasta Indriyana dengan gaya Joko Pinurbo. Tentu saja hal ini masih sebatas asumsi dan praduga.

Hasta Indriyana belum sepenuhnya melepaskan diri dari makna (metafora) sebagai pusat (ide/rohaniah) dan bahasa (struktur/jasmaniah) masih difungsikan sebatas komunikasi dengan pembaca. Sehingga bisa disimpulkan bahwa proses pembacaan karya-karya dalam Belajar Lucu dengan Serius menghasilkan proses universalitas makna secara total dan terpusat secara konvensional.

Kemungkinan Puisi dan Fenomena yang Euforia

Apabila mengacu dalam kondisi mutakhir, gejala yang bisa disimpulkan dari kecenderungan pascamodernitas adalah euforia. Euforia dalam dunia perpuisian Indonesia ditunjukkan dengan hadirnya ruang-ruang baru yang secara simultan menandai perayaan. Perkembangan teknologi yang pesat telah menggantikan posisi alam, demikian juga dalam perkembangan teknologi digital. Teknologi digital memunculkan mesin baru yang menjadi “masa depan” kehidupan, di mana manusia kadang kesulitan untuk merespons secara kognitif. Demikian halnya dengan dunia percetakan dan penerbitan dalam wilayah karya sastra, hal ini menjadi “pintu” kebebasan yang memukau. Betapa tidak, fasilitas percetakan atau penerbitan telah bertransformasi melalui model digital dan komputerisasi yang semakin canggih serta praktis.

Pada wilayah ini teknologi disajikan melebihi kapasitas dan kategori manusia. Kebaruan teknologi juga memiliki kaitan yang erat dengan kapitalisme lanjut karena sifatnya yang memukau. Teknologi menyediakan jalan pintas yang siap-pakai dan memungkinkan untuk menggapai jaringan kekuasaan dan bahkan mengendalikan apa yang selama ini sulit dijangkau oleh pikiran dan imajinasi. Fenomena ini memiliki kecenderungan bahwa perkembangan “produksi” karya sastra memberikan ruang bagi siapa saja untuk masuk ke dalamnya.

Selanjutnya, jika kita menilik perkembangan dewasa ini, ruang yang memberikan kehidupan bagi teks-teks sastra mulai bergeser dari cetak ke digital, dari kualitas ke kuantitas—meskipun perlu disadari bahwa gejala ini masih sebatas asumsi belaka. Sebagai contoh, pola-pola penerbitan pun bergeser dari yang konvensional (minimal cetak eksemplar) ke wilayah print on demand (POD) atau cetak berdasarkan permintaan/kebutuhan pemesan. Hal ini menjadi lebih efektif dan praktis untuk memotong biaya produksi serta meminimalisir kerugian. Dampak yang terjadi cukup signifikan. Ruang-ruang penerbitan yang semula sepi, menjadi riuh. Buku-buku muncul secara masif, terutama buku puisi, yang bisa dicetak dengan biaya murah dan praktis.
Realitas tersebut selanjutnya berhubungan dekat dengan bermacam perlombaan sastra yang cenderung menjadi timpang. Mengapa timpang? Barangkali disebabkan masifnya produksi karya sastra (dalam hal ini puisi) tanpa diimbangi dengan kritik sastra yang sebanding. Alih-alih memberikan kontribusi bagi bacaan yang berkualitas, beberapa hasil perlombaan karya puisi cenderung terjebak pada mekanisme yang klise dikarenakan kualitas karya. Tantangan yang dihadapi dalam era kapitalisme global berupa munculnya anggapan bahwa identitas personal dan kekhasan gaya adalah bagian masa lalu, bahkan yang lebih radikal lagi menganggapnya sebagai suatu mitos belaka. Oleh karena itu, para seniman dan penulis kini hanya bisa meniru gaya yang telah ada, karena semua gaya telah ditemukan dan hanya sedikit sekali yang berhasil menemukan gaya baru yang orisinal.

Fenomena tersebut menunjukkan bahwa perlu adanya “kesadaran” melalui sikap kritis dan cermat, bahwa pascamodernitas sebagaimana dipaparkan Jameson adalah the death of the subject. Tatkala ledakan sastra modern yang menampung segala gaya dan perangai yang berbeda-beda kemudian diikuti oleh fragmentasi linguistik dalam kehidupan sosial. Pada kondisi tersebut, ketersediaan gaya personal semakin berkurang dan menyebabkan hilangnya subjek individual. Akibatnya norma pun tereduksi menjadi tuturan media yang netral dan tereifikasi. Reifikasi berarti transformasi seseorang, proses, atau konsep abstrak menjadi sebuah “benda” dan “pembendaan”, ini adalah diagnosa Karl Marx atas masyarakat yang sakit. Pada keadaan inilah kekhasan bahasa tertentu menjadi sirna dan yang tersisa hanyalah stilistika yang beragam dan heterogen tanpa norma. Dalam artian substansi/esensi tereduksi ke wilayah sensasi.

Dewasa ini, hal tersebut ditunjukkan dengan banyaknya perayaan buku-buku puisi yang diterbitkan dalam berbagai model, bentuk, dan beragam tujuan, baik secara swadaya, antologi bersama, dari sosial media, hingga jenis-jenis perlombaan puisi yang fantastis. Di era digital informasi, puisi mengalami kemungkinan untuk dirayakan bertubi-tubi, melalui stilistika yang retoris. Jika hal ini terus-menerus terjadi tanpa kendali, kemungkinan puitika menjadi datar dan kosong. Puisi sebatas menandai subjektivitas yang klise, teralienasi tanpa peduli dengan konteks sosiologis, kecuali relasi kekerabatan dan pertemanan. Tidak ada lagi ironi dan parodi sebagai bentuk kritik terhadap realitas yang semakin membingungkan.

Hasta Indriyana masih menunjukkan bahwa puisi adalah ruang kontemplasi melalui model permainan bahasa, sebagai misal ironi, parodi, satire, dan sejenisnya. Ia bermain-main dengan serius sebagai upaya menegosiasikan ulang realitas, terutama bahasa. Barangkali konstruksi tersebut secara filosofis bisa dijadikan satu rujukan terhadap eksistensi penyair dan juga pilihan-pilihan estetik dalam kerja kepenyairannya. Pembacan ini adalah sebuah upaya sederhana menafsirkan relasi antara kecenderungan gaya dan fenomena dari gejala pascamodern dalam realitas puisi mutakhir. Saya rasa upaya pembacaan ini juga terjebak pada argumentasi retoris yang semu dan terburu-buru.
 
Thread berkualitas, nice hu
:cendol:
makasihh udah mampir dimari yaa :ampun:
trit ini hanya kumpulan ulasan2 tentangan pengetahuan bahasa Indonesia dari berbagai sumber dan sedikit tambahan dari pengetahuan saya..

kalo kamu mau nambah atau nyumbang pengetahuan ttg bahasa Indonesia, boleh pake banget kooook. Dan pastinya akan sangat baik dan bermanfaat untuk kita semua
 
Perbedaan Puisi dan Sajak Dalam Sastra Indonesia


Puisi dan sajak adalah dua karya sastra yang memiliki kemiripan. Kebanyakan orang menganggap kedua karya sastra ini adalah sama, padahal keduanya berbeda. Perbedaannya memang tidak secara mutlak terlihat. Hal inilah yang menyebabkan keduanya dianggap sama. Satu kunci untuk mengingatnya adalah sajak pasti merupakan puisi, akan tetapi puisi tidak pasti merupakan sajak. Untuk mengetahui apa saja yang menjadi perbedaan puisi dan sajak, berikut dipaparkan beberapa hal dari puisi dan sajak.

1. Perbedaan Berdasarkan Pengertian

  • Puisi
Istilah puisi berasal dari bahasa Belanda, yaitu dari kata “poezie”. Akan tetapi jika dilihat dari segi etimologinya, kata puisi berasal dari kata “poesis” (bahasa Yunani) yang berarti penciptaan. Atau dalam bahasa Inggris berasal dari kata “poetry“. Puisi dapat diartikan sebagai bentuk karya sastra yang disusun atas kata yang indah, bermakna, dan terikat oleh beberapa aturan. Sebagai kata “poetry“, puisi cenderung dipasangkan dengan prosa.

