Catatan Sepakbola
Tentang Kekalahan Indonesia dari Bahrain
Jakarta - Harapan itu kembali tak terpuaskan, bukan di Teheran melainkan di Senayan. Indonesia kalah dari Bahrain dalam pertandingan yang sempat dihentikan wasit gara-gara ulah sebagian suporter yang bandel.
Faktanya, sepakbola Indonesia masih belum banyak berubah. Tak apa-apa. Kita memang masih dalam periode transisi. Perubahan yang sudah terjadi baru di level pergantian pengurus PSSI -- dan ekspektasi masyarakat yang kian hari kian meninggi, terutama ketika yang akan bertanding adalah tim nasional.
Ekspektasi itu bagus, bahkan perlu untuk sebuah motivasi. Tapi jika tidak dibarengi dengan sikap obyektif dan realistis, apalagi sampai menjadi ekspektasi yang membabi-buta, tanpa melihat permasalahan secara komprehensif, jangan-jangan ekspektasi itu akan terus membuat kita "lemas" dan ujung-ujungnya kembali menggerutu dan mengeluh: "Ah, kalah lagi, kalah lagi."
Mungkin itulah potret sebagian masyarakat sepakbola kita. Kita mudah mabuk oleh sebuah keberhasilan "kecil", tapi tak segera memperbaiki hal-hal yang lebih fundamental karena sudah (sempat) berhasil, dan jika begitu, kegagalan melulu dikait-kaitkan dengan nostalgia.
Pelatih:
Setelah Indonesia bermain buruk dan kalah 0-2 dari Bahrain kemarin malam di Gelora Bung Karno, Wim Rijsbergen, yang belum seumur jagung menukangi skuad 'Garuda', dicap sudah gagal karena sebelumnya juga kalah 0-3 dari Iran. Berdengung pula suara-suara yang menginginkan Alfred Riedl kembali direkrut sebagai pelatih.
Menurut hemat penulis, ini "basi". Kita terlalu memanjakan keinginan, selalu ingin cepat jadi. Kalah dua-tiga kali, pelatih harus dipecat, seolah-olah Indonesia adalah Inggris, Brasil, Chelsea atau Real Madrid, seakan-akan faktor besar yang menentukan mutu tim itu cuma pelatih.
Riedl -- katakanlah -- memang pelatih yang bagus. Gayanya yang keras, disiplin, bahkan jarang tertawa, cepat disukai. "Pemain kita memang harus dikerasi," begitu kesimpulan sederhananya. Ia memang membuat masyarakat Indonesia mengalami euforia di Piala AFF, membangun fondasi tim yang sangat baik. Bahwa dia sesungguhnya tidak memberi piala di turnamen di level Asia Tenggara itu, seperti pelatih-pelatih sebelumnya, oleh sebagian orang dianggap bukanlah sebuah kegagalan.
Penulis bukannya anti Riedl, tapi mencoba bersikap realistis, dan itu pun lebih ke faktor "nonteknis". Sulit membayangkan PSSI memanggil kembali Riedl setelah mereka mendepaknya begitu saja "tanpa perasaan". Sebaliknya, apa iya Riedl dengan mudah balik ke Indonesia setelah merasa "sakit hati" diperlakukan dengan tidak menyenangkan oleh PSSI.
Soal Rijsbergen, kita belum tahu sebaik apa dia -- atau seburuk apa dia. Tapi dia baru dua bulan bekerja untuk timnas, dan dia sudah membantu Indonesia mengalahkan Turkmenistan sehingga bisa masuk ke babak ketiga Pra Piala Dunia 2014.
Bahwa kemudian Indonesia kalah 0-3 dari Iran, pertanyaannya adalah, apakah sekarang kita sudah sedemikian yakin bisa mengalahkan Iran, yang notabene pernah tiga kali tampil di Piala Dunia dan tiga kali menjuarai Piala Asia? Bukannya merendahkan tim sendiri, bukannya tak berharap juga, tapi faktanya level kita masih di bawah mereka. Sekali lagi, saat ini tingkatan kita masih di Asia Tenggara. Menanjak ke Asia butuh proses lain lagi.
