Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
SASTRA INDONESIA MODERN

A. PENGERTIAN SASTRA INDONESIA MODERN
1. Arti Modern
Kata modern pada sastra Indonesia modern dipergunakan tidak dalam pertentangan kata klasik. Bahkan sebenarnya, istilah sastra Indonesia klasik sebagai pertentangan dengan sastra Indonesia modern tidak ada. Kata modern dipergunakan sekedar menunjukkan betapa intensifnya pengaruh Barat pada perkembangan dan kehidupan kesusastraan pada masa itu. Sebelum berkembangnya sastra Indonesia modern kita mengenal sastra Melayu lama/klasik untuk membedakan dengan sastra Melayu modern yang berkembang di Malaysia.
2. Pengertian Sastra Indonesia
Ada beberapa pendapat mengenai apa yang disebut sastra Indonesia. Ada yang berpendapat bahwa suatu karya sastra dapat dinamakan dan digolongkan ke dalam pengertian sastra Indonesia apabila:
a. Ditulis buat pertama kalinya dalam bahasa Indonesia;
b. Masalah-masalah yang dikemukakan di dalam nya haruslah masalah-masalah Indonesia;
c. Pengarangnya haruslah bangsa Indonesia (Soemawidagdo, 1966: 62).
Berdasarkan pendapat di atas, pengertian sastra Indonesia mencakup tiga unsur persyaratan, yaitu bahasa, masalah yang dipersoalkan, dan pengarangnya. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa sastra Indonesia adalah “sastra yang aslinya ditulis dalam bahasa Indonesia, mengingat sastra dan bahasa erat saling berjalin” (Enre, 1963: 10). Berdasarkan pendapat ini, persyaratan cukup dibatasi pada bahasanya.
Pada dasarnya, kami cenderung pada pendapat pertama, hanya menurut kami, unsur persyaratan yang kedua dan ketiga dapat disatukan. Berhubungan dengan itu, kami berpendapat bahwa yang dimaksud dengan sastra Indonesia adalah sastra yang aslinya di tulis dalam bahasa Indonesia yang isinya memancarkan sikap dan watak bangsa Indonesia. Jadi, unsur persyaratan ada dua, yaitu:
a. Media bahasanya bahasa Indonesia dan
b. Corak isi karangannya mencerminkan sikap watak bangsa Indonesia di dalam memandang suatu masalah.
Berdasarkan uraian di atas, kiranya perlu dibedakan dan ditegaskan beberapa pengertian istilah-istilah tertentu. Sastra yang asliny di tulis dalam bahasa asing atau bahasa daerah di Indonesia kemudian diterjemahkan atau disadur dalam bahasa Indonesia, kita sebut sastra Indonesia terjemahan atau sastra Indonesia saduran. Kemudian sastra yang aslinya di tulis dalam bahasa asing meskipun pengarangnya bangsa Indonesia hendaknya tetap kita pandang sebagai sastra asing, misalnya Airlangga dan Enzame Gareodaylucht yang keduanya berbentuk drama yang asinya ditulis oleh Sanusi Pane dalam bahasa Belanda.
Adapun sastra yang ditulis dalam bahasa-bahasa daerah di Indonesia kita sebut saja sastra daerah atau sastra Nusantara. Jika disebut sastra di Indonesia, pengertiannya dapat mencakup sastra Indonesia dan sastra Nusantara.
Dengan demikian, menjadi jelaslah pengertian istilah-istilah sastra Indonesia, sastra Indonesia saduran, sastra Indonesia terjemahan, sastra asing, sastra Nusantara, dan sastra di Indonesia.

B. PERMULAAN SASTRA INDONESIA MODERN
Seperti halnya dengan pengertian sastra Indonesia, masalah permulaan sastra Indonesia modern ini pun menimbulkan beberapa macam pendapat. Dalam garis besarnya ada 4 macam pendapat, yaitu:
1. Slametmuljana (1953: 17) dalam sebuah artikelnya yang berjudul “Ke Mana Arah Perkembangan Puisi Indonesia?” berpendapat bahwa sastra Indonesia yang resmi haruslah dimulai dari tahun 1945. Pengertian tentang sastra Indonesia tidak dapat dipisahkan dari Indonesia sebagai nama satu negara. Negara Republik Indonesia baru ada sejak diumumkannya Proklamasi Kemerdakaan Republik Indonesia pada tahun 1945 dan baru pada tahun itu pulalah bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa resmi negara Republik Indonesia dan dicantumkan di dalam UUD 1945. Slametmuljana dengan tegas berpendapat bahwa berbicara tentang Indonesia sebagai suatu istilah dewasa ini tidak dapat terlepas dari masalah politik.

“Indonesia sebagai nama negara memang soal politik. Segala hal bersangkut paut dengan Indonesia sebagai nama negara tak dapat lepas dari soal politik. Kesusastraan Indonesia bersangkut paut dengan Indonesia sebagai nama negara. Oleh karena itu, bagaimanapun batas waktu 1945 merupakan batas pembagian kesusastraan pula. Di samping itu, haruslah diakui bahwa gerakan Pujangga Baru merupakan persiapan kesusastraan Indonesia. Hal ini penting karena Pujangga Baru memang menuju arah Indonesia merdeka.” (1953: 17)

Sebagai akibat dari pendapat di atas, Slametmuljana menganggap bahwa semua hasil sastra sebelum tahun 1945 harus dipandang sebagai sastra daerah. Novel “Sitti Nurbaya, Salah Asuhan”, dan kumpulan puisi “Percikan Permenungan” drama bersajak “Bebasari” dan bahkan hasil-hasil sastra Pujangga Baru semuanya adalah sastra daerah, yaitu sastra Melayu.
Terhadap pendapat Slametmuljana ini banyak orang merasa berkeberatan karena sastra sebagai suatu aspek kebudayaan tidak selamanya sejalan dengan politik. Peristiwa-peristiwa kenegaraan tidak selalu bersamaan dengan kehidupan kebudayaan suatu bangsa dan demikian pula sebaliknya.
Sastra suatu bangsa tidak mesti dimulai dari saat bangsa itu memperoleh kemerdekaannya. Di samping itu tampaknya Slametmuljana mencampuradukkan pengertian bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, dan kemudian mengaitkan kehidupan sastra Indonesia dengan saat ditetapkannya bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi. Padahal, kenyataannya bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional sudah berkembang sebelum Proklamasi Kemerdekaan.

2. Umar Junus di dalam karangannya yang berjudul “Istilah dan Masa Waktu Sastra Melayu dan Sastra Indonesia” yang termuat dalam majalah Medan Ilmu Pengetahuan 1/3 Juli 1960 berpendapat bahwa sastra Indonesia baru mulai berkembang pada sekitar 28 Oktober 1928, yaitu saat diikrarkannya Tri Sumpah Pemuda. Sebagai seorang linguis, Umar Junus beranggapan bahwa sastra terikat erat sekali dengan bahasa. Tidak ada bahasa maka sastra pun tidak akan ada juga. Oleh karena itu, kriteria penamaan suatu hasil sastra, harus terutama berdasarkan media bahasa yang dipergunakan. Suatu hasil sastra disebut sastra X karena bahasa yang digunakan ialah bahasa X.
Berdasarkan pemikiran tersebut, perkembangan sastra Indonesia dimulai sejak adanya bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Karena menurut Umar Junus bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional lahir sejak tahun 1928 maka perkembangan sastra Indonesia harus dimulai sejak tahun 1928, yang dapat maju atau mundur dari tahun tersebut asal disertai dengan suatu tanggung jawab. Jika ditarik garis mundur sebelum tahun 1928, kita akan bertemu dengan hasil-hasil sastra Balai Pustaka, yang dianggapnya tidak tepat untuk digolongkan sebagai hasil sastra Indonesia karena hasil sastra tersebut tidak mengandung unsur nasional.
Sebaliknya, jika ditarik garis maju sesudah tahun 1928, kita akan bertemu dengan hasil sastra Pujangga Baru. Menurut Umar Junus, sastra Pujangga Baru sudah dengan tegas membawa suara Indonesia, sudah bercorak nasional sehingga pada tempatnyalah apabila hasil-hasil sastra pada masa itu dipandang sebagai sastra Indonesia. Dengan keterangan di atas, kemudian ia menyimpulkan bahwa sastra Indonesia baru berkembang sekitar tahun 1928 dan tepatnya pada thuan 1930-an.
Ada beberapa keberatan terhadap pendapat Umar Junus tersebut, antara lain sebagai berikut:
a. Dalam kenyataannya hubungan antara sastra dengan bahasa tidak selalu bersifat mutlak. Banyak sastra dari beberapa negara yang ditulis dalam bahasa yang sama, misalnya bahasa Inggris untuk sastra Amerika, Inggris, Australia, dan sebagainya.
b. Perkembangan sastra sebelum tahun 1928 tidak terbatas hanya pada kegiatan dan hasil-hasil Balai Pustaka. Beberapa pengarang di luar Balai Pustaka banyak yang menulis ketika itu, misalnya Moh. Yamin, Sanusi Pane, Rustam Effendi, dan yang lain.
c. Andai kata Balai Pustaka satu-satunya badan yang berperan dalam perkembangan sastra pada masa itu, kita juga mengajukan beberapa persoalan:
(1) Apakah tidak ada satupun karya Balai Pustaka yang bercorak nasional, meski masih secara tersirat atau samar-samar? Jika kita dengan teliti membaca novel “Salah Asuhan” karangan Abdul Moeis, kita menyangsikan kesimpulan di atas. Pada akhir cerita novel itu kita dapati kata ibu Hanafi: “Sekalipun ia sudah bersekolah, tetapi pelajaran agama kita janganlah ditinggalkan. Salah benar ibu mengasuh Hanafi masa dahulu karena sedikitpun ia tidak diberi pelajaran agama. Sedangkan kecilnya ia sudah mengasingkan diri daripada perjuangan bangsanya.”
(2) Sutan Takdir Alisjahbana, seorang yang sering disebut pelopor Pujangga Baru, adalah seorang pengarang yang banyak berperan dalam kegiatan Balai Pustaka. Ia pernah menjabat hoofdredacteur majalah Panji Pustaka, sebuah majalah Balai Pustaka. Dengan demikian, bagaimanakah halnya dengan karangan Sutan Takdir Alisjahbana sebelum tahun 1928, seperti “Tak Putus Dirundung Malang”?
3. Nugroho Notosusanto, seorang sarjana Ilmu Sejarah, berpendapat bahwa berbicara tentang sastra Indonesia, bukan berarti berbicara tentang bahasa Indonesia, melainkan tentang sastra Nasional Indonesia. Dengan demikian, prinsip sastra Indonesia adalah prinsip kebangsaan. Kapankah kesadaran kebangsaan bangsa Indonesia mulai bangkit? Karena kita telah menetapkan tanggal 20 Mei 1908 sebagai Hari Kebangkitan Nasional maka berarti bahwa setiap kegiatan bangsa Indonesia sejak saat itu sudah didorong oleh aspirasi nasional. Sastra Indonesia sebagai bagian kebudayaan bangsa Indonesia, seharusnya sudah pula memancarkan unsur kebangsaan itu. Dengan demikian, sastra Indonesia sebagai sastra Nasional Indonesia sudah berkembang sejak permulaan abad ke-20.
Terhadap pendapat Nugroho Notosusanto tersebut ada satu keberatan. Meskipun dasar pemikirannya benar, pendapat itu tidak berlandaskan hasil-hasil sastra yang konkret. Pada permulaan abad ke-20 kita belum dapat menunjukkan karangan-karangan yang dapat dipandang sebagai hasil sastra yang bernilai atau bercorak nasional.
Kecuali itu, teori yang dikemukakan oleh Nugroho Notosusanto tersebut ternyata tidak sesuai dengan periodisasi yang dibuatnya. Nugroho Notosusanto dalam periodisasi sastranya memulai perkembangan sastra Indonesia modern pada tahun 20-an, bukan pada permulaan abad ke-20.
4. Pendapat yang terakhir menyatakan bahwa sastra Indonesia modern mulai berkembang sekitar tahun 20-an.
Mereka yang berpendapat demikian itu antara lain: Fachruddin Ambo Enre, Ajip Rosidi, H.B. Jassin, dan A. Teeuw. Alasan yang mereka kemukakan tidak sama, tetapi pada dasarnya menyangkut dua hal, yaitu:
a. Media Bahasa yang Dipergunakan
Meskipun bahasa Indonesia itu secara formal diakui sebagai bahasa persatuan pada tahun 1928, realitasnya bahasa tersebut sudah pasti sudah berkembang pada tahun-tahun sebelumnya. Tahun 1928 adalah sekedar tahun peresmiannya saja atau tahun pemandiannya (menurut istilah A. Fokker) menjadi bahasa Nasional. Kenyataan kehadirannya harus kita cari beberapa tahun sebelumnya. Apabila kita perhatikan buku-buku hasil sastra Balai Pustaka sekitar tahun 20-an, misalnya novel “Azab dan Sengsara, Sitti Nurbaya”, dan juga puisi-puisi Moh. Yamin, Sanusi Pane, dan Rustam Effendi, yang termuat dalam majalah Yong Sumatra, majalah Timbul, nyatalah bahwa bahasa yang dipergunakan dalam karangan-karangan tersebut tidak jauh berbeda dengan bahasa yang kemudian diresmikan menjadi bahasa persatuan pada tahun 1928. Berdasarkan kenyataan itu, kita beralasan untuk mengatakan bahwa bahasa Indonesia sudah ada sekitar tahun 20-an.
b. Corak Isi yang Terdapat Didalamnya
Corak isi karya sastra sudah mencerminkan sikap watak bangsa Indonesia, artinya mengandung unsur kebangsaan. Pada bagian sebelumnya sudah dikemukakan, bahwa hasil-hasil sastra sekitar tahun 20-an sudah mengandung unsur kebangsaan. Terlebih apabila kita perhatiakan hasil sastra di luar Balai Pustaka, unsur itu amat jelas. “Tanah Air” kumpulan puisi Moh. Yamin temanya ialah kecintaan penyair pada tanah air dan bangsanya yang pada waktu itu hidup dalam penjajahan.