Puisi mengandung arti yang lebih umum, bahkan puisi dapat muncul dalam suatu cerpen, karangan, atau novel. Misalnya sering ada istilah “kalimatnya puitis sekali”. Hal ini menunjukkan bahwa puisi bukan selalu merupakan karya sastra yang berdiri sendiri. Puisi diartikan sebagai susunan kata indah yang bermakna dan terikat dengan aturan serta unsur bunyi.

  • Sajak
Sebuah kata dalam bahasa Belanda juga ada yang berarti sajak yaitu kata “gedicht”. Dalam bahasa Inggris, sajak dikenal dari kata “poem”. Sajak merupakan puisi yang berdiri sendiri atau bersifat individu. Sajak memiliki arti yang lebih luas daripada puisi. Hal ini karena sajak lebih berkaitan dengan bunyi pada kalimat di dalamnya. Dalam sajak, antar kata saling berasosiasi karena persamaan bunyi. Pesan yang disampaikan juga tidak berinterpretasi dan bertafsir-tafsir.

Pendefinisian sajak telah diungkapkan oleh penyair Boris Pasternak dalam sajaknya yang berjudul Batasan Sajak. Berikut uraian sajaknya:

sajak adalah siul melengking suram
sajak adalah gemertak kerucut salju beku
sajak adalah daun-daun menges sepanjang malam
sajak adalah dua ekor burung malam menyanyikan duel
sajak adalah manis kacang kapri mencekik mati
sajak adalah air mata dunia diatas bahu


Berbeda dengan Boris Pasternak, Chairil Anwar memandang sajak sebagai suatu alat kemana ia menuju setelah lari dari gedong lebar halaman, dan ketika tersesat tak dapat jalan.

2. Perbedaan Berdasarkan Pengungkapan Kata

  • Puisi
Berdasarkan pengungkapan kata-katanya, puisi mengungkapkan makna secara implisit, secara samar, dan hanya sekedar tersirat. Kata-kata yang digunakan secara dominan menggunakan majas atau cenderung memiliki arti konotatif. Penggunaan arti konotatif dalam puisi ini mengundang pembaca untuk berimajinasi sesuai interpretasi mereka masing-masing. Puisi sering memberikan ilusi kepada pembaca tentang keindahan, membawa pembaca dalam angan-angan, menciptakan suatu gagasan sesuai suasana ketika membaca puisi.

Berikut adalah contoh puisi karya WS Rendra dalam judul Mata Hitam.

Dua mata hitam adalah matahati yang biru
dua mata hitam sangat kenal bahasa rindu.
Rindu bukanlah milik perempuan melulu
dan keduanya sama tahu, dan keduanya tanpa malu.
Dua mata hitam terbenam di daging yang wangi
kecantikan tanpa sutra, tanpa pelangi.
Dua mata hitam adalah rumah yang temaram
secangkir kopi sore hari dan kenangan yang terpendam

  • Sajak
Dalam hal pengungkapan kata, sajak secara dominan dipengaruhi oleh unsur lagu, irama, keharmonisan bunyi. Makna yang disampaikan dalam sajak tidak hanya secara tersirat tetapi menyangkut keseluruhan isi.

Berikut sajak karya Affrini Adham dalam sajaknya yang berjudul Malaya Pasti Merdeka.

Keseluruhan dari keadaan dan kenyataan
keseluruhan dari kesanggupan dan kebenaran
keseluruhan dari kemungkinan dan kepastian
perpaduan – pendirian – pengorbanan dan perjuangan
-telah benar-benar membangunkan kepercayaan
-telah benar-benar menimbulkan harapan
“Bahawa kemerdekaan yang sekian lama kita perjuangkan
telah dekat – mendekati kita
telah tegas dan nyata
terbayang di hadapan mata
Malaya! Pasti merdeka”.

Kita pasti merdeka!
Kita adalah manusia berbangsa dan bernegara!
Kita bukan boneka!

Kita pasti merdeka
di atas “hak pertuanan” kita
selaras dengan kemerdekaan di mana-mana
sebagai manusia-manusia lain yang berbangsa dan punya negara
Malaya pasti merdeka –
di atas keseluruhan – hak-hak kenegaraannya.


3. Perbedaan Berdasarkan Keterikatan Aturan

  • Puisi
Puisi (terutama puisi lama) terikat pada aturan-aturan seperti jumlah baris tiap bait, jumlah suku kata dan rima. Bahkan puisi (lama) cenderung terlihat sangat kaku karena keterikatannya terhadap aturan yang ada. Contoh:

Syair Pendidikan
Wahai engkau para pemuda,
Engkaulah pewaris bangsa,
Giatlah belajar sepanjang masa,
Untuk membangun bangsa negara,

Ilmu bukanlah untuk harta semata,
Ilmu tak akan lekang oleh usia,
Sebab ilmu akan membuatmu terjaga,
Dan ilmu akan membuatmu dewasa,

Belajarlah tanpa malas,
Hormatilah semua penghuni kelas,
Masa depan perlu kerja keras,
Kalau perlu energi terkuras,

Hormatilah para guru,
Pandanglah sebagai orang tuamu,
Ilmu senantiasa akan masuk dalam kalbu,
Bersama berkah untuk jiwamu.

  • Sajak
Sajak merupakan karya sastra yang tidak terlalu terikat dengan aturan-aturan seperti pada puisi (lama). Karya sastra sajak juga mementingkan keselarasan bunyi sehingga sajak lebih dikenal sebagai persamaan bunyi. Contoh:

Malam itu
Terdengar lagi tangisan sendu
Siapakah beliau
Untaian kata memecah kalbu
Derap langkah tanpa tersipu
Jantung ini terus menderu
Oh Ibu..
Sujudmu
Doamu
Kenapa selalu untukku
Anakmu.


Sekian artikel mengenai perbedaan puisi dan sajak dalam sastra Indonesia. Semoga materi yang telah dipaparkan diatas dapat membuat pembaca mampu membedakan puisi dan sajak. Semoga semua dapat dipahami dengan baik dan berguna untuk sumber belajar bahasa Indonesia. Terima kasih.
 
Penggunaan Tanda Koma yang Benar Menurut EYD dalam Bahasa Indonesia

Tanda koma merupakan salah satu tanda baca yang sangat lazim dalam penulisan bahasa Indonesia. Tanda koma ini memiliki fungsi dasar yakni untuk memisahkan antara satu hal dengan bagian lainnya sehingga tidak terjadi kesalahan makna pada saat membaca suatu kalimat/pernyataan maupun penulisan angka bilangan. Bentuk yang simpel dan sederhana dari tanda koma ternyata tidak diiringi dengan tata cara penulisan atau penggunaan yang sederhana pula. Dalam artikel ini, kita akan membahas dan menjelaskan tentang penggunaan tanda koma.

Pengertian Tanda Koma

Menurut Oxford English Dictionary, kata koma berasal dari bahasa Yunani yaitu “komma (κόμμα)” yang berarti “sesuatu yang dipotong” atau “klausa pendek”.

Tanda koma adalah tanda baca yang berbentuk seperti tanda petik tunggal (apostrof) yang diletakkan di bagian bawah atau garis dasar teks. Jika dilihat dari cara penulisannya tanda koma ini juga berbentuk seperti tanda titik yang memiliki tangkai atau angka sembilan yang berukuran sangat kecil dan lubangnya ditutupi.