Bahrain di atas kertas lebih lemah daripada Iran. Kita pernah pula mengalahkan mereka di Piala Asia 2007 di Jakarta, walaupun juga kalah 1-3 di Piala Asia 2004. Wajar memang apabila ekspektasi itu membuncah lagi. Sepertinya sebagian besar masyarakat Indonesia sangat yakin Bambang Pamungkas dkk bisa merebut poin penuh kemarin malam.
Yang terjadi kemudian, permainan tim sangat buruk. Apakah itu salah pelatih? Pasti ada. Tapi apakah semata-mata salah pelatih? Tidak mungkin.
"Kita tidak bermain simple football. Kita terlalu bermain individual. Ketika satu pemain berhadapan dengan dua lawan, seharusnya kita mengoper bolanya. Tapi, kita malah menggocek dan akhirnya malah kehilangan bola. Itu kesalahan elementer. Bermain simple football belum ada dalam mind-set kita. Kita tidak bisa menang tanpa possession football. Tanpa possession football, kita tidak akan bisa mencetak gol. Tim-tim terbaik di dunia telah membuktikan hal itu," papar Rijsbergen seusai pertandingan.
Penulis tidak melihat ada yang salah dengan analisis itu. Di lapangan, memang itulah yang terjadi. Artinya, Rijsbergen tahu di mana letak kesalahan permainan malam itu. Artinya, dia tidak bodoh.
Tapi tentu kita juga ingin tahu, seberapa mampu dia mengarahkan pemain-pemainnya supaya melaksanakan instruksi-instruksinya. Satu hal yang terlihat jelas adalah: pelatih Bahrain Peter Taylor nyaris sepanjang pertandingan berada di pinggir lapangan, kerap teriak-teriak pada pemainnya. Rijsbergen tidak begitu, lebih anteng di bangku cadangan. Bagaimana sistem komunikasinya? Ini harus ditanyakan pada orang Belanda itu.
(Intelejensia) Pemain :
Bagaimanapun, sepakbola terjadi di lapangan. Pelatih itu semacam sutradara, tukang mengarahkan. Aktor sesungguhnya adalah pemain, karena mereka-lah yang berada di atas rumput, yang menendang-nendang bola, yang memutuskan ke arah mana bola ditendang, diumpan, dibuang, dan seterusnya.
Kepiawaian dan kejelian pelatih memang faktor sangat penting, tapi intelejensia pemain untuk menerjemahkan taktik pelatih, atau juga kemampuan mereka menjaga konsentrasi dalam keadaan keadaan lelah dan buntu, juga amat vital.
Terkait pertandingan melawan Bahrain, yang membuat penonton pun frustrasi, penulis melihat pemain-pemain Indonesia tak memiliki kecerdasan untuk mencari "rencana B" ketika rencana A" mandeg. Mereka tak bisa menguasai bola di lapangan tengah dan kemudian kebingungan untuk mendapatkan cara buat masuk ke pertahanan lawan.
Celakanya, ada kesan, yang penting bola masuk ke wilayah Bahrain, tak peduli jika itu harus dilakukan dengan cara mengirim umpan lambung jauh, atau mengandalkan crossing dari sayap, padahal kita jelas-jelas tak pernah sekali pun memenangi duel di udara dengan pemain-pemain jangkung Bahrain.
Kecepatan dan kelincahan Boaz pun terlalu diharapkan. Setiap serangan terus saja dialirkan melalui dia. Apa boleh buat, pada akhirnya pemain lawan bisa menemukan cara untuk mengantisipasi gerakan Boaz. Entah kenapa baru di 15 menit terakhir saja permainan "insting" itu bisa dihentikan, dan para pemain mulai berani melakukan tusukan dari tengah, seraya mengurangi bola-bola atas. Tapi ya terlambat.
Apakah itu semua instruksi pelatih? Kalau ya, berarti si pelatih bahkan tak lebih pintar dari penonton. Kalau tidak? Maka pemain memang harus terus belajar mengasah kemampuannya untuk semakin baik.
Intelenjensia pemain sangatlah penting untuk diasah -- seperti juga mentalitas bertanding, yang sering dianggap pula sebagai sebuah kelemahan tim kita selama ini. Pernah ada pertanyaan begini: "Apakah Indonesia akan langsung hebat jika pelatihnya Jose Mourinho atau Pep Guardiola?" Silakan jawab sendiri.
Salah satu cara belajar adalah memperbanyak frekuensi bertanding melawan tim-tim yang berkualitas di level internasional, tidak melulu berkutat di lokal atau ASEAN, biar mereka terbiasa menghadapi berbagai situasi di tengah lapangan.
(Kedewasaan) Suporter:
Bahwa suporter Indonesia itu hebat, penuh gelora dan gegap gempita, dunia bahkan sudah mengetahuinya. Jika fanatisme fansnya tidak sebegitu rupa, mungkin akan lebih sulit lagi mencari berita sepakbola Indonesia di media massa asing. Gelora Bung Karno kini sudah dikenal sebagai salah satu stadion dengan suporter paling "gila" di dunia.
Sayangnya, kedewasaan bersikap belum terpupuk merata. Insiden kembang api dan mercon, yang membuat wasit menghentikan pertandingan selama sekitar 15 menit, memperlihatkan penyakit lama yang kambuhan itu. Belum lagi "kebiasaan" menghujani pemain lawan dengan botol air mineral.
Ini pemandangan yang menyebalkan, mencemari sebuah tontonan yang semestinya bisa dinikmati tanpa perasaan was-was dan cemas, khususnya untuk kalangan penonton anak-anak dan wanita, juga karena perilaku norak seperti itu bisa membuat Indonesia merugi. Kita pernah bersedia menerima sanksi FIFA jika hal itu harus dilakukan supaya bisa menurunkan pengurus PSSI yang busuk. Tapi alangkah lucu dan ironisnya jia sanksi itu pada akhirnya dijatuhkan FIFA gara-gara ulah suporter.
Begitu pula dengan sportivitas kepada tim tamu. Alih-alih memberi apresiasi dengan memberi sedikit tepuk tangan, lagu kebangsaan tim lawan malah disoraki, diteriaki "huu..". Memberi dukungan sebesar-besarnya pada tim kesayangan itu "sesuatu banget", tapi tidak menghormati lagu kebangsaan lawan adalah memalukan.
(Keseriusan) Polisi/petugas keamanan:
Berharap semua penonton berlaku baik, cuma duduk manis di kursi, tidaklah mungkin. Berharap tidak pernah terjadi keributan suporter dalam sebuah pertandingan sepakbola pun agak utopia. Ini soal ratusan ribu orang tumpah ruah di tempat yang sama, dengan segala atribut pribadi dan motif masing-masing. Itu sudah jadi bagian dalam sepakbola itu sendiri.
Tapi untuk mencegah ekses yang lebih buruk, tetap harus ada safety measure. Di stadion, ranah itu ada di petugas keamanan, polisi. Kenapa kita tak pernah belajar dari negara lain, di mana pemeriksaan bawaan penonton sebelum masuk ke dalam stadion dilakukan dengan serius dan ketat, tanpa terkecuali, tanpa kompromi, tanpa pandang bulu, tanpa toleransi apapun.
Tapi di Indonesia selalu begitu: sweeping cuma ada di mulut pejabat kepolisian, ancaman bagi yang membandel cuma sebatas ancaman. Selalu ada celah buat suporter bandel untuk menyusupkan macam-macam benda terlarang ke dalam stadion.
Petugas pun lebih banyak yang ikut "numpang" nonton dengan menghadap ke lapangan ketimbang mengawasi gerak-gerik suporter yang nakal. Jika ada suporter yang melempar, mereka hanya menunjuk-nunjuk, menggertak dari jauh, karena petugas di tengah penonton memang tak ada atau minim (atau takut dengan massa?)
Bagaimana kesadaran untuk menjadi suporter yang baik akan terpupuk secara merata jika reward and punishment dari petugas tidak dijalankan. Kalau you punya tiket, tidak bawa benda macam-macam, silakan masuk ke stadion. Kalau tidak, silakan Anda tunggu di luar -- dan jangan berulah yang macam-macam juga.
(Profesionalitas) Panpel:
Tekad PSSI untuk membenahi berbagai sistem buruk yang pernah dijalani rezim Nurdin Halid masih menunggu pengejawantahannya. Transparansi pemasukan tiket pertandingan timnas, sejauh ini belum dilakukan juga. Sistem pembelian tiket pertandingan pun belum berubah. Soal ini, semestinya sudah ada cara yang lebih menyenangkan konsumen (baca: suporter) ketimbang harus antre sampai dua kali untuk mendapatkan tiket. Apalagi cara ini pun jelas-jelas tidak juga menghilangkan calo, jika itu salah satu tujuannya.
Ketegasan Panpel juga harus diperlihatkan atas nama keadilan. Mereka yang sudah berkorban berjam-jam antre untuk membeli, bahkan datang jauh-jauh dari luar Jakarta, semestinya punya hak lebih dibanding mereka yang tak punya tiket. Apa boleh buat, seringkali mereka yang sudah dilarang masuk pun ujung-ujungnya bisa menerobos juga. Di laga Indonesia-Bahrain, meski panitia dari awal menyatakan cuma akan mencetak 77 ribu tiket, tapi bagaimana mungkin stadion pada akhirnya terisi penuh atas-bawah, dan itu artinya ada 100 ribu orang di sana!
(Komitmen dan kerja keras) PSSI:
Pada akhirnya, kunci pembenahan sepakbola Indonesia termasuk tim nasional saat ini ada di PSSI. Semua orang sudah tahu, selama ini sistem persepakbolaan kita tidak berjalan karena tidak ada mesin yang bekerja untuk menggerakkannya, yang disebabkan oleh bobroknya pengurus PSSI periode sebelumnya yang korup.
Semua orang tahu, tanpa perubahan yang signifikan oleh PSSI, jangan harap sepakbola Indonesia tiba-tiba akan membaik -- atau tim nasional tiba-tiba lolos ke putaran Piala Dunia.
Mungkin sebagian fans sudah tidak sabar untuk segera melihat timnas yang terbiasa menang, bagaimanapun situasinya. Tapi sebagian fans lain boleh jadi lebih berharap supaya permasalahan mendasar yang selama ini menghambat perkembangan sepakbola Indonesia, bisa mulai dibenahi dengan baik dan serius oleh pengurus PSSI saat ini. Banyak lah contohnya, dan itu sudah dikampanyekan semua oleh pengurus ketika Kongres lalu, tentang pembinaan usia dini, perbaikan kompetisi sebagai muara pembentukan timnas yang handal, dan lain-lain.
Semoga pengurus PSSI yang sekarang tidak mengulangi kesalahan-kesalahan rezim sebelumnya. Mereka tentu tidak mau membayangkan, pengurus terdahulu yang mereka singkirkan, dan sampai sekarang adem-ayem saja karena semua kejahatan mereka sudah "dipetieskan", akan tertawa dan berkata, "Emang enak ngurus bola!"
Tapi yang lebih penting lagi adalah, jika melakukan kesalahan yang sama dan gagal membuat perbaikan itu, pengurus PSSI sekarang akan lebih mudah berhadapan dengan masyarakat, karena mereka tak cuma punya andil sangat besar dalam menumbangkan Nurdin cs, tapi kecintaan mereka pada sepakbola tidaklah terukur besarnya.