“Memang tanah air yang dinyanyikan pemuda yamin dalam sajak-sajaknya itu belum lagi tanah air Indonesia dalam arti geografis yang sekarang. Tetapi hal tersebut akan berkembang dengan dia sendiri (turut) memagang peranan utama: enam tahun kemudian ia sendiri mempelopori pengakuan bahasa, tanah air, dan bangsa Indonesia sebagai dasar persatuan nasioanal Indonesia. Keberatan yang bisa kita kemukakan dalam memandang “Tanah Air” Yamin yang belum lagi meliputi Indonesia Raya melainkan baru Sumatra, Andalas, Pulau Perca, Tanah Melayu, dan lain-lain adalah keberatan yang juga bisa kita ajukan kepada pengakuan Boedi Oetomo yang bersifat sosial dan bercita-cita kejawen yang sekarang telah diresmikan sebagai perintis kebangkitan kesadaran nasional Indonesia.” (Rosidi, 1964: 7-8).

Ternyata bahwa kesadaran kebangsaan Yamin pada “Tanah Air” (1922) yang masih terbatas pada Pulau Andalas itu kemudian mengalami perkembangan dan pada “Indonesia Tumpah Darahku” (1928) kesadaran kebangsaan itu sudah meluas meliputi seluruh Indonesia Raya.
Dua hal itulah yang kita pergunakan sebagai dasar untuk menetapkan bahwa sastra Indonesia modern mulai berkembang sekitar tahun 1920-an.
 

Aturan Penulisan Dialog​


Dialog menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah percakapan (dalam sandiwara, cerita, dan sebagainya) atau karya tulis yang disajikan dalam bentuk percakapan antara dua tokoh atau lebih.

Dialog sering kita temui dalam cerita pendek ataupun novel. Tujuannya adalah untuk membuat sebuah karya dan cerita menjadi hidup. Tanpa dialog rasanya bagai sayur tanpa garam. Pasti akan sangat membosankan, apalagi kalau narasi tidak dikemas secara apik. Dijamin orang yang membaca akan melewatkan cerita tersebut.

Namun, penulisan dialog tidak boleh sembarangan. Ada aturannya, yaitu kita harus berpedoman pada PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia) yang di dalamnya terdapat pedoman tentang bagaimana cara menggunakan tanda baca yang baik dan benar.

Secara umum, dialog itu sesudah tanda petik pertama selalu diawali dengan huruf kapital dan sebelum tanda petik kedua, dibubuhi berbagai tanda baca sesua sesuai konteks kalimat dalam dialog. Berikut 6 aturan tentang penulisan dialog yang perlu kita perhatikan.

1. Koma sebelum petik terakhir

Apabila kita menggunakan dialog tag, maka dialog diakhiri dengan tanda koma dan dialog tag selalu diawali dengan huruf kecil.

Contoh:

- "Kopinya enak," kata Hamdi.
- "Iya," kataku.

Catatan tambahan: Dialog tag adalah frase yang mengikuti dialog, bertujuan untuk menginformasikan identitas si pengucap dialog.
Ada dialog tag yang netral seperti ujar, ucap, kata, cetus, tutur, ungkap, tandas, tanya, sapa, panggil, pungkas, tegas, ajak, dan pinta.
Ada lagi dialog tag yang netral sebagai respons seperti sahut, jawab, balas, terang, jelas, sela, tukas, dan potong.
Dan ada pula dialog tag yang menunjukkan emosi seperti sindir, ejek, hina, cela, kelakar, canda, teriak, jerit, raung, seru, sergah, murka, bisik, gumam, dan lirih.


2. Titik sebelum petik terakhir

Apabila tidak ada kalimat lain setelah dialog, maka dialog diakhiri dengan tanda titik. Begitu juga apabila menggunakan kalimat aksi, maka dialog diakhir dengan tanda titik dan kalimat aksi diawali dengan huruf kapital.

Contoh:

- "Dia tega meninggalkanku." Matanya terlihat mulai berkaca-kaca.

- "Begitulah hidup."

3. Tanda tanya dan tanda seru sebelum petik akhir

Contoh:
- "Apakah kau bersedia menikah denganku?" tanya Hamdi.
- "Dasar kampungan!" Fitri hanya diam.

4. Tanda elipsis

Contoh:
- "Aku ... minta maaf."
- "Ibu tiriku sangat kejam dan ...." Aira tak sanggup melanjutkan ceritanya.

Catatan tambahan: Tanda elipsis dipakai untuk menunjukkan bahwa dalam suatu kalimat atau kutipan ada bagian yang dihilangkan. Cara penulisannya adalah sebelum dan sesudah tanda elipsis diberi spasi, tapi apabila di akhir kalimat, maka tambah satu titik sebagai tanda kalimat berakhir.

5. Dialog sambungan

Huruf pertama di awal dialog menggunakan huruf kapital dan saat melanjutkan dialog, menggunakan hutuf kecil.

Contoh:
- "Aku," matanya sayu, "sangat mencintainya."

6. Dialog sapaan

Kata sapaan digunakan untuk menyapa lawan bicara. Cara penulisannya adalah dengan menggunakan koma sebelum kata sapaan.

Contoh:
- "Ayah sudah datang, Bu?"
- "Belum, Nak."

Nah, itulah 6 aturan yang perlu kita perhatikan dalam penulisan dialog. Semoga tulisan ini memberikan manfaat bagi yang berkeinginan menulis cerpen atau novel dan semoga menambah wawasan dalam hal berliterasi. Apabila terdapat kesalahan, mohon kesediaannya untuk memberikan masukan dan kritikannya.

Terima kasih.

Sumber rujukan:
https://kbbi.web.id/
https://puebi.readthedocs.io
 

Penulisan partikel -lah dan –kah

Partikel -lah dan -kah ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya. Nggak ada perlakuan khusus untuk kedua partikel ini. Contoh:

  • Tutuplah pintu itu!
  • Janganlah kau beranggapan seperti itu, Galih!
  • Bukankah itu yang dinamakan cinta, Kekasih?
[CATATAN]

  • Balik ke contoh percakapan di awal, penggunaan partikel lah yang dimaksud adalah kata seru (dalam cakapan) yang berfungsi untuk memberi tekanan atau menyungguhkan sesuatu. Makanya, ditulis terpisah dan berdiri sendiri, nggak bisa terikat seperti partikel -lah.
  • Berdasarkan pemutakhiran, bahasa Indonesia udah nggak menggunakan partikel -tah lagi. Kata tah berfungsi sebagai kata tanya yang digunakan untuk bertanya pada diri sendiri. Bahkan dalam KBBI edisi terbaru, kata tanya tah masuk dalam ragam kata arkais atau kata yang nggak lazim. Contoh: Apa tah salahku, hingga dia meninggalkanku?

Penulisan partikel pun

Nah, penulisan partikel satu ini nih, yang masih sering disalahgunakan. Ingat, partikel pun ditulis serangkai sebagai bentuk terikat. Berikut deretan kata yang perlu kamu ingat!

Deretan partikel pun yang ditulis serangkai. via www.hipwee.com
  • adapun
  • ataupun
  • bagaimanapun
  • biarpun
  • kalaupun
  • kendatipun (kendati)
  • maupun
  • meskipun
  • sekalipun
  • sementangpun (sungguhpun, biarpun)
  • sungguhpun
  • walaupun
[CATATAN]

Kalau partikel pun yang memiliki arti juga, harus ditulis terpisah. Contoh:

  • ada pun (ada juga)
  • kamu pun (kamu juga)
  • mau pun (berarti mau juga, bukan berarti meskipun, dan, serta)

Partikel pun ditulis terpisah.

Penulisan partikel per

Partikel per yang ditulis terpisah adalah yang memiliki arti (1) tiap-tiap atau setiap, (2) demi, (3) mulai, dan (4) dengan

Contoh:

1) Harga tanah di Jogja sudah berkisar di angka Rp3.000.000,00 per meter.
2) Mahasiswa diminta keluar ruang kuliah satu per satu.
3) Surat keputusan itu berlaku per Januari 2020.
4) Kamu bisa mengirim uang itu per wesel pos.
Partikel per yang ditulis serangkai jika memiliki arti dibagi

Contoh:

  • Dua pertiga hartanya habis untuk berjudi.
  • Masukkan satu pertiga bagian ke dalam mangkuk. (sepertiga)
Pun susah untuk mengingat struktur partikel ini, kalau kamu bisa memahaminya, pasti akan jadi lebih mudah. Seperti itulah cara penulisan partikel pun, -lah, -kah, dan per.

dari berbagai sumber.

Demikian, semoga bermanfaat :rose:
 
Terakhir diubah:
TENTANG PARAGRAF

Paragraf menjadi salah satu bagian dari sebuah wacana/bacaan. Sebuah tulisan yang berkualitas tergantung dari pengembangan setiap paragraf-paragrafnya. Memahami kaidah paragraf demi menghasilkan tulisan yang bagus jelas sekali urgensinya.

Paragraf dibuat dengan mengembangkan sebuah gagasan utama. Paragraf terhimpun atas beberapa kalimat yang bertautan membentuk suatu ide ataupun gagasan. Pengertian paragraf menurut KBBI adalah bagian bab dalam suatu karangan yang biasanya mengandung satu ide pokok dan penulisannya dimulai dengan garis baru.

Paragraf seringkali disebut dengan alenia yang tersusun dari satu kalimat utama (gagasan pokok) dan beberapa kalimat penjelas (gagasan penjelas). Hanya ada satu ide pokok/gagasan utama dalam sebuah paragraf dimana kalimat penjelas berisi penjelasan/rincian dari kalimat utama.

Tagiran (2005 : 1) berpendapat bahwa suatu tulisan yang utuh, fungsi pokok paragraf yaitu: sebagai tanda pembukaan gagasan baru, pengembangan untuk ide sebelumnya dan sebagai penekanan terhadap ide yang telah diungkapkan sebelumnya.

Menurut Tarigan (2005:3) syarat yang harus dimiliki sebuah paragraf sebagai berikut :

  • Adanya Kepaduan Paragraf
  • Adanya Kesatuan Paragraf
  • Adanya Kelengkapan Paragraf
Paragraf dibagi beberapa jenis, yaitu jenis paragraf berdasarkan sifat dan tujuannya (fungsi), jenis paragraf berdasarkan posisi kalimat utamanya (tempat) dan jenis paragraf berdasarkan kontennya (isi) :

Paragraf Berdasarkan Sifat dan Tujuannya​

Jenis jenis paragraf sebenarnya ada banyak, yang pertama kita bahas berdasarkan sifat dan tujuan (Keraf (1980:63-66)) yaitu :

1. Paragraf Pembuka

Paragraf ini letaknya di awal sebuah wacana. Paragraf ini berfungsi sebagai pembuka atau pengantar isi sebuah karangan kepada pembaca. Sebelum memasuki isi dan inti karangan, paragraf ini mengantarkan dan mempersiapkan pikiran pembaca agar lebih fokus, serta isinya mempengaruhi pembaca supaya tertarik melanjutkan isi bacaan.

Contoh paragraf pembuka :

“Besok internet mendatangi desa kita. Internet membuat kita menyaksikan dunia. Internet juga dapat menyampaikan surat ke sahabat kita di pulau seberang, bahkan hingga ke negara tetangga.” Itulah bunyi iklan layanan masyarakat yang dapat disaksikan lewat televisi. Bayangkan, melalui internet kita dapat mengakses kabar terkini dari seluruh penjuru dunia. Kita pun bisa mengetahui keadaan roket yang tengah diuji di angkasa luar.

Dengan suatu blog, kita dapat menjadi penulis dengan memposting tulisan karya kita. Bahkan, kita pun dapat berbincang sambil menatap sahabat pena yang berada di Australia melalui web camera. Dengan hanya duduk di depan komputer, kita dapat menggunakan fasilitas chatting, browsing, gaming, atau surfing.

2. Paragraf Penghubung

Paragraf ini letaknya di antara pembuka dan penutup pada sebuah karangan. Paragraf ini memuat isi dari sebuah karangan. Paragraf penghubung menguraikan isi dan inti sebuah tulisan. Sifat dari paragraf penghubung sesuai dengan tipe tulisannya seperti narasi, deskripsi, eksposisi, dll.

Contoh paragraf penghubung :

Meskipun begitu jangan lupa bahwa bersahabat dengan internet terdapat aturan yang sebaiknya kita patuhi. Jika tidak mengetahui aturan bermainnya, berteman dengan internet dapat merugikan. Tentunya kita pernah mendengar dari TV atau koran terdapat penculikan anak, kemudian orang tuanya diminta memberikan sejumlah tebusan berupa uang jika ingin anaknya dikembalikan. Ternyata setelah diselidiki, kasus penculikan tersebut bermula dari kegemaran anak terhadap internet seperti chatting. Anak tersebut tanpa sadar memberikan identitas atau data – data pribadi miliknya kepada orang yang ia ajak chatting padahal orang tersebut merupakan penjahat yang sedang menyamar menjadi anak-anak. Hal tersebut sangat mungkin mengingat chatting tidak bisa melihat teman yang di ajak berbincang secara nyata alias maya.

Supaya kejadian tersebut tidak terulang, apalagi menimpa diri kita, maka sebaiknya kita mengikuti aturan berikut:

  1. Jangan memberi data pribadi ke seseorang yang tidak kita kenal
  2. Jangan pergi sendirian ketika ingin bertemu dengan teman chatting
  3. Tidak malu untuk bertanya kepada orang tua/kakak
  4. Jangan mengakses sembarang situs
  5. Jangan lupa log out atau sign out akun ketika selesai
  6. Hati-hati terhadap virus di software tertentu
  7. Buatlah kesepakatan dalam penggunaan internet
3. Paragraf Penutup

Paragraf penutup ialah paragraf yang letaknya di akhir sebuah sebuah karangan. Paragraf berfungsi sebagai penutup pada sebuah karangan. Paragraf ini menunjukkan tulisan telah berakhir, bentuknya kesimpulan, pengulangan secara ringkas, penekanan atau komentar akhir. Bentuknya disesuai dengan kebutuhan maupun jenis tulisan.

Berikut contoh untuk paragraf penutup:

Contoh paragraf penutup :

Hal – hal di atas tidak susah untuk dilakukan hanya perlu kesadaran, kedisiplinan serta tanggung jawab diri kita sendiri. Ketika itu dilakukan, internet akan sangat berguna bagi kehidupan, khususnya diri kita.

Jenis Paragraf Berdasarkan Posisi Kalimat Utamanya​

1. Paragraf deduktif

Paragraf deduktif adalah paragraf yang posisi gagasan pokok atau kalimat utamanya di awal sebuah paragraf dan bersifat deduksi. Kata deduksi asalnya dari bahasa latin : deducere, dedectum deduxi, yang artinya “menuntun ke bawah”; ataupun ‘menurunkan’; deductio artinya ‘penuntun atau pengantaran’.

Paragraf ini paragraf yang diawali dengan pernyataan yang sifatnya umum, lalu dijabarkan dan dikembangkan menjadi pernyataan yang sifatnya khusus. Pernyataan yang sifatnya khusus tersebut dapat berupa rincian, penjelasan, bukti-bukti maupun contoh-contoh. Karena paragraf tersebut dikembangkan dari pernyataan yang umum kemudian mengemukakan pernyataan – pernyataan yang sifatnya khusus, dapat kita dikatakan bahwa penaralan paragraf deduktif tersebut dari umum ke khusus.

Contoh wacana yang menggunakan paragraf deduktif:

Zaman sekarang kebudayaan Indonesia telah berangsur – angsur punah. Anak-anak akrab dan hafal dengan kebudayaan luar negeri. Anak-anak sangat gemar dengan cerita Upin – Ipin, Spongebob, Avatar, Naruto, Marsha and The Bear, Frozen dan kartun-kartun lainnya yang ditayangkan di televisi. Begitu pun remaja-remaja yang lebih menggandrungi drama korea maupun film- film seperti Spiderman, Harry Potter, Batman ketimbang cerita asli daerah seperti Malin Kundang, Timun Mas, Roro Jonggrang, Ande-ande Lumut, dan lain sebagainya. Selain itu dalam hal permainan mereka lebih menyukai kartu remi, puzzle UNO, dan permainan lainnya dari PS atau komputer hingga game online ketimbang permainan asli daerah kita seperti engklek, gobak sodor, dakonan, gundu, egrang dan lain sebagainya.

2. Paragraf induktif

Paragraf induktif adalah paragraf yang posisi gagasan pokok atau kalimat utamanya di akhir sebuah paragraf dan bersifat induksi. Kata induksi asalnya dari bahasa latin : duxi, ducere, ductum yang artinya membawa ke; atau memasukan kedalam. selanjutnya istilah induksi dapat dijelaskan dengan metode pemikiran yang berasal dari hal yang khusus untuk menentukan simpulan atau hukum di akhir paragraf. Karena kalimat-kalimat atau pernyataan khusus dapat berupa penjabaran dan contoh-contoh, dan pernyataan umum itu berupa hukum atau simpulan, sehingga paragraf induktif berkembang dari contoh dan rincian menjadi simpulan.

Contoh wacana yang menggunakan paragraf induktif :

Tidak dapat dipungkiri bahwa fenomena yang sekarang sedang berkembang adalah cerita – cerita dari luar negeri lebih familiar bagi anak-anak diantaranya cerita Upin – Ipin, Spongebob, Avatar, Naruto, Marsha and The Bear, Frozen dan kartun-kartun lainnya yang ditayangkan di televisi. Begitu pun remaja-remaja yang lebih menggandrungi drama korea maupun film- film seperti Spiderman, Harry Potter, Batman ketimbang cerita asli daerah seperti Malin Kundang. Timun Mas, Roro Jonggrang, Ande-ande Lumut, dan lain sebagainya. Selain itu dalam hal permainan mereka lebih menyukai kartu remi, puzzle UNO, dan permainan lainnya dari PS atau komputer hingga game online ketimbang permainan asli daerah kita seperti engklek, gobak sodor, dakonan, gundu, egrang dan lain sebagainya. Hal-hal di atas mengindikasikan bahwa sekarang ini kebudayaan luar lebih disukai dan menjadi kiblat untuk anak – anak maupun para remaja Indonesia.

3. Paragraf deduktif-induktif

Paragraf deduktif-induktif merupakan perpaduan antara paragraf deduktif dengan paragraf induktif. Paragraf deduktif-induktif ini, posisi gagasan pokok atau kalimat utamanya di awal dan akhir sebuah paragraf. Sebuah wacana yang menggunakan jenis paragraf ini dikembangkan dengan kalimat yang bersifat umum di awal paragraf dan akhir paragraf sedangkan kalimat-kalimat yang berada di tengah paragraf (diantara kalimat awal dan kalimat akhir) sifatnya khusus berupa rincian atau contoh-contoh.

Contoh wacana yang menggunakan paragraf deduktif-induktif:

Zaman sekarang kebudayaan Indonesia telah berangsur – angsur punah. Anak-anak akrab dan hafal dengan kebudayaan luar negeri. Anak-anak sangat gemar dengan cerita Upin – Ipin, Spongebob, Avatar, Naruto, Marsha and The Bear, Frozen dan kartun-kartun lainnya yang ditayangkan di televisi. Begitu pun remaja-remaja yang lebih menggandrungi drama korea maupun film- film seperti Spiderman, Harry Potter, Batman ketimbang cerita asli daerah seperti Malin Kundang, Timun Mas, Roro Jonggrang, Ande-ande Lumut, dan lain sebagainya. Selain itu dalam hal permainan mereka lebih menyukai kartu remi, puzzle UNO, dan permainan lainnya dari PS atau komputer hingga game online ketimbang permainan asli daerah kita seperti engklek, gobak sodor, dakonan, gundu, egrang dan lain sebagainya. Hal-hal di atas mengindikasikan bahwa kebudayaan luar lebih disukai dan menjadi kiblat untuk anak – anak maupun para remaja Indonesia.