Penggunaan Tanda Koma Menurut EYD

Menurut Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) yang Disempurnakan, terdapat 14 penggunaan dari tanda baca koma, yaitu :

1. Digunakan untuk menuliskan unsur dalam suatu rincian atau bilangan.
Contoh :


  • Saya, Ani dan Dion berjanji untuk melakukan pekerjaan ini bersama-sama.
  • Dalam pembahasan kali ini, diharapkan para pembaca dapat memahami pengertian, fungsi dan penggunaan tanda koma yang benar.
  • 3,14 * 100 = 314
2. Digunakan untuk memisahkan antara satu kalimat setara dengan kalimat setara berikutnya, yang diawali oleh kata-kata tertentu (tetapi, melainkan, sedangkan, kecuali).
Contoh :


  • Saya ingin sekali ikut liburan sekolah itu, tetapi ibu tak mengizinkannya.
  • Itu bukan kesalahanku, melainkan kesalahan kakak.
  • Ayah bertugas membersihkan halaman rumah, sedangkan ibu membersihkan ruangan didalam rumah.
3. Digunakan untuk memisahkan antara satu kalimat dengan kalimat lainnya, jika kedudukan kalimat tersebut berbeda (induk kalimat dan anak kalimat) kemudian kalimat yang berkedudukan sebagai anak kalimat berada sebelum/di depan induk kalimat.
Contoh :


  • Jika Tuhan mengizinkan, kita pasti akan bertemu lagi di masa yang akan datang.
  • Andai kau tidak segera menarikku, mungkin aku sudah masuk ke jurang itu.
  • Karena ia menjadi juara satu, ia mendapat hadiah liburan dari orang tuanya.
4. Digunakan di belakang suatu kata atau ungkapan yang merupakan penghubung antar kalimat (oleh karena itu, jadi, dengan demikian, sehubungan dengan itu, meskipun begitu), kemudian penghubung tersebut berada di awal kalimat.
Contoh :

  • Oleh karena itu, kau perlu berterus terang dan menceritakan kejadian yang sebenarnya.
  • Jadi, kau harus segera menyelesaikan kesaalahpahaman ini agar keadaan tidak semakin kacau.
  • Dengan demikian, kau berhak mendapat promosi jabatan tahun ini.
  • Sehubungan dengan itu, aku ingin meminta maaf atas nama dia.
  • Meskipun begitu, kami tetap percaya bahwa dia akan melaksanakan tugas ini dengan sebaik-baiknya.
5. Digunakan untuk memisahkan beberapa kata (o, ya, wah, aduh, kasihan) dari kata-kata lain yang berada dalam satu kalimat.
Contoh :

  • O, aku kira kau tidak jadi ikut.
  • Ya, aku paham dengan keadaanmu.
  • Wah, kau benar-benar berbakat dalam melukis.
  • Aduh, aku lupa membawa buku perpustakaan yang kemarin kupinjam.
  • Kasihan, nenek itu harus tidur di bawah kolong jembatan karena rumahnya habis terbakar minggu lalu.
6. Digunakan untuk memisahkan kalimat petikan langsung dari potongan kalimat lainnya.
Contoh :


  • Dia berpesan padaku, “Jangan meletakkan barang berharga di sembarangan tempat”.
  • “Jangan pulang terlalu malam” kata Ayah saat aku pamit keluar rumah tadi sore.
  • “Sudahlah ikhlaskan saja, mungkin ini sudah menjadi takdir Tuhan”, Nia berusaha untuk menghiburku.
7. Digunakan untuk memisahkan antara nama dan alamat, bagian-bagian alamat, yang ditulis secara berurut.
Contoh :


  • Seminar itu diadakan di Gedung B Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jalan Raya Salemba No. 6, Jakarta.
  • Resepsi pernikahannya di Gedung Permata, jalan lestari Indah No 27, Kebon Jeruk, Jakarta Barat.
  • Wisuda tahun ini dilaksanakan di Hotel Horizon, Ancol, Jakarta Utara.
8. Digunakan untuk memisahkan tempat dan tanggal, nama tempat dan wilayah/negeri yang ditulis secara berurut.
Contoh :


  • Akta itu di tandatangani di Semarang, 28 Juli 1988
  • Aku lahir di Jakarta, 6 September 1990.
  • Dia di mutasi ke salah satu cabang perusahaannya yang berlokasi di Bekasi, Jawa Barat.
9. Digunakan untuk memisahkan penulisan nama penulis atau pengarang yang susunan namanya dibalik pada penulisan daftar pustaka.
Contoh :


  • Wahyuningsih, Sri. 2007. Pelajaran Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Rakyat.
  • Ayu, Dian. 2011. Merintis Usaha Antara Keterbatasan. Yogyakarta: Gudang Ilmu.
  • Arif, Muhammad. 2000. Penyebab Terjadinya Sesak Nafas. Bandung: Kreasi Kami.
10. Digunakan dalam penulisan catatan kaki.
Contoh :


  • Dian Ayu, Merintis Usaha Antara Keterbatasan. (Yogyakarta: Gudang Ilmu, 2011), hlm. 17.
  • Sri Wahyuningsih, Pelajaran Bahasa Indonesia. (Jakarta: Pustaka Rakyat, 2008), hlm. 29.
  • Muhammad Arif, Penyebab Terjadinya Sesak Nafas. (Bandung: Kreasi Kami, 2000), hlm. 11.
11. Digunakan untuk membedakan antara nama dengan gelar, pada penulisan gelar akademik.
Contoh :


  • Muhammad Fadil, S. Kom menjadi salah satu dosen terbaik untuk tahun ajaran 2015-2016.
  • Setelah menjabat selama 5 tahun, akhirnya Bapak Prayitno Adji, S.E., M.M. resmi mengundurkan diri dari jabatan rektor.
  • Pasangan calon pengantin itu bernama Riani Sagita, S. Pd dan Adnan Khair, S.T.
12. Digunakan di depan angka persepuluhan atau antara rupiah dan satuan terkecil sen yang dinyatakan dengan angka.
Contoh :


  • Pada masa kecilnya nenek hanya diberi jajan sebesar Rp 20,50 oleh orang tuanya.
  • Tinggi pohon kelapa itu adalah 35,75 m.
  • Rumah kami memiliki luas sebesar 200,32 meter persegi.
13. Digunakan untuk mengapit keterangan tambahan dalam suatu kalimat yang sifatnya tidak terbatas.
Contoh :


  • Aku benar-benar salut dengan anak kecil itu, pintar sekali.
  • Kami sampai kehabisan kata-kata saat melihat pemandangan di pulau terpencil ini, sungguh indah.
14. Digunakan di belakang keterangan yang berada di awal kalimat yang bertujuan agar tidak terjadi kesalahan saat membaca dan memahami maksud kalimat.
Contoh :


  • Untuk membatasi penumpang yang membludak ketika masa liburan, pihak penyedia berbagai transportasi menaikkan harga tiket.
  • Dalam keadaan yang serba kekurangan ini, kita tidak boleh cepat menyerah dan pasrah pada keadaan.
15. Tanda koma tidak digunakan untuk memisahkan suatu petikan langsung dalam satu kalimat, jika petikan langsung itu diakhiri dengan tanda tanya (petikan langsung berupa kalimat tanya).
Contoh :

  • “Bolehkah aku ikut berlibur ke puncak dengan keluarga Lia?” tanya Diah kepada ibunya.
  • “Apakah aku bisa menjadi seperti ayah saat dewasa nanti?” aku bertanya pada ayah.
Demikian.

sumber: dosenbahasa
 
Penulisan Catatan Kaki yang baik dan benar dalam Bahasa Indonesia

Apa yang dimaksud dengan catatan kaki? Bagaimana tata cara penulisan catatan kaki yang baik dan benar dalam bahasa Indonesia? Serta apa yang membedakan catatan kaki dengan daftar pustaka?

Pengertian Catatan Kaki

Catatan kaki atau yang lebih dikenal dengan sebutan footnote adalah catatan atau keterangan tambahan dari suatu teks bacaan yang diletakkan di margin bawah. Sedangkan seorang Gorys Keraf(1994 : 143) mengemukakan bahwa catatan kaki adalah keterangan dari teks karangan yang ditempatkan pada kaki halaman karangan yang bersangkutan. Catatan kaki dapat ditemukan pada hampir semua karya ilmiah (seperti : tesis, skripsi/tugas akhir, makalah, proposal) dan beberapa karya tulis (seperti : buku pelajaran, novel non fiksi).

Adapun yang membedakan antara catatan kaki dengan daftar pustaka adalah letak dari catatan atau keterangan tersebut. Daftar pustaka ditulis di akhir karya ilmiah/karya tulis pada satu halaman khusus secara sekaligus. Sedangkan catatan kaki ditulis pada margin bawah lembaran/halaman yang sama dengan teks bacaan yang bersangkutan (teks bacaan yang diberi keterangan tambahan).

Fungsi Catatan Kaki

Penggunaan catatan kaki pada suatu karya ilmiah/karya tulis memiliki fungsi penting, yaitu sebagai berikut :

  1. untuk memenuhi salah satu kode etik yang berlaku dalam penulisan karya ilmiah dan karya tulis
  2. sebagai bentuk apresiasi atau penghargaan terhadap karya orang lain
  3. untuk menjelaskan sumber kutipan dari teks bacaan yang terdapat dalam karya ilmiah/karya tulis
  4. untuk memberikan keterangan tambahan atau komentar
  5. sebagai pedoman dalam menyusun daftar bacaan (bibliografi)
  6. sebagai bukti pendukung keaslian suatu penemuan atau pernyataan yang dikemukakan dalam karya ilmiah/karya tulis
  7. untuk menambah pembahasan yang dibutuhkan dari sebuah pernyataan dalam teks bacaan, namun tambahan pembahasan tersebut tidak relevan jika ditempatkan dalam teks bacaan
Jenis jenis Catatan Kaki

Dalam sebuah tulisan karya ilmiah, terdapat dua jenis catatan kaki yang biasa digunakan, yaitu sebagai berikut :

  1. Catatan Kaki Lengkap
    Catatan kaki yang ditulis lengkap dengan menuliskan nama penulis/pengarang, judul buku, nama atau nomor seri (jika ada), jumlah jilid (jika ada), nomor cetakan, nama penerbit, kota terbit, tahun terbit, nomor halaman.
  2. Catatan Kaki Singkat
    Catatan kaki yang singkat terdiri dari 3 macam, antara lain :
    • Ibid (Ibidium) : sama dengan diatas
      Digunakan untuk catatan kaki yang sumbernya sama dengan catatan kaki yang berada tepat diatasnya.
    • Op.cit (opere citato) : karya yang telah dikutip
      Digunakan untuk catatan kaki yang pernah dikutip sebelumnya, tapi telah disisipi catatan kaki lain dari sumber lain, dan catatan kaki ini diambil dari halaman yang berbeda dengan kutipan sebelumnya tersebut.
    • Loc.cit (loco citato) : tempat yang telah dikutip
      Digunakan untuk catatan kaki yang pernah dikutip sebelumnya, tapi telah disisipi catatan kaki lain dari sumber lain, dan catatan kaki ini diambil dari halaman yang sama dengan kutipan sebelumnya tersebut.

Sistematika Penulisan Catatan Kaki

Dalam menulis sebuah catatan kaki karya ilmiah/karya tulis, terdapat aturan sistematika penulisan yang harus dipatuhi, yaitu sebagai berikut :


  1. berjarak 4 spasi dari teks bacaan, dan 14 karakter dari margin kiri
  2. ketikan catatan kaki menggunakan spasi satu
  3. diberi nomor
  4. nomor catatan kaki diketik dengan jarak 6 karakter dari margin kiri
  5. jika catatan kaki lebih dari satu baris, maka baris kedua dan seterusnya diketik mengikuti margin teks biasa
  6. jika ada lebih dari satu catatan kaki, maka jarak antara satu catatan dengan catatan lainnya menggunakan spasi yang sama dengan spasi teks bacaan
  7. jarak baris terakhir catatan kaki dengan ujung kertas bagian bawah adalah 3 cm
  8. keterangan yang panjang tidak boleh disambung ke halaman selanjutnya, lebih baik memotong tulisan asli daripada memotong catatan kaki
  9. jika ada catatan kaki yang sama terletak berurutan (misal : catatan kaki nomor 2 dan catatan kaki nomor 3 sama), cukup ditulis dengan kata “ibid.”
  10. jika ada catatan kaki yang sama tapi tidak berurutan, cukup ditulis dengan kata “op.cit.”
  11. jika ada catatan kaki yang sama tapi sudah disisipi oleh catatan kaki yang memiliki sumber berbeda, maka cukup ditulis dengan kata “loc.cit.”
  12. untuk keterangan tentang referensi artikel atau buku tertentu, penulisannya seperti daftar pustaka tapi nama penulis/pengarang tidak dibalik
  13. nomor kutipan ditulis setengah spasi lebih tinggi daripada tulisan catatan kaki
  14. judul buku dicetak miring (jika diketik dengan komputer), tapi cukup digaris bawahi (jika ditulis tangan)
  15. kutipan atau referensi yang tidak bersumber dari buku, tidak perlu dicetak miring
  16. diketik menggunakan tanda hubung koma (,) kecuali setelah kota terbit digunakan tanda titik dua :))
  17. jika ada dua penulis/pengarang, maka nama penulis/pengarang ditulis semua
  18. jika ada lebih dari dua penulis/pengarang, hanya nama pengarang pertama yang ditulis, lalu pengarang lainnya cukup tuliskan dkk atau et al
  19. jika kutipan bersumber dari internet, tuliskan nama depan dan belakang penulis, judul dokumen, nama website, alamat http website, tanggal dokumen tersebut diambil/unduh
Contoh Penulisan Catatan Kaki

  1. Catatan Kaki dari Buku
    • Satu atau dua pengarang
      1Setiati Widihastuti dan Fajar Rahayuningsih, Pendidikan Kewarganegaraan, (Bekasi : Adhi Aksara Abadi Indonesia, 2008), hlm. 27.
    • Tiga atau lebih pengarang
      2Sri Purwati, dkk., Ilmu Pengetahuan Alam 2, (Surakarta : Putra Nugraha, 2008), hlm. 78.
    • Ibid (Ibidium)
      1Sri Purwati, dkk., Ilmu Pengetahuan Alam 2, (Surakarta : Putra Nugraha, 2008), hlm. 78.
      2Ibid. (jika dikutip dari halaman yang sama)
      3Ibid, 17-23. (jika dikutip dari halaman yang berbeda)
    • Op.Cit (Opere Citato)
      1Setiati Widihastuti dan Fajar Rahayuningsih, Pendidikan Kewarganegaraan, (Bekasi : Adhi Aksara Abadi Indonesia, 2008), hlm. 27.
      2Sri Purwati, dkk., Ilmu Pengetahuan Alam 2, (Surakarta : Putra Nugraha, 2008), hlm. 78.
      3Widihastuti dan Fajar Rahayuningsih, Op.Cit., 109.
    • Loc.Cit (Loco Citato)
      1Setiati Widihastuti dan Fajar Rahayuningsih, Pendidikan Kewarganegaraan, (Bekasi : Adhi Aksara Abadi Indonesia, 2008), hlm. 27.
      2Sri Purwati, dkk., Ilmu Pengetahuan Alam 2, (Surakarta : Putra Nugraha, 2008), hlm. 78.
      3Widihastuti dan Fajar Rahayuningsih, Loc.Cit.
    • Sumber dari buku yang berjilid
      1Setiati Widihastuti dan Fajar Rahayuningsih, Pendidikan Kewarganegaraan, Jilid 1, (Bekasi : Adhi Aksara Abadi Indonesia, 2008), Cet. 3, hlm. 27.
  2. Catatan Kaki dari Karya Ilmiah
    1Nasiruddin, “Asketisisme Hasan Al-Bashri (Tinjauan Sosio-Historis)”, Tesis Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogayakarta, (Yogyakarta: Perpustakaan PascaSarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2000), hlm. 27, t.d.
  3. Catatan Kaki dari Koran/Surat Kabar
    2Media Indonesia, 20 Desember 2016, hlm. 8.
  4. Catatan Kaki dari Majalah
    3Ade Iwan Setiawan, “Pasang SurutPerekonomian Indonesia” Tempo, 20 Desember 2016, hlm. 44.
  5. Catatan Kaki dari Internet
    4Arif Hermawan, “Cara Sukses Menjalankan Bisnis Online”, Bisnis Online, diakses dari http://www.bisnisonline.com/cara-sukses-menjalankan-bisnis-online.html, pada tanggal 20 Desember 2016 pukul 07.00

Catatan kaki tak dapat diremehkan dari sebuah karya ilmiah ataupun karya tulis sebagai bukti keaslian kutipan atau pernyataan yang dikemukakan.

Semoga bermanfaat.

sumber: dosenbahasa
 
Sastra Melayu Klasik

Sastra melayu klasik adalah sastra lama yang lahir dari masyarakat lama atau tradisional. Yang dimaksud dengan masyarakat lama atau tradisional adalah masyarakat yang masih sederhana dan terikat oleh adat istiadat serta belum mendapat pengaruh dari dunia Barat. Berbagai jenis karya sastra yang lahir di era ini adalah mantra, pantun, syair, gurindam, dan lain sebagainya.

Ciri-ciri
Sastra Melayu klasik memiliki ciri-ciri sebagai berikut.

  • Anonim. Sebagian besar karya sastra Melayu klasik yang berkembang di tengah masyarakat tidak diketahui nama penciptanya.
  • Pralogis. Cerita-cerita yang termasuk sastra Melayu klasik banyak diwarnai oleh hal-hal gaib dan tidak masuk akal.
  • Menggunakan bahasa Melayu klasik. Karya-karya sastra Melayu klasik banyak menggunakan bahasa Melayu klasik seperti konon, alkisah, sahibul hikayat, dan lain sebagainya.
  • Istana sentris. Kejadian atau peristiwa yang diceritakan dalam karya-karya sastra Melayu klasik sebagian besar tentang kehidupan istana seperti raja-raja, putri, pangeran, pahlawan, dan tokoh-tokoh mulia lainnya.
  • Berkembang secara lisan. Karya-karya sastra Melayu klasik disebarluaskan secara lisan atau dari mulut ke mulut karena belum adanya media massa pada saat itu.
  • Komunal. Cerita-cerita yang dikisahkan dalam sastra Melayu klasik merupakan milik bersama.
  • Kurang dinamis. Dipandang dari masyarakat kekinian, perubahan yang terjadi dalam sastra Melayu klasik sangat lamban.
  • Didaktis. Dari berbagai jenis sastra Melayu klasik sebagian besar bersifat didaktis atau memberikan pendidikan kepada pembacanya, baik moral maupun religius.
  • Simbolis. Peristiwa-peristiwa dalam berbagai karya sastra Melayu klasik disajikan dalam bentuk lambang.
  • Tradisional. Sastra Melayu klasik bersifat tradisional atau mempertahankan adat kebiasaan setempat.
  • Imitatif. Sastra Melayu klasik bersifat imitatif atau meniru yang diwariskan secara turun temurun.
  • Universal. Dalam arti, sastra Melayu klasik berlaku kapan pun, dimanapun, dan bagi siapa pun. Biasanya hal ini terkait dengan isi pesan yang ingin disampaikan.
Unsur
Selain memiliki ciri-ciri khusus yang membedakannya dengan sastra modern, karya-karya sastra Melayu klasik juga dibentuk oleh beberapa unsur intrinsik. Unsur-unsur ini umumnya terdapat pada karya sastra berupa prosa seperti hikayat. Adapun unsur intrinsik dan ekstrinsik sastra Melayu klasik adalah sebagai berikut.

  • Tema merupakan pokok cerita yang menjadi dasar penyusunan cerita.
  • Alur cerita atau plot merupakan rangkaian jalannya kejadian atau peristiwa yang disusun berdasarkan hukum sebab akibat dan logis. Terdapat beberapa jenis alur yaitu alur maju, alur mundur, dan alur campuran.
  • Penokohan adalah pewatakan tokoh-tokoh dalam cerita.
  • Latar merujuk pada waktu, tempat, dan keadaan terjadinya suatu peristiwa.
  • Amanat mengacu pada pesan-pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca.
Contoh

Sastra Melayu klasik terdiri dari beberapa jenis di antaranya adalah mantra, pantun berkait, talibun, pantun kilat, gurindam, syair, peribahasa, teka-teki, fable, legenda, dan hikayat.

1. Mantra

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mantra diartikan sebagai susunan kata berunsur puisi (seperti rima, irama) yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain.

2. Pantun

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pantun adalah bentuk puisi Indonesia (Melayu), tiap bait (kuplet) biaanya terdiri atas empat baris yang bersajak (a-b-a-b), tiap larik biasanya terdiri atas empat kata, baris pertama dan baris kedua biasanya untuk tumpuan (sampiran) saja dan baris ketiga dan keempat merupakan isi. Terdapat jenis-jenis pantun yaitu pantun jenaka, pantun persahabatan, percintaan, pantun nasihat, dan pantun teka-teki. Berikut adalah contoh pantun singkat yang dikutip dari laman Rumah Belajar Kemendikbud.

Apa guna orang bertenun
Untuk membuat pakaian adat
Apa guna orang berpantun
Untuk memberi petuah amanat


3. Pantun berkait atau pantun berantai

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pantun berkait atau pantun berantai adalah rangkaian pantun yang sambung-menyambung, misalnya larik kedua dan keempat bait pertama muncul lagi sebagai larik pertama dan ketiga bait berikutnya. Pantun berkait dan contohnya dalam bahasa Indonesia dikutip dari laman Rumah Belajar Kemendikbud :

Manggistan namanya kayu
Daunnya luruh menelentang
Mahkota Raja Melayu
Turun dari bukit Seguntang

Daunnya luruh menelentang
Daun puan diraut-raut
Turun dari bukit Seguntang
keluar dari dalam laut

Pulau Pandan jauh ke tengah

Gunung Daik bercabang tiga
Hancur badan dikandung tanah
Budi yang baik dikenang juga

Gunung Daik bercabang tiga

Tampak jauh dari seberang
Budi yang baik dikenang juga
Khidmat bakti disanjung orang

4. Seloka

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, seloka adalah jenis puisi yang mengandung ajaran (sindiran dan sebagainya), biasanya terdiri atas 4 larik yang berima a-a-a-a, yang mengandung sampiran dan isi. Contoh puisi lama seloka empat baris :

Sudah bertemu kasih sayang
Duduk terkurung malam siang
Hingga setapak tiada renggang
Tulang sendi habis berguncang


5. Talibun

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, talibun adalah bentuk puisi lama dalam kesustraan Indonesia (Melayu) yang jumlah barisnya lebih dari 4, biasanya antara 16-20, serta mempunyai persamaan bunyi pada akhir baris (ada juga seperti pantun, dengan jumlah baris genap, seperti 6, 8, atau 12 baris). Contoh pantun talibun 6 baris :

Kalau anak pergi ke lepau
Yu beli belanak pun beli
Ikan panjang beli dahulu

Kalau anak pergi merantau
Ibu cari sanak pun cari
Induk semang cari dahulu

6. Karmina atau pantun kilat

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, karmina atau pantun kilat adalah pantun dua seuntai, baris pertama sebagai sampiran dan baris kedua sebagai isi berupa sindiran dengan rumus rima a-a, misalnya kayu lurus dalam lalang, kerbau kurus banyak tulang. Contoh pantun karmina :

Dahulu ketan sekarang ketupat
Dahulu preman sekarang ustadz


7. Gurindam atau sajak peribahasa

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia gurindam adalah sajak dua baris yang mengandung petuah atau nasihat (misalnya baik-baik memilih kawan, salah-salah bisa jadi lawan). Contoh gurindam yang paling terkenal adalah Gurindam Dua Belas karya Aja Aji Haji yang terdiri dari dua belas pasal. Berikut kutipan Gurindam Dua Belas Pasal 1 :

Barang siapa tiada memegang agama
Sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama
Barang siapa mengenal yang empat
Maka dia itulah orang yang ma’rifat


8. Syair

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia syair adalah satu di antara jenis-jenis puisi lama yang tiap-tiap bait terdiri atas empat larik (baris) yang berakhir dengan bunyi yang sama. Ciri-ciri syair lainnya adalah jumlah kata per baris adalah 4-6 perkataan, tiap baris terdiri dari 8-12 suku kata, tidak memiliki sampiran, dan isi berupa cerita. Adapun jenis-jenis syair di antaranya adalah syair agama, syair kiasan, syair panji, syair romantis, dan syair sejarah. Contoh syair misalnya Syair Singapura Dimakan Api yang merupakan syair sejarah.

9. Peribahasa

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, peribahasa adalah kelompok kata atau kalimat yang tetap susuanannya, biasanya mengiaskan maksud tertentu (dalam peribahasa termasuk juga bidal, ungkapan, perumpamaan). Peribahasa juga diartikan sebagai ungkapan atau kalimat ringkas padat, berisi perbandingan, perumpamaan, nasihat, prinsip hidup atau aturan tingkah laku. Satu di antara kumpulan peribahasa dalam bahasa Indonesia beserta artinya adalah sebagi berikut :

  • Ada gula ada semut. Arti dari peribahasa tersebut adalah di mana ada banyak kenikmatan, di situ banyak orang yang berdatangan.
  • Bagai pungguk merindukan bulan.Arti dari peribahasa tersebut adalah mengharapkan sesuatu yang sangat sulit untuk diwujudkan.
10. Teka-teki

Menurut Kosasih (2008 : 16), teka-teki adalah cerita pendek yang menuntut jawaban sama halnya dengan soal cerita. Hanya saja, dalam teka-teki peranan nalar sering kali diabaikan. Hal yang dipentingkan adalah kemampuan si penebak dalam memahami arti kiasan atau ibarat yang dikemukakan dalam cerita. Ciri lainnya adalah dalam penyusunan teka-teki haruslah memerhatikan keindahan bahasanya. Dengan karakteristik seperti inilah, teka-teki bisa digolongkan ke dalam jenis sastra. Contoh teka-teki :

Dari kecil berbaju hijau, sudah besar berbaju merah. Luarnya surga, dalamnya neraka.

Jawaban dari teka-teki di atas adalah cabe.

11. Fabel
atau cerita binatang

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, fabel adalah cerita yang menggambarkan watak dan budi manusia yang pelakunya diperankan oleh binatang (berisi pendidikan moral dan budi pekerti). Contoh dongeng fabel singkat misalnya Si Kancil.

12. Legenda

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, legenda adalah cerita rakyat pada zaman dahulu yang ada hubungannya dengan peristiwa sejarah. Secara garis besar cerita asal-usul terbagi menjadi tiga jenis yaitu cerita asal-usul tumbuhan, dunia binatang, dan terjadinya suatu tempat. Contoh legenda singkat misalnya Legenda Rawa Pening.

13. Hikayat

Hikayat merupakan salah satu dari jenis-jenis prosa lama dalam kesusastraan Indonesia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, hikayat adalah karya sastra lama Melayu berbentuk prosa yang berisi cerita, undang-undang, dan silsilah bersifat rekaan, keagamaan, historis, biografis, atau gabungan sifat-sifat itu, dibaca untuk pelipur lara, pembangkit semangat juang, atau sekadar untuk meramaikan pesta. Contoh hikayat Melayu misalnya Hikayat Hang Tuah, Hikayat Perang Palembang, dan Hikayat Seribu Satu Malam.

Demikianlah ulasan singkat tentang ciri-ciri dan unsur sastra Melayu klasik dan contohnya. Semoga bermanfaat. Terima kasih.

source: Ambar dosenbahasa
 
Permisi.. mohon ijin tanya pada yg lebih berkompeten di sini. Udah nyoba googling tapi belum memuaskan.

Tentang penulisan tanggal, jadi yg benar sesuai kaidah Bahasa Indonesia itu

9 Juni 2020
atau
09 Juni 2020?
 
Permisi.. mohon ijin tanya pada yg lebih berkompeten di sini. Udah nyoba googling tapi belum memuaskan.

Tentang penulisan tanggal, jadi yg benar sesuai kaidah Bahasa Indonesia itu

9 Juni 2020
atau
09 Juni 2020?
permisi ya, mau xoba jrlaskan dikit tentang format penulisan tanggal.

penggunaan angka nol (0) pada umumnya tidak digunakan dalam penulisan tanggal, jadi jika tanggal itu menunjukkan hanya satu angka, cukup mencantumkan angka tersebut, tanpa menambahkan angka nol didepannya.

biasanya, angka nol dipakai untuk format nomor urut

semoga jawaban ini bisa memuaskan ya, maaf kalo ada kekurangan apa gitu dalam uraiannya :ampun:
 
Jadi yg benar 9 Juni yaa.. ada link untuk referensinya ga yah?



jadi kalo kita buat list itu yg bener adalah

01.
02.
03.
Dst
Gitu?
kalo link referensi sejauh ini saya blm ada sih.

kalo untuk nomor urut, masih ada bahan pertimbangan lain, misalnya dalam menuliskan urutan pembahasan karya ilmiah. Ada Bab, ada SUB BAB, dst.

nah penggunaan angka nol pada urutan seperti ini lazimnya digunakan pada bagian sub bab.


TABEL URUTAN PENOMORAN



I, II, III, dst.Nomor untuk BAB
A., B., C., dst.Nomor untuk subbab
1., 2., 3., dst.Nomor untuk anak subbab
a., b., c., dst.Nomor untuk anak subbab pertama
1), 2), 3), dst.Nomor untuk anak subbab kedua
a), b), c), dst.Nomor untuk anak subbab ketiga
(1), (2), (3), dst.Nomor untuk anak subbab keempat
(a), (b), (c), dst.Nomor untuk anak subbab kelima
 
Klausa dalam Bahasa Indonesia


Pengertian Klausa

Klausa adalah gabungan kata yang sekurang-kurangnya terdiri atas subjek dan predikat. Klausa terkadang dilengkapi dengan objek, pelengkap, atau keterangan. Dari pengertian singkat ini dapat ditarik kesimpulan sederhana bahwa klausa lebih lengkap daripada frasa. Akan tetapi klausa belumlah menjadi sebuah kalimat karena tidak mempunyai intonasi akhir.

Ciri-Ciri Klausa

Untuk membedakannya dari frasa dan kalimat, klausa dapat dikenali dari beberapa ciri berikut:

  • Memiliki satu predikat
  • Tidak memiliki intonasi akhir
  • Jika ditambah intonasi akhir maka akan menjadi sebuah kalimat
  • Klausa merupakan bagian dari kalimat plural
Jenis-Jenis Klausa

Klausa dibedakan berdasarkan kategorinya masing-masing. Pembagian klausa didasarkan pada beberapa kelompok yaitu berdasarkan struktur, berdasarkan unsur yang menjadi predikat, dan berdasarkan fungsinya.

Klausa Berdasarkan Struktur

Berdasarkan strukturnya, klausa dapat dibedakan menjadi klausa bebas dan klausa terikat. Kategori ini berkaitan dengan kemungkinan klausa untuk menjadi sebuah kalimat.

1. Klausa Bebas

Klausa bebas adalah klausa yang berpotensi menjadi sebuah kalimat karena memiliki subjek dan predikat. Jenis klausa ini disebut juga sebagai klausa utama atau induk kalimat. Ciri khusus dalam klausa bebas adalah tidak adanya pemakaian konjungsi. Contoh:

  • Alia sangat cantik
  • Adik menangis
  • Ibu memasak
2. Klausa Terikat

Klausa terikat tidak memiliki susunan yang lengkap seperti klausa bebas, sehingga klausa jenis ini tidak berpotensi untuk menjadi kalimat. Jenis klausa ini disebut juga sebagai klausa bawahan atau anak kalimat. Berbeda dengan klausa bebas yang tidak menggunakan konjungsi, klausa terikat dapat diidentifikasi dari adanya penggunaan konjungsi di depannya. Contoh:

  • Supaya Tina sembuh
  • Klausa terikat “ketika kami bermain” dalam kalimat “Hujan turun ketika kami bermain”
  • maka mereka pun beramai-ramai ke kantor kelurahan
Klausa Berdasarkan Unsur yang Menjadi Predikat

Pengelompokan yang kedua adalah berdasarkan unsur yang berperan menjadi predikat. Berdasarkan unsur ini, klausa dibagi menjadi klausa verbal, klausa nominal, klausa adjektival, klausa adverbial, dan klausa preposisional.

1. Klausa Verbal

Sesuai dengan namanya, klausa verbal merupakan klausa yang memuat predikat berupa kata kerja (verba). Lebih lanjut, klausa verba terbagi menjadi klausa transitif dan klausa intransitif. Klausa transitif adalah klausa yang predikatnya merupakan kata kerja transitif atau kata kerja yang memerlukan objek.
Klausa intransitif adalah klausa dengan predikat berupa kata kerja intransitif. Contoh:

  • Harimau berlari
  • Ikan berenang
  • Adik membuka pintu
  • Ayah memotong kayu
  • Lisa menyapu
2. Klausa Nominal

Jenis klausa yang kedua berdasarkan unsur yang menjadi predikat adalah klausa nominal. Klausa nominal merupakan klausa dimana predikatnya merupakan kata benda atau frasa nomina. Contoh klausa nominal:

  • Ayahnya seorang guru
  • Pak Ratan dulu seorang kepala desa
  • Mereka siswa SMA
3. Klausa Adjektival

Unsur wajib dalam klausa adjektival adalah subjek dan predikat. Dalam jenis klausa ini, predikat berkedudukan sebagai kata keadaan. Penyusunan klausa adjektival secara umum terdiri dari subjek yang berkategorikan nomina dan predikat yang berkategorikan adjektif. Contoh:

  • Harga baju itu sangat mahal
  • Anak itu cerdas sekali
  • Hawa pagi ini dingin sekali
4. Klausa Preposisional

Klausa preposisional adalah klausa dimana predikatnya merupakan suatu frasa preposisional. Predikat dalam jenis klausa yang satu ini berkategori sebagai kata depan. Contoh:

  • Ibu ke pasar setiap hari Minggu
  • Kakek dan nenek dari kampung
  • Perginya menuju ke bandara
  • Barang-barang lama disimpan di museum
Klausa Berdasarkan Fungsi

Jenis-jenis klausa berdasarkan fungsi dibedakan menjadi 4 jenis. Keempat jenis klausa tersebut adalah klausa yang menduduki fungsi subjek, objek, keterangan dan pelengkap.

1. Klausa Subjek

Dalam sebuah klausa, subjek berkedudukan sebagai sebuah frasa nominal. Secara umum, kedudukan subjek mendahului predikat. Contoh jenis klausa ini adalah:

  • Ayah membaca
Pada klausa tersebut, “ayah” berkedudukan sebagai subjek, dan “membaca” sebagai predikat. Klausa ini disebut juga klausa inti. Klausa inti dapat dikembangkan menjadi inti dari suatu kalimat dengan tetap memperhatikan bagian-bagian yang menduduki subjek dan predikat. Salah satu kalimat tersebut adalah:
Ayah ternyata sedang membaca koran dengan santai.

2. Klausa Objek

Pada klausa, objek berwujud frasa nominal dan melengkapi verba transitif. Terdapat dua macam objek, yaitu objek langsung dan objek tak langsung. Objek langsung adalah objek yang dikenai perbuatan secara langsung dalam predikat verbal. Sedangkan objek tak langsung adalah objek yang menjadi penerima perbuatan dalam predikat verbal. Contoh:

  • Rani sedang membuat laporan keuangan (memuat objek langsung “laporan keuangan” dari verba “membuat”)
  • Rani sedang membuat laporan keuangan untuk perusahaan (memuat objek tak langsung “untuk perusahaan” dari verba “membuat”)
3. Klausa Keterangan

Keterangan berfungsi membatasi atau memperluas makna subjek ataupun predikat. Terdapat beberapa jenis keterangan, misalnya keterangan sebab, keterangan alat, keterangan cara, keterangan tempat, keterangan subjek, keterangan waktu, dll. Contoh:

  • Karena sakit, ayah tidak bekerja (keterangan sebab)
  • Montir pengangkat mobil dengan traktor (keterangan alat)
  • Ibu mendidikku dengan baik (keterangan cara)
4. Klausa Pelengkap

Klausa pelengkap berbentuk nomina, frasa nominal, adjektiva, atau frasa adjektiva dari predikat verbal. Terkadang pelengkap sering disalahsartikan sebagai objek. Contoh:

  • Aku dianggap sudah mati
  • Adikku menjadi seorang tentara

source: dosenbahasa
 
Unsur-Unsur Pembangun dalam Puisi

Puisi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait. Selain itu, puisi juga diartikan sebagai sajak atau gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus. Biasanya puisi dibuat untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan si pengarang dengan mengutamakan keindahan kata-kata.

Menurut Indrawati (2009), puisi memiliki beberapa karakteristik, di antaranya adalah sebagai berikut.

  1. Dalam puisi terdapat pemadatan semua unsur kekuatan bahasa.
  2. Dalam penyusunannya, unsur-unsur bahasa itu dirapikan, diperindah, dan diatur sebaik-baiknya dengan memerhatikan irama dan bunyi.
  3. Puisi mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair berdasarkan pengalamannya dan bersifat imajinatif.
  4. Bahasa yang digunakan bersifat konotatif.
Dari karakteristik puisi di atas dapat disimpulkan bahwa puisi dibangun oleh unsur-unsur puisi yaitu unsur fisik dan unsur batin. Yang dimaksud dengan unsur fisik adalah unsur pembangun puisi yang dapat dikenali langsung oleh pembaca karena sifatnya yang tersurat. Unsur fisik pembangun puisi meliputi majas, irama, rima, kata-kata konotasi, kata-kata berlambang, dan kata-kata konkret. Sementara itu, yang dimaksud dengan unsur batin adalah unsur pembangun puisi yang yang tersembunyi di balik unsur-unsur fisik. Adapun yang termasuk dalam unsur batin puisi adalah tema, amanat, perasaan penyair, dan nada atau sikap penyair terhadap pembaca.

Dengan demikian, unsur-unsur pembangun dalam puisi adalah sebagai berikut.

Majas

Majas merupakan salah satu unsur fisik pembangun dalam puisi yang sejatinya termasuk dalam gaya bahasa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan majas atau disebut juga dengan kiasan adalah cara melukiskan sesuatu dengan jalan menyamakannya dengan sesuatu yang lain. Para penyair banyak menggunakan majas dalam karya-karya pusinya dikarenakan majas memiliki beberapa kelebihan, yaitu sebagai berikut.

  • Majas dapat memberikan kesenangan imajinatif.
  • Majas memberikan imaji tambahan dalam puisi.
  • Majas membuat sesuatu yang abstrak dalam puisi menjadi lebih konkret.
  • Majas merupakan cara penyair mengekspresikan perasaan dan sikapnya.
  • Melalui majas, makna yang akan disampaikan menjadi lebih terkonsentrasikan.
  • Melalui majas, sesuatu dapat disampaikan dengan tepat dengan bahasa yang singkat.
Terdapat macam-macam majas yang kerap digunakan dalam puisi yaitu majas perbandingan, majas pertentangan, majas perulangan, dan majas pertautan.

a. Majas perulangan

Macam-macam majas perulangan yang kerap digunakan dalam puisi di antaranya adalah sebagai berikut.

  • Repetisi adalah majas yang menggunakan kata, frasa atau klausa yang sama secara berulang. Contoh majas repetisi : Kau datang dan pergi semaumu, datang lagi, pergi lagi, datang lagi pergi lagi,
  • Aliterasi adalah majas yang mengulang konsonan pada awal kata secara berurutan. Contoh majas aliterasi : Bukan beta bijak berperi (baris sajak karya Rustam Effendi)
b. Majas pertentangan

Macam-macam majas pertentangan yang kerap digunakan dalam puisi di antaranya adalah sebagai berikut.

  • Ironi adalah majas yang digunakan untuk menyembunyikan fakta yang sebenarnya dengan tujuan untuk memberikan sindiran. Contoh majas ironi : Rumah ini rapi sekali hingga saya susah sekali untuk duduk.
  • Hiperbola adalah majas yang digunakan untuk mengungkapkan suatu kenyataan secara berlebihan sehingga menjadi tidak masuk akal. Contoh majas hiperbola : Air matanya terkuras habis meratapi kepergian kekasihnya.
  • Litotes adalah majas yang digunakan untuk mengungkapkan sesuatu fakta dengan cara mengecilkan fakta tersebut dengan tujuan untuk merendahkan diri. Contoh majas litotes : Jika berkenan, mampirlah ke gubuk kami sebentar.
c. Majas pertautan

Macam-macam majas pertautan yang kerap digunakan dalam puisi di antaranya adalah sebagai berikut.

  • Eufemisme adalah majas yang digunakan untuk mengungkapkan sesuatu secara lebih halus menggantikan ungkapan yang dirasa cukup kasar, merugikan, dan tidak menyenangkan. Contoh majas eufemisme : Tunanetra merupakan bentuk halus dari buta.
  • Sinekdoke adalah majas yang menyebutkan nama keseluruhan sebagai pengganti nama bagian atau sebaliknya. Contoh majas sinekdoke : Kata-katanya menyakiti hatiku.
  • Metonimia adalah majas yang menggunakan nama benda atau yang lainnya untuk menyatakan sesuatu yang berkaitan dengan benda tersebut. Contoh majas metonimia : Peristiwa bangkrutnya Merpati menunjukkan buruknya manajemen perusahaan itu.
d. Majas perbandingan

Macam-macam majas perbandingan yang kerap digunakan dalam puisi di antaranya adalah sebagai berikut.

  • Metafora adalah majas perbandingan yang dilakukan untuk mengungkapkan sesuatu dengan cara membandingkan dua hal yang berbeda secara implisit. Contoh majas metafora : Bunga desa itu pergi.
  • Alegori adalah majas perbandingan yang dilakukan untuk menyatakan sesuatu dengan cara kiasan atau penggambaran. Contoh majas alegori: Hidup kita bagaikan rollercoaster, kadang naik kadang turun.
  • Personifikasi adalah majas perbandingan yang menyematkan sifat-sifat manusia pada benda tak bernyawa atau ide yang abstrak. Umumnya majas jenis ini digunakan untuk memberikan gambaran serta citra yang konkret. Contoh majas personifikasi : Daun-daun berbisik ditiup angin.
  • Simile adalah majas perbandingan yang dilakukan untuk mengungkapkan sesuatu dengan cara membandingkannya dengan sesuatu yang lain yang dianggap sama secara eksplisit. Contoh majas simile : Wajahnya bersemu merah bagai buah delima.
2. Irama

Selain majas, yang termasuk unsur fisik pembangun dalam puisi adalah irama. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan irama dalam konteks sastra sebagai ritme atau alunan yang tercipta oleh kalimat yang berimbang, selingan bangun kalimat, dan panjang pendek serta kemerduan bunyi (dalam prosa). Dengan demikian, yang dimaksud dengan irama dalam puisi menurut Kosasih (2008) adalah pengulangan kata, frase, atau kalimat dalam bait-bait puisi. Adapun fungsi irama dalam puisi adalah membuat kata-kata menjadi lebih berjiwa atau bernyawa sehingga siapapun yang membaca atau mendengarkan puisi turut merasakan apa yang dirasakan oleh penyair.

3. Rima

Rima menurut Kosasih (2008) adalah pengulangan bunyi dalam puisi. Pengulangan ini ditujukan untuk menciptakan kegembiraan dan kesenangan atau euphony dan membawa suasana kesedihan atau cacophony. Terdapat berbagai macam jenis rima yang dibedakan berdasarkan jenis dan letaknya. Berdasarkan jenisnya, rima dibedakan menjadi rima sempurna, rima tidak sempurna, rima mutlak, rima terbuka, rima tertutup, rima aliterasi, rima asonansi, dan rima disonansi. Sedangkan, berdasarkan letaknya rima dibedakan menjadi rima awal, rima tengah, rima akhir, rima tegak, rima datar, rima sejajar, rima berpeluk, rima bersilang, rima rangkai atau rima rata, rima kembar atau berpasangan, dan rima patah.

4. Kata-kata konotasi

Konotasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tautan pikiran yang menimbulkan nilai rasa pada seseorang ketika berhadapan dengan sebuah kata. Konotasi juga diartikan sebagai makna yang ditambahkan pada makna denotasi. Dari beberapa puisi yang telah kita kenal dapat disimpulkan bahwa pada umumnya penyair banyak menggunakan kata-kata yang mengandung makna kias atau konotasi. Misalnya, lelaki hijau mengandung makna lelaki yang masih muda dan belum punya banyak pengalaman.

5. Kata-kata berlambang

Jika kita cermati, puisi banyak menggunakan kata-kata berlambang yakni menggantikan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Terdapat berbagai macam kata berlambang yang disesuaikan dengan sifatnya yakni lokal, kedaerahan, nasional atau universal. Misalnya, kata “kandang” yang merujuk pada rumah.

6. Kata konkret

Yang dimaksud dengan kata konkret dalam puisi adalah kata-kata yang secara denotatif sama namun secara konotatif memiliki makna yang berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi pemakaiannya. Kata-kata konkret ini bertujuan untuk membangkitkan daya imajinasi pembaca, dalam arti pembaca dapat membayangkan apa yang dilukiskan oleh penyair melalui kata-kata yang digunakan oleh penyair dalam puisinya.

7. Tema

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan tema sebagai pokok pikiran atau dasar cerita (yang dipercakapkan, dipakai sebagai dasar mengarang, menggubah sajak, dan sebagainya). Tema dalam puisi mengacu pada ide atau gagaan penyair yang dituangkan dalam puisinya. Terdapat beberapa jenis tema puisi seperti tema ketuhanan, tema kemanusiaan, tema patriotism atau kebangsaan, tema kedaulatan rakyat, dan tema keadilan sosial (Waluyo, 1987 dalam Kosasih, 2008).

8. Amanat

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud amanat dalam konteks sastra secara umum adalah gagasan yang mendasari karya sastra. Selain itu, amanat juga dimaknai sebagai pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar. Dengan demikian, yang dimaksud dengan amanat dalam puisi adalah pesan-pesan yang ingin disampaikan oleh penyair.

9. Perasaan

Perasaan merupakan salah satu unsur batin pembangun puisi yang merujuk pada perasaan penyair. Seorang penyair umumnya mengekspresikan apa yang dirasakannya melalui rangkaian kata-kata dalam puisi. Perasaan ini dapat berupa rasa gelisah, rindu, kesal, marah, atau pengagungan terhadap Tuhan, alam, dan sebagainya.

10. Nada

Nada adalah salah satu unsur pembangun dalam puisi yang merupakan sikap penyair terhadap pembaca seperti menggurui, menasehati, mengejek, menyindir atau lugas. Nada ini dapa menimbulkan perasaan tertentu di hati pembaca. Nada biasanya terkait dengan tema dan perasaan.

demikian uraian singkat tentang unsur-unsur pembangun puisi.

sumber: dosenbahasa
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd