Catatan Sepakbola
Melihat Lebih Jauh Asa Skuad Garuda
Jakarta - Dua kali bertanding, dua kali kalah, salah satunya bahkan di Gelora Bung Karno. Jika peluang itu benar-benar mulai mengecil, maka sasaran lebih realistis adalah bagaimana potensi skuad "Garuda" selanjutnya.
Takluk 0-3 dari tuan rumah Iran di pertandingan pertamanya di putaran ketiga babak kualifikasi Piala Dunia 2014 zona Asia Grup E, Indonesia gagal memenuhi ekspektasi suporternya ketika tampil di kandang sendiri melawan Bahrain pada 6 September.
Gegap gempita publik Senayan kala itu tidak membuat permainan Bambang Pamungkas dkk di lapangan menawan. Mereka kalah 0-2 dalam pertandingan yang disempat dihentikan beberapa menit oleh wasit karena ada "pesta" kembang api dari penonton, juga serangan botol air mineral ke arah tim tamu.
Dari itu mencuat banyak cerita. Pelatih Wim Rijsbergen memarahi pemain, sebagian pemain tidak terima dimaki-maki oleh bosnya itu. Lalu beberapa pilar "mengadu" pada pelatih sebelumnya, Alfred Riedl, dan seterusnya dan seterusnya.
Entah sudah seberapa "akur" Rijsbergen dan pemain-pemainnya (yang sempat ngambek) itu -- dan jika sudah, seberapa "ikhlas" mereka berdamai. Sebaiknya berbaik sangka saja, demi kebaikan bersama, karena faktanya, skuad relatif tidak berubah, kecuali beberapa muka yang dimainkan Rijsbergen dalam laga ujicoba melawan Arab Saudi di Kualalumpur hari Jumat lalu, seperti kiper I Made Wirawan, Wahyu Wijiastanto, dan Ferdinand Sinaga.
Sekarang, mestinya Rijsbergen dan anak-anak buahnya sudah jauh lebih mengenal. Komunikasi yang terjalin sepatutnya sudah lebih mengena satu sama lain, dan lalu menguatkan sikap profesional di masing-masing pihak, sehingga semua potensi bisa tergali dan tersinergi secara optimal, dan bagaimana menerapkannya ke lapangan dalam sebuah grup.
Ketika kalah di Teheran, publik lebih bisa menerima kenyataan karena Iran memang kelasnya masih di atas Indonesia. Tapi sewaktu tumbang dari Bahrain di Jakarta, baik Rijsbergen maupun para pemain kena kritik habis-habisan dari semua orang, bahwa mereka mempertontonkan sebuah permainan yang tidak jelas dan pesimistis.
Logikanya, ujian terbesar tim Rijsbergen adalah hari Selasa (11/10) besok, saat menghadapi Qatar. Alasannya, tim ini tentu diharapkan lebih baik seiring berjalannya waktu kebersamaan mereka -- dan pertandingan kembali digelar di Jakarta. Tanpa bermaksud meremehkan, inilah kesempatan terakhir Indonesia memetik kemenangan di kandang sendiri, karena Iran, yang akan dijamu pada 15 November, secara teknis lebih kuat dibanding Qatar dan Bahrain.
Tapi, sebagaimana dalam sepakbola berlaku "apapun bisa terjadi", maka Indonesia tetap memiliki kesempatan itu. Di luar harapan bahkan doa suporter, Rijsbergen dan para pemain-lah yang akan menentukan nasib sekaligus masa depannya sendiri. Pilihan dan konsekuensi menang adalah gampang: peluang untuk mengais asa demi lolos ke babak berikutnya tetap terbuka, dan publik akan sangat senang. Masih banyak masyarakat Indonesia yang semata-mata cuma ingin melihat timnasnya menang.
Akan tetapi, jika gagal mengalahkan Qatar apalagi kalah -- selain bahwa peluang lolos itu boleh dibilang habis -- publik mungkin akan membuat penilaiannya berdasarkan proses dan cara. Jika sudahlah tak menang, dan main buruk pula, jangan heran kalau hanya cela dan kritik yang akan dialamatkan pada mereka. Rijsbergen bisa dituding-tuding lagi.
Namun, apabila (sistem) permainan tergolong baik, apapun hasil yang didapat, semestinya itu menjadi sebuah cara yang rasional untuk mengevaluasi tim dan terutama Rijsbergen. Apakah tim ini dan pelatihnya sudah punya fondasi yang bagus untuk dipoles dan diolah lagi, ditingkatkan terus dan lagi dan lagi. Itu lebih penting untuk dipikirkan dan direncanakan, mengingat membangun timnas yang kuat adalah sebuah proses yang tidak singkat, dan membutuhkan banyak faktor penunjang dari berbagai aspek, tidak semata-mata siapa pemain dan pelatihnya.
Selamat berjuang.
Melihat Lebih Jauh Asa Skuad Garuda
Jakarta - Dua kali bertanding, dua kali kalah, salah satunya bahkan di Gelora Bung Karno. Jika peluang itu benar-benar mulai mengecil, maka sasaran lebih realistis adalah bagaimana potensi skuad "Garuda" selanjutnya.
Takluk 0-3 dari tuan rumah Iran di pertandingan pertamanya di putaran ketiga babak kualifikasi Piala Dunia 2014 zona Asia Grup E, Indonesia gagal memenuhi ekspektasi suporternya ketika tampil di kandang sendiri melawan Bahrain pada 6 September.
Gegap gempita publik Senayan kala itu tidak membuat permainan Bambang Pamungkas dkk di lapangan menawan. Mereka kalah 0-2 dalam pertandingan yang disempat dihentikan beberapa menit oleh wasit karena ada "pesta" kembang api dari penonton, juga serangan botol air mineral ke arah tim tamu.
Dari itu mencuat banyak cerita. Pelatih Wim Rijsbergen memarahi pemain, sebagian pemain tidak terima dimaki-maki oleh bosnya itu. Lalu beberapa pilar "mengadu" pada pelatih sebelumnya, Alfred Riedl, dan seterusnya dan seterusnya.
Entah sudah seberapa "akur" Rijsbergen dan pemain-pemainnya (yang sempat ngambek) itu -- dan jika sudah, seberapa "ikhlas" mereka berdamai. Sebaiknya berbaik sangka saja, demi kebaikan bersama, karena faktanya, skuad relatif tidak berubah, kecuali beberapa muka yang dimainkan Rijsbergen dalam laga ujicoba melawan Arab Saudi di Kualalumpur hari Jumat lalu, seperti kiper I Made Wirawan, Wahyu Wijiastanto, dan Ferdinand Sinaga.
Sekarang, mestinya Rijsbergen dan anak-anak buahnya sudah jauh lebih mengenal. Komunikasi yang terjalin sepatutnya sudah lebih mengena satu sama lain, dan lalu menguatkan sikap profesional di masing-masing pihak, sehingga semua potensi bisa tergali dan tersinergi secara optimal, dan bagaimana menerapkannya ke lapangan dalam sebuah grup.
Ketika kalah di Teheran, publik lebih bisa menerima kenyataan karena Iran memang kelasnya masih di atas Indonesia. Tapi sewaktu tumbang dari Bahrain di Jakarta, baik Rijsbergen maupun para pemain kena kritik habis-habisan dari semua orang, bahwa mereka mempertontonkan sebuah permainan yang tidak jelas dan pesimistis.
Logikanya, ujian terbesar tim Rijsbergen adalah hari Selasa (11/10) besok, saat menghadapi Qatar. Alasannya, tim ini tentu diharapkan lebih baik seiring berjalannya waktu kebersamaan mereka -- dan pertandingan kembali digelar di Jakarta. Tanpa bermaksud meremehkan, inilah kesempatan terakhir Indonesia memetik kemenangan di kandang sendiri, karena Iran, yang akan dijamu pada 15 November, secara teknis lebih kuat dibanding Qatar dan Bahrain.
Tapi, sebagaimana dalam sepakbola berlaku "apapun bisa terjadi", maka Indonesia tetap memiliki kesempatan itu. Di luar harapan bahkan doa suporter, Rijsbergen dan para pemain-lah yang akan menentukan nasib sekaligus masa depannya sendiri. Pilihan dan konsekuensi menang adalah gampang: peluang untuk mengais asa demi lolos ke babak berikutnya tetap terbuka, dan publik akan sangat senang. Masih banyak masyarakat Indonesia yang semata-mata cuma ingin melihat timnasnya menang.
Akan tetapi, jika gagal mengalahkan Qatar apalagi kalah -- selain bahwa peluang lolos itu boleh dibilang habis -- publik mungkin akan membuat penilaiannya berdasarkan proses dan cara. Jika sudahlah tak menang, dan main buruk pula, jangan heran kalau hanya cela dan kritik yang akan dialamatkan pada mereka. Rijsbergen bisa dituding-tuding lagi.
Namun, apabila (sistem) permainan tergolong baik, apapun hasil yang didapat, semestinya itu menjadi sebuah cara yang rasional untuk mengevaluasi tim dan terutama Rijsbergen. Apakah tim ini dan pelatihnya sudah punya fondasi yang bagus untuk dipoles dan diolah lagi, ditingkatkan terus dan lagi dan lagi. Itu lebih penting untuk dipikirkan dan direncanakan, mengingat membangun timnas yang kuat adalah sebuah proses yang tidak singkat, dan membutuhkan banyak faktor penunjang dari berbagai aspek, tidak semata-mata siapa pemain dan pelatihnya.
Selamat berjuang.