4. Paragraf Ineratif

Paragraf ineratif adalah paragraf yang posisi gagasan pokok atau kalimat utamanya di tengah sebuah paragraf. Sebuah wacana yang menggunakan jenis paragraf ini dikembangkan dengan kalimat yang bersifat khusus di awal paragraf dan akhir paragraf isinya berupa rincian atau contoh-contoh sedangkan kalimat-kalimat yang berada di tengah paragraf (diantara kalimat awal dan kalimat akhir) sifatnya umum.

Contoh wacana yang menggunakan paragraf ineratif:

Anak-anak zaman sekarang lebih gemar dengan cerita Upin – Ipin, Spongebob, Avatar, Naruto, Marsha and The Bear, Frozen dan kartun-kartun lainnya yang ditayangkan di televisi. Begitu pun remaja-remaja yang lebih menggandrungi drama korea maupun film- film seperti Spiderman, Harry Potter, Batman. Budaya asli indonesia sudah berangsur-angsur punah. Cerita asli daerah seperti Malin Kundang Timun Mas, Roro Jonggrang, Ande-ande Lumut, dan lain sebagainya secara senggaja ditinggalkan. Selain itu dalam hal permainan mereka lebih menyukai kartu remi, puzzle UNO, dan permainan lainnya dari PS atau komputer hingga game online ketimbang permainan asli daerah kita seperti engklek, gobak sodor, dakonan, gundu, egrang dan lain sebagainya.

Jenis Paragraf Berdasarkan Kontennya​

Jenis jenis paragraf berdasarkan kontennya sangat banyak digunakan, terutama bagi anda yang ingin menjadi jurnalis.

1. Paragraf naratif

Paragraf naratif adalah paragraf yang kontennya berhubungan dengan jenis wacana narasi. Narasi adalah tipe wacana yang berisi kejadian atau kisah. Secara etimologis, naratif berasal dari bahasa latin yaitu narrare berarti menceritakan atau bercerita, narratio berarti penceritaan serta narrativus berarti bersifat penceritaan.

Contoh wacana yang menggunakan paragraf naratif :

Pak Rudi adalah salah satu guru honorer di Kabupaten Grobogan yang setiap hari mengajar di SD N 1 Karangrejo. Pekerjaan tersebut tetap ia lakukan hingga siang hari. Dari pekerjaannya sebagai guru honor tersebut ia hanya mendapatkan balas jasa sebesar Rp. 500.000,00, sesuai UMP guru di Kabupaten Grobogan. Meskipun begitu, Pak Rudi menjalaninya dengan penuh keikhlasan demi mengamalkan ilmu-ilmunya.

2. Paragraf deskriptif

Paragraf deskriptif adalah paragraf yang kontennya berhubungan dengan jenis wacana deskripsi. Wacana deskripsi adalah tipe wacana yang berisi penggambaran atau pemaparan dengan jelas, rinci dan lengkap mengenai suatu hal, baik seseorang, suasana, benda, tempat, sifat, hewan maupun tumbuhan tertentu. Secara etimologis deskriptif berasal dari bahsa latin yaitu describere berarti membuat gambaran dan descriptio artinya pembeberan atau penggambaran.

Dalam mengembangkan paragraf ini penulis menjabarkan sesuatu secara lengkap, cermat dan terperinci. Sehingga pembaca mendapatkan gambaran jelas tentang hal yang diceritakan.

Contoh wacana yang menggunakan paragraf deskriptif :

Langit Grobogan mulai terang. Walau jalan raya sempit, tidak sedikit kendaraan yang memadatinya dan terdengar menderu. Anak sekolah memdominasi jalanan tersebut. Pekerja pun turut meramaikan jalanan dengan terburu-buru. Perlahan keramaian kendaraan di jalan berkurang hingga siang hari. Meskipun jalanan sempit namun pepohonan di sekitar jalanan meneduhi para pengguna jalan.

3. Paragraf ekspositori

Paragraf ekspositori adalah paragraf yang kontennya berhubungan dengan jenis wacana ekspositori. Wacana ekspositori adalah tipe wacana yang berisi penjelasan, membentangkan dan pemaparan akan sesuatu, sehingga pembaca memdapatkan pengetahuan dan wawasan yang telah disampaikan penulis.

Ekspositori berasal dari bahasa latin yaitu exponere yang berarti membentangkan atau memaparkan. Dalam memaparkannya, penulis menyebutkan contoh, proses atau bukti-bukti konkret terhadap sesuatu.

Contoh wacana yang menggunakan paragraf ekspositori :

Kabupaten Grobogan menjadi kabupaten terluas urutan kedua di Provinsi Jawa Tengah setelah Cilacap. Awalnya kabupaten Grobogan beribukota di Kecamatan Grobogan namun kemudian berpindah ke Kecamatan Purwodadi. Makanan khas daerah ini ialah becek. Beberapa tempat wisata yang bisa kita kunjungi di Kabupaten Grobogan diantaranya Kedung Ombo, Pemandangan Jatipohon, api abadi mrapen dan Bledug Kuwu.

4. Paragraf argumentatif

Paragraf argumentatif adalah paragraf yang kontennya berhubungan dengan jenis wacana argumentasi. Wacana argumentasi adalah tipe wacana yang berisi pendapat, pembuktian, pendirian, gagasan, dalih, dasar atau hujah terhadap sesuatu.

Argumentatif berasal dari bahasa Latin yaitu rguere berarti membuktikan atau meyakinkan seseorang dan argumentatio berarti pembuktian. Dalam mengembangkan paragraf ini, penulis menjadikan pembaca yakin dengan menyertakan bukti konkret sesuai dengan fakta-fakta yang ada. Sehingga pembaca dapat menyakini argumen penulis.

Contoh wacana yang menggunakan paragraf argumentatif :

Polusi udara terjadi di seluruh negara, bahkan di daerah Grobogan utamanya terjadi di kota purwodadi. Kendaraan bermotor menjadi sumber utama polusi di daerah ini. Hal ini mengakibatkan udara menjadi tercemar. Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Grobogan mencatat bahwa Tahun 2016 terjadi kenaikan tingkat kendaraan dari tahun sebelumnya, berakibat naiknya polutan udara sebanyak 125%.

5. Paragraf persuasif

Paragraf persuasif adalah paragraf yang kontennya berhubungan dengan jenis wacana persuasi. Wacana persuasi adalah tipe wacana yang berisi ajakan, bujukan atau himbauan kepada seseorang dengan memberikan alasan dan prospek bagus bagi yang meyakini, melaksanakan sesuatu, atau membeli benda tertentu.

Contoh wacana yang menggunakan paragraf persuatif :

Slogan Grobogan Bersemi sudah sepatutnya tidak sekedar klaim belaka. Kendaraan bermotor yang bejubel telah merampas udara bersih yang menjadi hak kita sebagai warga Grobogan. Bukan lagi zamannya kita mengkambing hitamkan orang lain. Langkah solutifnya, mari semi kan tumbuhan-tumbuhan hijau di sekitar kita.

Demikian sekilas penjelasan tentang paragraf dalam Bahasa Indonesia. Semoga bermanfaat. Terima kasih.

dari berbagai sumber.
 
Paragraf Campuran

Paragraf campuran adalah paragraf yang mempunyai dua kalimat utama pada awal dan akhir paragraf, kalimat selain itu adalah kalimat penjelas.

Ciri Ciri Paragraf Campuran

Beberapa ciri ciri yang dapat digunakan untuk membedakan paragraf campuran dengan jenis paragraf lainnya adalah:

  1. Terdapat dua kalimat utama
  2. Kalimat pertama terletak di awal paragraf, dan kalimat utama kedua merupakan kesimpulan yang terletak di akhir paragraf
  3. Kalimat penjelas terletak di tengah paragraf
  4. Terdapat pengulangan pada kata kunci dalam kedua kalimat utama
  5. Pola paragraf campuran adalah umum-khusus-khusus-umum
Contoh Paragraf Campuran

Agar lebih memahami paragraf campuran, perhatikan beberapa contoh paragraf campuran berikut. Kalimat yang dicetak tebal adalah kalimat utama dari masing-masing paragraf.

  • Contoh 1
Narkoba masih menjadi jurang kegelapan terbesar bagi masyarakat Indonesia. Peredaran narkoba semakin mengerikan di negeri ini. Banyak orang-orang yang tidak bertanggung jawab membawa narkoba dari luar negeri. Mereka mulai mempengaruhi orang-orang dari golongan bawah hingga golongan atas. Pejabat, artis, bahkan oknum penegak hukum mulai terjebak dalam rayuan palsu narkoba. Hal yang sangat disayangkan adalah para pelajar dan mahasiswa yang juga banyak terjebak narkoba. Pendidikan mereka menjadi kacau. Kehidupan sosial menjadi tidak berjalan baik. Bahkan masa depan pun menjadi suram. Oleh karena itu, kita harus selalu waspada terhadap semua orang terdekat kita agar tidak terjebak dalam jurang kegelapan narkoba.

  • Contoh 2
Korupsi bukan hanya mengenai uang, tetapi bisa juga tentang waktu. Kita sering mendengar ungkapan “time is money“. Ungkapan ini benar karena waktu sama berharganya dengan uang, bahkan lebih berharga dengan uang. Selama ini kita hanya fokus bahwa korupsi pasti selalu berhubungan dengan uang. Tentu saja tidak. Banyak yang tidak menyadari kalau sudah melakukan korupsi waktu. Misalkan saja seorang pengajar. Ketika pengajar tersebut sengaja datang terlambat dan memajukan jam belajar maka itu termasuk ke dalam korupsi waktu. Mereka menggunakan waktu tidak sesuai yang seharusnya. Mereka memanfaatkan waktu demi kepentingan sendiri. Korupsi waktu sama saja dengan sebutan “jam karet”. Istilah ini diartikan tidak tepat waktu atau molor. Jam karet yang masih menjadi kebiasaan di sebagian besar masyarakat harus mulai dibenahi demi mengubah perilaku menjadi lebih baik. Jadi, pandai-pandailah mengatur dan memanfaatkan waktu agar tidak tergolong orang yang korupsi.

  • Contoh 3
Kerusakan jalan berimbas pada lambatnya pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Lambatnya pertumbuhan ekonomi suatu daerah akan berdampak juga terhadap pertumbuhan ekonomi daerah lain. Kerusakan jalan bukan sekedar menjadi masalah bagi pengguna jalan. Proses distribusi barang baik dari daerah ke pusat atau sebaliknya tentu akan menjadi terganggu. Waktu distribusi akan semakin melambat. Keterlambatan distribusi akan menyebabkan barang tidak sesuai pasokan. Jika barang tidak sesuai dengan pasokan maka akan terjadi kelangkaan barang. Harga barang akan meningkat seiring dengan tingginya biaya produksi. Jika hal ini dibiarkan tanpa ada perbaikan maka kondisi ekonomi akan semakin memburuk. Bukan hanya pertumbuhan ekonomi daerah yang terhambat, akan tetapi akan terjadi perlambatan ekonomi skala nasional.

  • Contoh 4
Senada dengan facebook, instagram kini menjadi media unjuk eksistensi penggunanya. Hampir setiap detik pengguna instagram selalu upload gambar atau video kegiatannya. Melalui gambar atau video mereka ingin memperlihatkan atau memberikan info. Atau terkadang hanya ingin diketahui oleh orang lain saja. Melalui info yang dibagikan, followernya akan memberikan komentar atau sekedar like pada postingan mereka. Selain itu, adu mulut atau adu opini juga marak terjadi di instagram. Mereka yang tidak sepaham saling adu opini lewat meme-meme yang dibuat. Komunikasi bahkan dengan orang yang tidak dikenal menjadi lebih cepat dan mudah. Kemudahan dan kecepatan ini dirasa membuat instagram eksis sebagai media unjuk esksistensi yang paling tepat.

  • Contoh 5
Pola hidup yang sehat berperan penting dalam tingkat harapan hidup masyarakat. Di masa yang serba instan ini, masyarakat seringkali tergiur dengan tawaran produk-produk instan, misalnya saja makanan instan hingga perawatan kecantikan instan. Pola hidup dengan berbagai makanan instan tentu sangat tidak sehat. Makanan cepat saji ini sudah tentu rendah nutrisi. Kolesterol, hipertensi, diabetes dan jantung adalah penyakit-penyakit yang saat ini paling banyak diderita. Selain itu, turunnya kesadaran untuk berolahraga, istirahat tidak teratur, kebiasaan merokok, dan minum alkohol sangat buruk bagi kesehatan. Kebiasaan-kebiasaan inilah yang menjadi masalah utama pola hidup masyarakat. Sehingga sangat wajar jika kondisi kesehatan masyarakat masih tergolong buruk. Oleh karena itu, pola hidup yang sehat perlu digalakkan untuk meningkatkan harapan hidup masyarakat.

Demikian. Semoga bermanfaat. Terima kasih :rose:

MD

Dari berbagai sumber
 
Terakhir diubah:
SUDUT PANDANG DALAM MRNULIS CERITA

Sudut Pandang (point of view) adalah elemen yang tidak bisa ditinggalkan dalam membangun cerita pendek. Sudut pandang adalah cara pengarang menempatkan dirinya terhadap cerita, dari sudut mana pengarang memandang ceritanya. Sudut pandangan tokoh ini merupakan visi pengarang yang dijelmakan ke dalam pandangan tokoh-tokoh bercerita. Jadi sudut pandangan ini sangat erat dengan teknik bercerita.

Sudut Pandang adalah salah satu unsur fiksi yang menjadi kunci kesuksesan cerita. Sebelum kita menulis cerita, harus memutuskan untuk memilih dan menggunakan sudut pandang tertentu di dalam cerita yang akan kita buat. Kita harus sudah bisa mengambil sikap naratif, antara mengemukakan cerita dengan dikisahkan oleh seorang tokohnya, atau oleh seorang narator yang diluar cerita itu sendiri.



Jenis Sudut Pandang Dalam Cerita​


Sudut pandang umumnya dibagi kedalam empat jenis diantaranya sebagai berikut ini:

  1. Sudut Pandang Orang Pertama Tunggal

Penulis sebagai pelaku sekaligus narator yang menggunakan kata ganti “aku’.

A. “Aku” sebagai tokoh utama.

Penulis adalah “aku ”sebagai tokoh utama cerita dan mengisahkan dirinya sendiri, tindakan, dan kejadian disekitarnya. Pembaca akan menerima cerita sesuai dengan yang dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan “aku” sebagai narator sekaligus pusat cerita.

Contoh :

Seorang lelaki tua memanggilku sepuluh menit lalu di ruang pribadinya di lantai paling atas pada gedung megah biru dunker, inti kampusku. Dia duduk pongah di kursi busa berukir khas jepara dibalik meja. Senyumnya mahal, semahal kursi itu. Kucoba duduk santai dihadapnya, sambil melirik buku yang tadi dibantingnya. Gagasan, itu tulisan di sudut kanan atas sampul depan. Mendesah sebelum kualirkan mata ke tanda pengenal meja disebelah buku itu, tulisan cerlang bereja Rektor pongah menatapku. Kulengoskan kepala keluar jendela, sementara mulutnya terus mengumpat. Soal buku itu, tentu juga soal aku. (Rektor Itu Ayahmu, Sayang? – Ardyan Amroellah)



Catatan:

Tokoh “aku” tak mungkin mengungkapkan perasaan atau pikiran tokoh lain kecuali dengan perkiraan.

Penulis harus memahami tokoh “aku” sesuai karakternya. Misalnya soal bahasa, perlu dilihat apakah “aku” adalah orang tua atau anak muda. Itu akan mempengaruhi gaya bahasa yang diucapkan.

Mengenali dengan baik karakter “aku” adalah keharusan..



B. “Aku” sebagai tokoh bukan utama.

Penulis adalah “aku ” dalam cerita tapi bukan tokoh utama. Keberadaan “aku” hanya sebagai saksi/kawan tokoh utama. “Aku” adalah narator yang menceritakan kisah yang dialami tokoh lain yang menjadi tokoh utama.



Contoh:

Aku sudah mengetahui wajahnya sejak lama, sejak sekitar dua tahun lalu. Seminggu sekali dia datang ke salon itu, selalu. Aku kerap tertawa saat ingat kali pertama aku melihatnya. Lusuh, kusam, dekil, sama sekali tak berwarna. Tapi aku tahu, dia bak mutiara jatuh dalam kotoran dan ketakberuntungan. Tinggal membasuhnya saja sebelum moncernya kembali. Dan rupanya dia tahu bagaimana cara memelihara diri. Terbukti, tak ada tanda kekusaman yang muncul. Aih, aku jadi iri. (Mimpimu Apa? – Ardyan Amroellah)



Catatan:

Teknik ini hampir mirip dengan Sudut Pandang Orang Ketiga. Hanya saja narator ikut terlibat sebagai tokoh.

“Aku” hanya mengomentari apa yang dilihat dan didengar saja. “Aku” bisa mengungkap apa yang dirasakan atau dipikirkan tokoh utama, tapi hanya berupa dugaan dan kemungkinan berdasar apa yang “aku” amati dari tokoh utama.



  1. Sudut Pandang Orang Pertama Jamak

Ini mirip dengan Sudut Pandang Orang Pertama Tunggal, hanya saja menggunakan kata ganti “kami”. Narator menjadi seseorang dalam cerita yang bicara mewakili beberapa orang atau sekelompok orang.
Contoh:
Siang itu kami berkerumun di teras masjid, membahas isu hangat yang merebak di pondok. Secara beruntun, barang-barang kami hilang. Mi instan, uang, buku, hingga celana dalam. Hal terakhir itu sangat keterlaluan. Ajaibnya, kami berempat sama. Celana dalam kami habis. Percayalah, hanya sarung yang kami pakai saat ini. (Ronaldo Dari Brazil – Anin Mashud)

  1. Sudut Pandang Orang Kedua

Penulis adalah narator yang sedang berbicara kepada kata ganti “kamu” dan menggambarkan apa yang dilakukan “kamu” atau “kau” atau “anda”.
Contoh:
Ini hari pertamamu masuk kerja. Harus sempurna! Maka jadi sejak tiga sejam lalu, kau sibuk bolak-balik di depan cermin. Mengecek baju, rambut, sampai riasan di wajahmu. Lalu setelah kau memulaskan lipgloss sebagai sentuhan final yang kau rasa akan memesona teman-teman barumu di kantor nanti, kau mengambil parfum. Menyemprotkannya di belakang telinga, pergelangan tangan, selangkangan, dan ke udara. Sedetik berikutnya, kau melewati udara beraroma lili dan lavender itu, berharap supaya wanginya menempel di rambut dan blazer barumu. (Novel The Girls’ Guide to Hunting and Fishing – Melissa Bank)
Catatan;

Pembaca diperlakukan sebagai pelaku utama sehingga membuatnya menjadi merasa dekat dengan cerita karena seolah menjadi tokoh utama

Penulis harus konsisten tak menyebut “aku” untuk berbicara dengan tokoh utama.

  1. Sudut Pandang Orang Ketiga Tunggal.

Penulis ada di luar cerita tak terlibat dalam cerita. Penulis juga menampilkan para tokoh dengan menyebut namanya atau kata ganti “dia”.

  • Sudut Pandang Orang Ketiga Mahatahu.

    Penulis seperti Tuhan dalam karyanya, yang mengetahui segala hal tentang semua tokoh, peristiwa, tindakan, termasuk motif. Penulis juga bebas berpindah dari satu tokoh ke tokoh lain. Bahkan bebas mengungkapkan apa yang ada dipikiran serta perasaan para tokohnya.


    Contoh:
    “Ibrahim?!”
    “Ya, Ibrahim. Seperti itulah tugasnya setelah dipanggil pulang…”
    Jawaban itu tak memuaskan, Ranju masih dliputi ketakpercayaan saat si guide bertudung memintanya melanjutkan jalan. Secepat Ranju berkedip, secepat itu Ranju menjumpai pantai di matanya. Dan itu membuat Ranju mulai percaya ini tak dunia? Tidak, hatinya masih penuh logika. Meski Ranju ingat, dia tadi berjalan diatas air, dia tadi menghirup susu di parit kecil pinggir jalan, dia tadi menatap wanita–wanita elok yang menyapa genit. Ranju bermain–main di pikiran sampai–sampai si guide bertudun menyentak lengannya. Ranju terpaku diluar pagar sebuah rumah kecil serupa rumah keluarga Amerika kelas menengah. (Lelaki Di Tengah Lapangan – Ardyan Amroellah)

  • Sudut Pandang Orang Ketiga Terbatas.

    Penulis melukiskan segala apa yang dialami tokoh hanya terbatas pada satu orang atau dalam jumlah yang sangat terbatas. Penulis tak leluasa berpindah dari satu tokoh ke tokoh lainnya. Melainkan terikat hanya pada satu atau dua tokoh saja.


    Contoh:
    Selalu ada cita di dalam benaknya, untuk mabuk dan menyeret kaki di tengah malam, menyusuri Jalan Braga menuju penginapan. Dia akan menikmati bagaimana lampu-lampu jalan berpendar seperti kunang yang bimbang; garis-garis bangunan pertokoan yang berderet tak putus acap kali menghilang dari pandangan; dan trotoar pun terasa bergelombang seperti sisa ombak yang menepi ke pantai. (Lagu Malam Braga – Kurnia Effendi)

  • Sudut Pandang Orang Ketiga Objektif

    Narator melukiskan semua tindakan tokoh dalam cerita namun tak mengungkapkan apa yang dipikirkan serta dirasakan oleh tokoh cerita. Penulis hanya boleh menduga apa yang dipikirkan, atau dirasakan oleh tokoh ceritanya.


    Contoh:
    Si lelaki tua bangkit dari kursinya, perlahan mengeluarkan pundi kulit dari kantung, membayar minuman dan meninggalkan persenan setengah peseta. Si pelayan mengikutinya dengan mata ketika si lelaki tua keluar. Seorang lelaki yang sangat tua yang berjalan terhuyung tetapi tetap dengan penuh harga diri.
    “Kenapa tak kau biarkan saja dia minum sampai puas?” tanya si pelayan lain. Mereka berdua menurunkan semua tirai. “Belum jam setengah dua.” lanjutnya.
    “Aku ingin cepat pulang dan tidur.” (Tempat yang Bersih Terang – Ernst Hemingway)


  1. Sudut Pandang Orang Ketiga Jamak

Penulis menuturkan cerita berdasarkan persepsi atau kacamata kolektif. Penulis akan menyebut para tokohnya dengan menggunakan kata ganti orang ketiga jamak; “mereka”.

Contoh:
Pada suatu hari, ketika mereka berjalan-jalan dengan Don Vigiliani dan beberapa anak lelaki dari kelompok pemuda. Dalam perjalanan pulang, mereka melihat ibu mereka di sebuah kafe di pinggir kota. Dia sedang duduk di dalam kafe itu; mereka melihatnya melalui sebuah jendela dan seorang pria duduk bersamanya. Ibu mereka meletakkan syal tartarnya di atas meja. (Ibu – Natalia Ginzburg).



  1. Sudut Pandang Campuran

Penulis menempatkan dirinya bergantian dari satu tokoh ke tokoh lainnya dengan sudut pandang yang berbeda-beda. “aku”, “kamu”, “kami”, “mereka”, dan atau “dia”.

Catatan:

Biasanya teknik ini dipakai dalam cerita yang membutuhkan halaman banyak. Perlu ketelitian dalam setiap fragmen saat penulis mengubah sudut pandang.

SUDUT PANDANG ORANG KEDUA: PENJELASAN KHUSUS

Dibandingkan unsur–unsur pembentuk cerita lainnya, penulis–penulis Indonesia cenderung lambat dalam mengeksperimen dan membarui penggunaan sudut pandang dalam penerapannya pada karya. Selama ini secara umum kita hanya mengenal dua macam sudut pandang, yaitu Sudut Pandang Orang Pertama dan Sudut Pandang Orang Ketiga. Sama sekali tak ada teori dan penggunaan Sudut Pandang Orang Kedua. Mengapa seperti itu? Jawaban semua penulis rata–rata sama. Sulit.



Sebagai gambaran singkat. Misalnya seseorang yang bernama Andi, bercerita kepada temannya, Budi. Ada dua kemungkinan: Andi menceritakan dirinya dengan berkata, “Pagi ini aku berangkat pagi.” Dalam hal ini, Andi menggunakan sudut pandang orang pertama (aku). Kemungkinan kedua, Andi menceritakan orang lain. Misalnya dengan, “Tadi siang dia makan siang.” Di sini, Andi menggunakan sudut pandang orang ketiga (dia).



MUNGKINKAH ANDI BERCERITA KEPADA BUDI TENTANG BUDI?

Dalam keadaan normal, kejadian semacam ini mustahil terjadi sebab apa yang dialami Budi tentunya Budi sendiri yang lebih tahu. Hal itu seperti mengharapkan dalang bercerita soal Arjuna kepada Arjuna yang menontonnya. Jelas Arjuna lebih tahu kisah dirinya sendiri dibanding dalang. Itu jika normal. Jika tak normal apakah bisa? Dan bagaimana praktiknya jika bisa?



Kembali ke pengandaian diatas. Jawabannya adalah bisa saja ketika Arjuna kehilangan informasi tentang dirinya atau kejadian yang dialaminya, karena mungkin dia pingsan atau tidur, lalu Arjuna minta keterangan dalang sehingga dalang akan menginformasikan, “Waktu tidur tadi kau berjalan keluar kamar, tapi matamu meram.” Kondisi terakhir ini dapat melahirkan sudut pandang orang kedua (kau, kamu) asalkan dalang konsisten tak menyebut dirinya sebagai “aku”.



Dalam bentuk cerita, pembaca hanya akan melihat Arjuna yang disapa dengan kata ganti ”kau”, sedangkan dalang tak terlihat dan dianggap oleh pembaca sebagai penulis cerita. Jika dalang tergoda untuk memasukkan dirinya ke dalam peristiwa, misalnya dengan menambahkan, “Lalu aku menepuk pundakmu,” maka sudut pandang berubah menjadi orang pertama. Tetapi sudut pandang akan tetap orang kedua jika dalang menceritakan dirinya tidak dengan kata ganti orang pertama, misalnya dengan mengatakan, “Lalu seseorang menepuk pundakmu.”



Dari pengertian ringkas di atas, dapat dimengerti jika sudut pandang orang kedua jarang sekali dipraktikkan oleh para penulis. Tapi bukan berarti tak ada. Coba baca Dadaisme karya Dewi Sartika, Cala Ibi karya Nukila Amal, dan Kabar Buruk dari Langit buatan Muhiddin M. Dahlan. Meski sudut pandang orang kedua pada ketiga novel ini tidak utuh atau tidak sepenuhnya dipakai dalam keseluruhan novel.



Sudut pandang yang digunakan dalam sastra biasanya hanya sudut pandang orang pertama dan orang ketiga. Untuk sudut pandang orang pertama dibagi dua yaitu sudut pandang orang pertama sebagai pelaku utama dan orang pertama sebagai pelaku sampingan. Sedangkan sudut pandang orang ketiga dibagi dua yaitu orang ketiga sebagai mahatahu/serbatahu dan orang ketiga sebagai pengamat. Jadi sudut pandang orang ketiga pelaku utama dan orang ketiga pelaku sampingan tidak ada.

Demikian. Semoga bermanfaat :rose:

MD
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Request Linguistik Transformasional hu haha
sebelum membahas Linguistik Transformasional, sebaiknya kita bahas dulu sejarah linguistik secara umum, ya. Nanti saya cari bahan pembahasannya.

makasih atas kunjungannya. :ampun:
 
Sejarah singkat Linguistik dan Alirannya​

Dalam sejarah perkembangannya, linguistik dipenuhi dengan berbagai aliran, paham, pendekatan, dan teknik penyelidikan yang dari luar tampaknya sangat ruwet, saling berlawanan, dan membingungkan terutama bagi para pemula. Namun sebenarnya semua itu akan menambah wawasan kita terhadap bidang dan kajian linguistik. Berikut ini adalah beberapa sejarah, perkembangan, paham dan beberapa aliran linguistik dari zaman purba sampai sekarang.

1. LINGUISTIK TRADISIONAL
Istilah tradisional dalam linguistik sering dipertentangkan dengan istilah struktural, sehingga dalam pendidikan formal ada istilah tata bahasa tradisional dan tata bahasa struktural. Tata bahasa tradisional menganalisis bahasa berdasarkan filsafat dan semantik, sedangkan tata bahasa struktural berdasarkan struktur/ciri-ciri formal yang ada dalam suatu bahasa tertentu.
1.1. Linguistik Zaman Yunani (5 SM – 2 SM)
Masalah pokok pada zaman ini adalah :
1. Pertentangan antara fisis dan nomos
2. Pertentangan antara analogi dan anomali
Berikut ini adalah beberapa kaum atau tokoh dalam studi bahasa zaman Yunani :1.1.1. Kaum Sophis (abad ke-5 SM)
Mereka terkenal, karena:
1. Melakukan kerja secara empiris dan secara pasti dengan menggunakan ukuran tertentu
2. Mereka membedakan tipe-tipe kalimat berdasarkan isi dan makna
1.1.2. Plato (429 – 347 SM)
Plato adalah orang pertama yang membedakan kata dalam onoma dan rhema.
Onoma (bentuk tunggal dari onomata), sedangkan rhema (bentuk tunggal dari rhemata)
Onoma dapat berarti : nama, nomina, dan subyek.
Rhema dapat berarti : ucapan, verba, predikat.
8.1.1.3. Aristoteles (384 – 322 SM)
Aristoteles membagi 3 macam kelas kata yaitu onoma, rhema dan syndesmoi. Syndesmoi adalah kata-kata yang lebih banyak bertugas dalam hubungan sintaksis. syndesmoi hampir sama dengan preposisi dan konjungsi.
Aristoteles yang membedakan jenis kelamin kata menjadi 3 yaitu maskulin, feminin dan neutrun.
1.1.4. Kaum Stoik (4 SM)
Kaum Stoik terkenal karena :
1. Mereka membedakan studi bahasa secara logika dan studi secara tata bahasa.
2. Mereka membagi jenis kata menjadi 4, yaitu kata benda, kata kerja, syndesmoi, dan arthoron, yaitu kata-kata yang menyatakan jenis kelamis dan jumlah, dll.
1.1.5. Kaum Alexandrian
Kaum Alexandrian menganut paham analogi dalam studi bahasa. Oleh karena itulah dari mereka kita mewarisi buku tata bahasa yang disebut tata bahasa Dionysius thrax yang lahir lebih kurang tahun 100 SM.
1.2. Zaman Romawi
Studi bahasa pada zaman Romawi merupakan kelanjutan di zaman Yunani. Tokoh-tokoh zaman Romawi antara lain :
1.2.1. Varro dan “De Lingua Latina”
Yang dibicarakan dalam buku De Lingua Latina antara lain:
a) Etimologi, adalah cabang linguistik yang menyelidiki asal-usul kata beserta artinya.
b) Morfologi, adalah cabang linguistik yang mempelajari kata dan pembentukannya. Menurut Varro kata adalah bagian dari ucapan yang tidak dapat dipisahkan lagi dan merupakan bentuk minimum.
Varro membagi kelas kata Latin dalam 4 bagian yaitu :
– Kata benda – Partisipel
– Kata kerja – Adverbium
Kasus bahasa Latin menurut Varro ada 6 buah, yaitu :
1. Nominativus yaitu bentuk primer atau pokok
2. Genetivus yaitu bentuk yang menyatakan kepunyaan
3. Dativus yaitu bentuk yang menyatakan menerima
4. Akusativus yaitu bentuk yang menyatakan objek
5. Vokativus yaitu bentuk sapaan/panggilan
6. Ablativus yaitu bentuk yang menyatakan asal
1.2.2. Institutiones Grammaticae/tata bahasa Priscia
Buku tata bahasa priscia terdiri dari 16 jilid mengenai morfologi dan 2 jilid mengenai sintaksis.
Beberapa segi yang patut dibicarakan mengenai itu, antara lain:
a) Fonologi. Dalam fonologi yang dibicarakan mengenai tulisan/huruf yang disebut litterae. (litterae yaitu bagian terkecil dari bunyi yang dapat dituliskan. Nama huruf-huruf itu disebut figurae, nilai bunyi itu disebut protestas.
b) Morfologi. Dalam bidang ini dibicarakan, antara lain mengenai dictio atau kata. Yang dimaksud dengan dictio adalah bagian yang minimum dari sebuah ujaran dan harus diartikan terpisah dalam makna sebagai satu keseluruhan.
c) Sintaksis. bidang ini membicarakan hal yang disebut oratio yaitu tata susun kata yang berselaras dan menunjukkan kalimat itu selesai.
1.3. Zaman Pertengahan
Studi zaman pertengahan di Eropa mendapat perhatian penuh terutama oleh para filsuf skolastik dan bahasa latin menjadi Lingua Franca. Dari zaman pertengahan ini yang patur dibicarakan dalam studi bahasa, antara lain :
Kaum modistae ini masih pula membicarakan pertentangan antara fisis dan nomor dan pertentangan antara analogi dan anomali.
Tata bahasa spekulativa, merupakan hasil integrasi deskripsi gramatikal bahasa Latin ke dalam filsafat skolastik.
Petrus Hispanus, peranannya dalam bidang linguistik :
a) Dia telah memasukkan psikologis dalam analisis makna bahasa
b) Dia telah membedakan nomen atas 2 macam yaitu nomen substantinum dan nomen adjectivum.
c) Dia yang telah membedakan partes orationes atas categorematik dan syntakgorematik. Yang dimaksud dengan categorematik adalah semua bentuk yang dapat menjadi subyek/predikat, sedangkan syntagorematik adalah semua bentuk tutur lainnya.
1.4. Zaman Renaisans
Zaman Renaisans dianggap sebagai zaman pembukaan abad pemikiran abad modern. Dalam sejarah studi bahasa ada 2 hal zaman ini yang menonjol, yaitu : (1) Selain menguasai bahasa Latin, sarjana-sarjana pada waktu itu juga menguasai bahasa Yunani, bahasa Ibrani dan bahasa Arab, (2) Selain bahasa-bahasa di atas juga bahasa-bahasa Eropa lainnya juga mendapat perhatian dalam bentuk pembahasan, penyusunan tata bahasa, dan malah juga perbandingan.
1.5. Menjelang Lahirnya Linguistik Modern
Sejak awal telah disebut bahwa Ferdinand de Saussure dianggap sebagai Bapak Linguistik Modern. Masa antara lahirnya linguistik modern dengan masa berakhirnya zaman Renaisans ada satu tonggak yang sangat penting dalam sejarah studi bahasa. Tonggak itu adalah dinyatakannya adanya hubungan kekerabatan antara bahasa Sanskerta dengan bahasa-bahasa Yunani, Latin, dan bahasa-bahasa Jerman lainnya.

2. LINGUISTIK STRUKTURALIS
Linguistik strukturalis berusaha mendeskripsikan suatu bahasa berdasarkan ciri atau sifat khas yang dimiliki bahasa itu. Tokoh-tokoh di dalam linguistik strukturalis antara lain :
8.2.1. Ferdinand de Saussure
Ferdinan de Saussure (1857 – 1913) diangap sebagai bapak linguistik modern berdasarkan pandangan-pandangan yang dimuat dalam bukunya Course de Linguistique Generale yang disusun dan diterbitkan oleh Charles Bally dan Albert Schehay tahun 1915.
Pandangan yang dimuat dalam buku tersebut mengenai konsep :
1) Telaah sinkronik dan diakronik, 2) perbedaan langue dan parole, 3) perbedaan sifnifiant dan signifie, dan 4) hubungan sigtagmatik dan paradigmatik.
2.2. Aliran Praha
Aliran ini terbentuk pada tahun 1926 atas prakarsa salah seorang tokohnya yaitu Vilem Mathesius (1882 – 1945).
Dalam bidang fonologi aliran praha inilah yang pertama-tama membedakan dengan tegas akan fonetik dan fonologi. Fonetik mempelajari bunyi-bunyi itu sendiri, sedangkan fonologi mempelajari fungsi bunyi tersebut dalam suatu sistem.
2.3. Aliran Glosematik
Aliran ini lahir di Denmark, tokohnya antara lain Louis Hjemslev (1899 – 1965), yang meneruskan ajaran Ferdinand de Saussure.
Sejalan dengan pendapat de Saussure, Hjemslev menganggap bahasa itu mengandung 2 segi, yaitu segi ekspresi dan subtansi sehingga diperoleh (1) forma ekspresi, (2) substansi ekspresi, (3) forma isi, dan (4) substansi ini.
2.4. Aliran Firthian
John F. Firth (1890 – 1960) sangat terkenal karena teorinya mengenai fonologi prosodi. Fonologi prosodi adalah suatu cara untuk menentukan arti pertataran fonetis. Ada 3 macam pokok prosodi, yaitu :
1) Prosodi yang menyangkut gabungan fonem
2) Prosodi yang terbentuk oleh sendi atau jeda
3) Prosodi yang realisasi fonetisnya melampaui satuan yang lebih besar dari pada fonem-fonem suprasegmental.
2.5. Linguistik Sistemik
Pokok-pokok pandangan systemic linguistics adalah :
1) Fungsi kemasyarakatan bahasa
2) Bahasa sebagai “pelaksana”
3) Pemerian ciri-ciri bahasa tertentu berserta variasi-variasinya
4) Mengenal adanya gradasi dan kontinum
5) 3 tataran utama bahasa yaitu :
– Substansi  bunyi yang kita ucapkan saat kita bicara dan lambang yang kita gunakan saat menulis.
– Forma
– Situasi
2.6. Leonard Bloomfield dan Strukturalis Amerika
Leonard Bloomfield (1877 – 1949) terkenal dengan bukunya yang berjudul Language.
Aliran strukturalis yang dikembangkan Bloomfield dengan para pengikutnya sering juga disebut aliran taksonomi dan aliran Bloomfieldian.
2.7. Aliran Tagmemik
Aliran ini dipelopori oleh Kenneth L. Pike. Menurut aliran ini satuan dasar dari sintaksis adalah tagmem. Tagmem adalah korelasi antara fungsi gramatikal atau slot dengan sekelompok bentuk-bentuk kata yang dapat saling dipertukarkan untuk mengisi slot tersebut.

3. LINGUISTIK TRANSFORMAL DAN ALIRAN-ALIRAN SESUDAHNYA
Berikut ini adalah beberapa model dalam tata bahasa :
8.3.1. Tata Bahasa Transformasi
Tata bahasa transformasi lahir dengan buku Noam Chomsky berjudul Syntatic Structure tahun 1957. Menurut Chomsky tata bahasa harus memenuhi 2 syarat, yaitu:
1. Kalimat yang dihasilkan oleh tata bahasa itu harus dapat diterima oleh pemakai bahasa tersebut.
2. Tata bahasa tersebut harus berbentuk sedemikian rupa, sehingga istilah yang digunakan tidak berdasarkan pada gejala tertentu saja dan harus sejajar dengan teori linguistik tertentu.
Tata bahasa dari setiap bahasa terdiri dari 3 komponen, yaitu :
1. Komponen sintaksis
2. Komponen semantik
3. Komponen fonologis
3.2. Semantik Generatif
Postal, Lakof, Mc Crawly dan Kiparsky adalah tokoh-tokoh yang terkenal dengan sebutan kaum semantik generatif.
Menurut teori generatif semantik, struktur semantik dan struktur sintaksis bersifat homogen, untuk menghubungkan kedua struktur cukup dengan kaidah tranformaai saja.
3.3. Tata Bahasa Kasus
Tata bahasa kasus pertama kali diperkenalkan oleh Charles J. Fillmore dalam karangannya berjudul “The Case for Case” tahun 1968. Dalam karangannya Fillmore membagi kalimat atas :
1) Modalitas (dapat berupa negasi, kala, aspek, adverbia)
2) Proposisi (terdiri dari verba serta kasus)
3) Tata Bahasa Relasional (1970-an)
Sama halnya dengan tata bahasa transformasi, tata bahasa relasional juga berusaha mencari kaidah kesemestaan bahasa.

4. TENTANG LINGUISTIK DI INDONESIA
4.1. Pada awalnya penelitian bahasa di Indonesia dilakukan oleh para ahli Belanda dan Eropa lainnya, dengan tujuan untuk pemerintahan kolonial.
Penelitian bahasa pada zaman kolonial kebanyakan hanya bersifat observasi dan klasifikasi, belum bersifat ilmiah karena belum merumuskan teori.
4.2. Konsep-konsep linguistik modern seperti yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure sudah bergema sejak awal abad XX namun tampaknya gema konsep tersebut tiba di Indonesia pada akhir tahun lima puluhan. Pendidikan formal linguistik di fakultas sastra dan di lembaga-lembaga pendidikan guru sampai akhir tahun lima puluhan masih terpaku pada konsep-konsep bahasa tradisional yang bersifat normatif. Perubahan baru terjadi, lebih tepat disebut perkenalan konsep-konsep linguistik modern. Yang pertama dikenalkan yaitu konsep fonem, morfem, frase dan klausa dalam pendidikan formal linguistik di Indonesia yang sebelumnya konsep tersebut sebagai satuan lingual yang belum dikenal, yang dikenal hanyalah satuan kata dan kalimat.
4.3. Sesuai dengan fungsinya sebagai bahasa nasional, bahasa persatuan dan bahasa negara, maka bahasa Indonesia tampaknya menduduki tempat sentral dalam kajian linguistik dewasa ini, baik dalam negri maupun luar negeri. Secara nasional bahasa Indonesia telah mempunyai sebuah buku tata bahasa baku dan sebuah kamus besar yang disusun oleh pakar yang handal.

From: perkembangan sastra dari masa ke masa

Semoga bermanfaat. Terima kasih :rose:

MD
 
Linguistik Indonesia dari masa ke masa

Linguistik dewasa ini berkembang dengan pesat. Perkembangan tersebut dapat dilihat dari kian banyaknya teori dan penelitian yang telah dihasilkan serta munculnya bermacam gerakan dan aliran. Perkembangan teori-teori tersebut merata pada pelbagai cabang-cabang linguistik, seperti pada fonetik, fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, juga pragmatik. Bukan itu saja, penelitian-penelitian yang dilahirkan dari perkembangan teori tersebut pula semarak dan tumbuh bak jamur di musim hujan.

Perkembangan teori dan makin banyaknya penelitian yang dihasilkan itu tidak terlepas dari gerakan dan aliran yang memayungi dan menyemarakkan dunia linguistik.
Penerbitan dan pengedaran buku-buku serta karya-karya tentang linguistik juga ikut berperan dalam penyebaran dan pengembangan linguistik.

Karya de Saussure Course in General Linguistics, dapat dikatakan menjadi pemicu tumbuh dan berkembangnya linguistik.

Praktik-praktik linguistik sampai dengan tahun 60-an dapat ditandai dengan adanya generalisasi induktif dalam penyelidikan ilmiah. Dengan kata lain, data-data kebahasaan diamati lebih dahulu kemudian disusunlah teori berdasarkan organisasi data tersebut. Namun, hal itu tidak selamanya dilakukan. Dalam penyelidikan linguistik kini, pengamatan juga sarat dengan teori, selain deskripsi dan analisis.

Dalam penelitian ilmiah ada baiknya konsep-konsep yang melatarbelakangi penelitian linguistik tersebut dibedakan sehingga kita dapat melihat secara tajam perbedaan-perbedaan konseptual di balik pemakaian istilah itu. Konsep-konsep tersebut seperti teori, paradigma, tendensi, aliran, dan gerakan. Hal tersebut dimaksudkan agar peneliti mengetahui posisi dan sikapnya dalam kegiatan penelitian.
Untuk mendapatkan pengertian dari teori, paradigma, tendensi, aliran, dan gerakan di atas, berikut ini akan dijelaskan perbedaannya secara singkat.

Teori merupakan sistem yang makin abstrak yang menghasilkan penjelasan, prediksi, rekonstruksi, interpretasi, evaluasi, dan dapat merumuskan kaidah atau hukum. Menurut Verhaar (dalam Sutami, 2001) teori dapat dibagi menjadi dua, yaitu teori yang kurang abstrak dan teori yang abstrak. Teori yang kurang abstrak merupakan ringkasan data dan uraian prosedur penemuan. Teori yang abstrak tidak diperoleh dari data saja, tetapi juga dari penalaran logis, matematis, bahkan juga dapat berdasarkan intuisi peneliti dengan kerangka rujukan tertentu.
Paradigma ialah prestasi ilmiah yang diakui pada suatu masa sebagai model untuk memecahkan maslaah ilmiah. Paradigma bisa disebut sebagai norma ilmiah.

Suatu penelitian yang tidak menggunakan paradigma yang berlaku pada masa tertentu, maka penelitian itu dikatakan tidak ilmiah. Pada tahun 60-an misalnya, paradigma yang menonjol adalah positivisme (objek penelitian terlepas dari subjek). Contoh lain adalah paradigma Plato (bahasa adalah fisei) dan Aristoteles (bahasa adalah tisei).

Tendensi ialah nuansa berpikir yang nampak pada karya-karya ilmiah tertentu yang berasal dari ilmu atau pandangan di luar linguistik. Tendensi itu berupa pengaruh lain di dalam linguistik dan mewarnai cara berpikir sarjana tersebut. Misalnya, karya-karya Chomsky yang bertendensi psikologisme, atau Pike yang bertendensi antropologisme.
Aliran adalah kumpulan sarjana yang berpengaruh pada ajaran atau guru yang sama. Ajaran itu dikembangkan oleh seseorang atas dasar falsafah teori yang dianutnya.

Ajaran itu kemudian dikembangkan dan diikuti orang lain sehingga menjadi aliran. Contoh: aliran Transformasi Generatif merupakan kumpulan sarjana yang berpegang pada ajaran dari Chomsky. Aliran Praha (Trubetzkoy), aliran Tegmemik (Pike).

Gerakan adalah cara berpikir yang tidak diarahkan oleh tokoh atau kelompok tertentu yang menajdi dasar menyeluruh kegiatan ilmiah tertentu bagi aliran atau tokoh yang berlainan. Gerakan bisa berupa teori, falsafah, atau pandangan umum yang memayungi aliran tertentu. Mislanya, gerakan Generativisme memayungi aliran Transformasi Generatif.

Linguistik Indonesia

Istilah linguistik dapat dipahami secara luas dan sempit. Dalam pengertian luas, konsep ini menjangkau segala sesuatu yang membicarakan bahasa, apapun pendekatan dan tujuannya. Dalam pengertian sempit, linguistik hanya mencakup karya penelitian dan teoretis saja. Penggunaan pengertian luas dan sempit itu untuk memudahkan wacana ilmiah karena yang namanya keilmiahan itu adalah konsep berjenjang. Karya Raja Ali Haji (1856) bisa digolongkan sebagai karya linguistik ilmiah karena merupakan prestasi kebahasaan pada zamannya meskipun karya pedagogis. Justru kita akan membuat kesalahan sangat fatal jika meremehkan dan mengatakan karya itu sebagai karya tidak ilmiah.

Dalam perkembangan teori linguistik di Indonesia bidang yang paling banyak diminati adalah gramatik, khususnya sintaksis. Hal itu disebabkan karena kajian linguistik Indonesia tumbuh dari perhatian pada pemakaian bahasa khususnya tata bahasa (gramatika pedagogis). Kalau linguistik Eropa lahir dari filsafat, linguistik India dan Arab lahir dari Agama, maka linguistik Indonesia lahir dari pengajaran bahasa (lihat Kridalaksana, 1995).

Teori Linguistik di Indonesia

Teori linguistik di Indonesia banyak dipengaruhi oleh linguistik Barat (Eropa-Amerika) karena dari sanalah para linguis banyak belajar tentang linguistik. Secara umum, perkembangan linguistik di Indonesia dapat dibagi ke dalam bebera periode berikut ini.

1. …sampai 1940

Sampai akhir abad 19 yang disebut tata bahasa adalah kelas kata sehingga buku-buku tata bahasa banyak mengulas tentang hal tersebut. Hal itu karena banyak mendapat pengaruh tata bahasa tradisional model Yunani dan Latin. Beberapa buku tata bahasa tertua tentang bahasa melayu antara lain:

a. Grondt of te Kort Bericht van de Maleysche Tale, Vervat in Twee Deelen: Her Eerste handelende van de Letters ende haren aenhanh. Het andere van de deelen eener Redene (1653) karya Joannes Roman. Buku ini digunakan sebagai sarana misionaris Kristen melalui penerjemahan Injil.

b. Bustanulkatibin (1850) dan Kitab Pengetahuan Bahasa (1858/1929) karangan Raja Ali Haji, seorang sastrawan dan linguis asal Riau.

c. Kitab jang Menyatakan Djalan Bahasa Melajoe (1910) karya Koewatin Sasrasoeganda.

d. Maleische Spraakkunst (1915) karya Ch. A van Ophuysen. Buku ini mulai menggunakan pendekatan filologi.

e. Kitab ABC karangan Lim Kim Hok. Buku ini berisi tata bahasa Melayu Rendah yang pada saat itu merupakan lingua franca.

2. Tahun 40-an sampai 60-an
Pada periode ini karya-karya kebahasaan dapat dibagi atas tata bahasa pedagogis (digunakan untuk pengajaran bahasa Indonesia di sekolah) dan tata bahasa teoretis. Contoh karya-karya pedagogis adalah:

a. Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (1949-1950) karya STA yang banyak berpengaruh pada pengajaran bahasa Indonesia.
b. Tata Bahasa Indonesia (1951) karya C.A. Mees.
c. Djalan bahasa Indonesia (1942) karya Sutan M. Zain.

Penelitian yang bersifat ilmiah dan teoretis belum berkembang pesat pada periode ini namun beberapa buku berusaha mengungkap sisi lain bahasa Indonesia secara ilmiah, misalnya:

a. Mencari Sendi Baru Tata Bahasa Indonesia (1950) karya Armin Pane. Karya ini menekankan aspek bunyi.
b. Inleiding tot de Studie van de Indonesische Syntaxis (1951) yang diterjemahkan menjadi Pengantar Sintaksis Bahasa Indonesia. Buku karya Fokker ini mendapat pengaruh aliran Praha.
c. Kaidah Bahasa Indonesia (1956-1957) karya Slametmuljana ini bersifat generatif.

3. Tahun 60-an sampai 70-an
Periode ini menandai dimulainya kajian-kajian empiris tentang bahasa Indonesia maupun bahasa-bahasa lain. Contoh karya-karya yang muncul antara lain:
a. artikel tentang fonologi bahasa Jawa dan sistem fonem dan ejaan (1960) oleh Samsuri.
b. Artikel tentang morfem-morfem produktif (1960) oleh TW. Kamil dan Sugeng Sikarso.
c. Artikel tentang IC Analysis (1964) dan kata majemuk (1965) dengan menggunakan model IA oleh Ramlan.
Ciri-ciri penelitian pada saat itu adalah:
– dipengaruhi gerakan deskriptivisme
– menganut aliran Neo-Bloomfieldian dan bersifat behavioristik
– ketat dalam metodologi
– bahasa lisan menjadi objek utama.

4. Tahun 70-an sampai 80-an
Antara tahun tersebut teori linguistik Indonesia ditandai penerapan teori aliran Leiden, dan teori TG. Penelitian linguistik mulai berkembang dan banyak mendapat pengaruh dari aliran-aliran tersebut. Para sarjana yang mencoba menerapkan teori deskriptif Leiden antara lain Muhajir, Badudu, Ayatrohaedi, dan Tarigan.
Para sarjana yang mendapat beasiswa Ford Foundation juga mulai menerapkan teori TG, mislanya Samsuri (yang sebelumnya beraliran Neo-Bloomfieldian) beralih ke TG. Salah satu karyanya Tata Kalimat Bahasa Indonesia (1985). Ada juga sarjana yang melakukan penelitian bersifat fungsionalistis, misalnya Sudaryanto, dalam karyanya Predikat-Obyek dalam Bahasa Indonesia (1979).
Hal baru yang diperkenalkan dalam sistem bahasa Indonesia adalah mengenai wacana sebagai satuan terbesar dalam hierarki gramatikal. Konsep ini diperkenalkan Kridalaksana (1970 dan 1978).

5. Tahun 80-an sampai 90-an
Pada periode ini perkembangan teori linguistik merupakan sintesis atas teori-teori yang ada. Penelitian dalam bidang pragmatik mulai mendapat tempat cukup penting dalam penelitian linguistik Indonesia.

Selain itu, Kridalaksana mengupayakan dibangunnya sebuah teori sintaksis yang merupakan sebuah sintesis dengan dipengaruhi oleh gerakan fungsionalisme. Selain hal itu, beberapa kegiatan ilmiah, seminar, lokakarya, dan semacamnya diselenggarakan guna mendorong perkembangan linguistik di Indonesia.
Kemajuan yang dicapai sepanjang sejarah linguistik Indonesia dalam beberapa bidang kajiannya antara lain:

1. Bidang fonologi
a. masuknya konsep fonem (tahun 70-an)
b. masuknya wawasan tentang unsur suprasegmental oleh Amran Halim, Intonasi (1969), dan Hans Lapoliwa (1981) dengan fonologi generatifnya.
c. Usaha memahami lafal bahasa Indonesia oleh Joko Kencono (1983).

2. Bidang morfologi
a. masuknya konsep morfem (tahun 60-an)
b. pemakaian Model IA
c. penggunaan Model IP

3. Bidang Sintaksis
a. pengenalan konsep hierarki gramatikal dalam linguistik Indonesia.
b. Pengenalan konsep frasa menggunakan teori Hockett (aliran Neo-Bloomfieldian) oleh Ramlan (1964)
c. Pengenalan teori tagmemik oleh Kridalaksana (70-an)
d. Sudaryanto (1979) mempertajam konsep klausa.

4. Bidang leksikografi
Muncul seorang pelopor leksikografi modern Indonesia, yaitu W.J.S. Poerwadarminta. Kamusnya yang terkenal adalah Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952). Selain itu ia juga menaruh perhatian pada bahasa Jawa dan Jawa Kuno.

Perkembangan linguistik malahan semakin meriah pada tahun 2000 hingga sekarang ini dengan munculnya beragam bidang dan pendekatan kajian linguistik yang dilakukan di pelbagai universitas di Indonesia. Ada juga kecendrungan beberapa tahun terakhir penelitian linguistik berorientasi pada eksplorasi bidang pragmatik bahasa Indonesia. Hal itu bisa dilihat dari seringnya muncul tulisan-tulisan (jurnal, makalah, artikel, tesis, atau disertasi) yang menggali secara khusus pragmatik bahasa Indonesia. Saya menduga-duga barangkali ini karena dipicu oleh kolom bahasa Indonesia di harian Media Indonesia yang diasuh oleh Rahardi yang banyak menjawab permasalahan pragmatik. Namun, untuk mengetahui perkembangan mutakhir linguistik Indonesia saat ini diperlukan survei lagi yang lebih mendalam.

Daftar Bacaan
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Kridalaksana, Harimurti. 1991. “Perkembangan Linguistik Dewasa Ini.” Atma nan Jaya, Tahun IV No. 2, Agustus.
Kridalaksana, Harimurti. 1995. “Teori Linguistik di Indonesia dalam Beberapa Dasawarsa Terakhir ini.” Atma nan Jaya, Tahun III. No. 1, April.
Suhardi, Basuki. 2005. “Tokoh-tokoh Linguistik Abad ke-20.” Dalam Pesona Bahasa Langkah Awal memahami Linguistik. (ed) Multamia Luder. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sutami, Hermina. 2001. Sintaksis Lanjutan. Diktat Mata Kuliah Sintaksis Program Magister Linguistik Pascasarjana Universitas Indonesia Depok.

Makalah seminar Unesa
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd